Hingar Bingar Para Pengamat Terorisme Saat Istana Ratas Pemulangan WNI Eks ISIS

 Hingar Bingar Para Pengamat Terorisme Saat Istana Ratas Pemulangan WNI Eks ISIS

Hingar Bingar Para Pengamat Terorisme Saat Istana Ratas Pemulangan WNI Eks ISIS Sebagaimana yang Tengah Ramai Seperti Sekarang Ini

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Ada sejumlah 600 Warga Negara Indonesia (WNI) eks ISIS yang tersebar di beberapa wilayah di Timur Tengah. Status mereka menjadi perbincangan hangat di Tanah Air setelah wacana pemulangan oleh pemerintah digulirkan.

Pemerintah Indonesia dinilai nampak dilema atas dua pilihan antara hak asasi manusia (HAM) dan potensi ancaman radikalisme pemulangan mantan kombatan ISIS itu. Walaupun, samar-samar, Presiden Joko Widodo memberikan isyarat untuk menolak pemulangan WNI eks kombatan ISIS itu. Namun ia mengatakan pemerintah tengah mengkaji secara mendalam terkait wacana ini.

“Kita ini pastikan harus semuanya lewat perhitungan kalkulasi plus minusnya semuanya dihitung secara detail dan keputusan itu pasti kita ambil di dalam ratas setelah mendengarkan dari kementerian-kementerian dalam menyampaikan. Hitung-hitungannya,” ujar Jokowi di Jakata pada Jumat (7/2/2020).

Suara para para pengamat di bidang ini pun hingar bingar dengan segenap pro dan kontranya. Pengamat terorisme dari Jurnal Intelijen, Stanislaus Riyanta, misalnya, mengatakan pemerintah patut mengedepankan perspektif keamanan dalam mempertimbangkan pengambilan keputusan terkait wacana pemulangan WNI eks-ISIS.

Musababnya, beberapa kali aksi teror yang terjadi di dalam negeri dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Potensi ancaman tersebut, menurutnya bisa menjadi nyata bersumber dari WNI mantan kombatan ISIS tersebut.

“Anggota ISIS yang berasal dari Indonesia banyak yang sudah belajar cara menggunakan senjata, berlatih cara menyerang, melakukan pembunuhan dengan keji,” ujar Stanislaus dalam sebuah pernyataan tertulis, Senin (10/2) sore.

“Meskipun berbagai perspektif seperti humanisme dan HAM menjadi pembela untuk memulangkan anggota ISIS asal Indonesia tersebut, namun negara sebaiknya tetap mempertimbangkan faktor keamanan dan keselamatan 270 juta warga negaranya,” lanjutnya.

Stanislaus mengatakan, kini nasib tak jelas para WNI yang telah berbaiat kepada ISIS tersebut merupakan konsekuensi yang harus mereka tanggung. “Perlu diingat bahwa 600 anggota ISIS tersebut meninggalkan Indonesia atas niat sendiri, tanpa izin pemerintah, dan mereka bergabung dengan organisasi teroris yang sudah dilarang. Pilihan tersebut tentu mempunyai implikasi risiko yang harus siap ditanggung,” ungkap Stanislaus.

Pemerintah Harus Hati-Hati

Ketua SETARA Institue, Hendardi meminta pemerintah bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan terkait nasib para WNI eks-ISIS. Menurutnya, Indonesia dapat menggalang kesepakatan internasional tentang nasib mantan kombatan ISIS. Tak hanya Indonesia, banyak WNA eks-ISIS lainnya yang juga memiliki nasib serupa.

Cepat atau lambat Indonesia dinilai harus mengambil sikap terkait nasib WNI eks-ISIS tersebut. “Isu kemanusiaan dan statelessness akan menjadi perhatian utama dunia internasional,” terangnya kepada DW Indonesia baru-baru ini.

Ia menegaskan pemerintah bisa mengutamakan pemulangan anak-anak Indonesia dari wilayah Timur Tengah agar tidak terpapar paham ISIS. “Terutama yang berada di bawah usia 9 tahun. Semakin lama anak-anak itu tinggal di kamp tahanan, atmosfer yang buruk di kamp akan berdampak pada mereka, baik secara fisik maupun psikis. Semakin lama mereka disana, justru akan semakin terpapar oleh paham ekstrem ISIS dan dampak buruk situasi ekstrem di sana,” lanjutnya.

Langkah-langkah pencegahan dan penanganan ekstremisme keagamaan di dalam negeri dapat diintensifkan pemerintah agar gerakan serupa ISIS di masa-masa yang akan datang dapat dihindari. “Selain itu, intoleransi menjadi “anak tangga pertama” menuju aksi-aksi radikalisme dan terorisme,” tegas Hendardi.

Ratas Tak Perlu

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai Presiden Jokowi tidak perlu melakukan rapat terbatas (Ratas) kabinet membahas WNI eks ISIS.

“Bahkan berbagai instansi perlu segera menghentikan untuk memikirkan berbagai opsi ataupun skenario dalam memulangkan eks WNI anggota ISIS,” ujar Hikmahanto dilansir dari Tribunnews.com, Selasa (11/2).

Alasannya, kata dia, paling tidak ada tiga. Pertama, tidak ada desakan dari manapun agar pemerintah menerima eks WNI anggota ISIS. Apalagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak mendesak agar WNI eks ISIS dipulangkan. Demikian pula Suriah atau Irak. “Lalu untuk apa pemerintah mewacanakan pengembalian atau tidak eks WNI anggota ISIS?” tegasnya.

Kedua, lanjutnya, mengingat UU Kewarganegaraan tegas menetukan para eks WNI anggota ISIS ini telah kehilangan kewarganegaraan maka tidak ada kewajiban negara untuk melakukan evakuasi ataupun pemulangan terhadap mereka. “Mereka bukanlah warga negara dan tidak seharusnya uang negara digunakan untuk kepentingan bukan warga negara,” jelasnya.

Ketiga, kata dia, pemerintah tidak perlu disibukkan dengan wacana yang justru dapat men-deligitimasi pemerintah di mata masyarakat. Ini berbeda bila PBB, Suriah atau Irak yang meminta Indonesia memikirkan eks warga negaranya yang sedang ditahan. “Dalam konteks demikian tentu rapat terbatas kabinet perlu dilakukan dan berbagai skenario perlu dimunculkan,” ucapnya.

Nasib anak-anak

Perihal berhak tidaknya anak-anak ISIS Eks WNI kembali ke Indonesia, Hikmahanto menilai, kewarganegaraan Indonesianya akan hilang bila mereka ikut dalam latihan militer ISIS di usia muda dan menjadi tentara. “Atau mereka (anak-anak eks WNI) mengangkat sumpah untuk setia pada ISIS,” ujar Hikmahanto.

Boleh jadi imbuh dia, bagi mereka saat itu tidak memiliki pilihan lain, bahkan dipaksa, mengingat saat itu mereka berada di tempat-tempat yang dikuasai ISIS. “Bisa jadi atas alasan tersebut kewarganegaraan Indonesia mereka tidak hilang,” jelasnya.

Dikatakan Hikmahanti, soal apakah anak-anak itu berhak kembali ke Indonesia, pemerintah harus menseleksi secara ketat berdasarkan empat kriteria utama.

Pertama, apakah mereka tidak terdoktrinasi dengan paham-paham ISIS mengingat mereka sejak usia belia telah terdoktrinasi. “Doktrinasi di usia muda akan membekas secara mendalam,” jelasnya.

Kedua, harus dilakukan asesmen apakah anak tersebut bersedia dipisahkan dari orang tua dan memiliki keluarga di Indonesia. “Asesmen ini penting karena orang tua mereka jelas tidak mungkin kembali ke Indonesia. Sementara mereka perlu pendamping yang menggantikan orang tua,” tegasnya.

Dalam konteks ini penting bagi mereka untuk memahami mengapa mereka dipisahkan dari orang tua mereka. “Jangan sampai mereka menaruh dendam kepada pemerintah Indonesia yang seolah memisahkan dengan orang tua mereka. Bila ini terjadi bukannya tidak mungkin saat dewasa justru mereka akan memerangi pemerintah yang sah,” dia mengingatkan.

Ketiga, lanjutnya, mereka harus dipastikan tidak dianggap oleh pemerintah Suriah atau Irak telah melakukan kejahatan, termasuk kejahatan terorisme berdasarkan hukum setempat. Dan Keempat,, keinginan mereka kembali ke Indonesia adalah betul-betul ketulusan untuk hijrah dari ISIS.

Oleh karenanya tegas dia, pemerintah tidak perlu menjemput mereka secara khusus untuk melakukan evakuasi. “Ini perlu dipastikan pemerintah. Bila mereka hanya berpura-pura insyaf bukannya tidak mungkin justru mereka membangunkan sel-sel yang mungkin ada di Indonesia atau negara-negara sekitar,” tegasnya.

Anak-anak ISIS Bakar Paspor

Pengamat terorisme Al Chaidar menilai bahwa pemerintah perlu membahas rencana pemulangan WNI eks ISIS. Walaupun, jejak digital mengungkap, anak-anak ISIS, sebagian diduga dari Indonesia, melakukan pembakaran paspor hijau.

“Sangat perlu karena itu amanah undang-undang juga kan, di undang-undang itu menyatakan bahwa andaikata ada orang Indonesia yang di luar sana, ingin pulang dan minta proteksi dan sebagainya, itu harus dipulangkan dan banyak dari mereka yang menyatakan (ingin) pulang, itu kan banyak diusir juga dari kamp, dibakar kampnya,” ujar Al Chaidar kepada Detikcom, Senin (10/2/2020) malam.

Chaidar menilai aksi bakar paspor yang dilakukan oleh eks ISIS pada 2016 silam itu sebagai bentuk provokasi oleh segelintir orang saja. Ia menduga eks ISIS itu hanya dilanda emosional sesaat. Karena itu dia menilai pemerintah tetap harus membahas rencana pemulangan WNI eks ISIS.

“Jadi saya kira itu (bakar paspor) tidak merupakan pendapat ke semua orang, dari yang pernah ke Suriah sana, dan mereka itu harus dikembalikan karena mereka punya hak asasi manusia untuk kembali ke kampung halamanya,” kata Chaidar.

Menurutnya, pemerintah juga perlu memberikan upaya rehabilitasi atau karantina ‘politik’ kepada para eks ISIS. Hal itu sebagai langkah untuk mencegah tersebarnya paham-paham radikal di Indonesia.

“Katakanlah apakah (program) dari Depsos, dari kepolisian, sebelumnya kan memang harus memantau mereka, memberikan kebetuhuan-kebutuhan mereka karena mereka kan sudah menjual semua (harta benda) untuk ke sana, tapi yang menjual itu hanya bapak atau ibunya saja, sementara anak-anaknya nggak,” tuturnya. (AS/HIDAYATUNA.COM)

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *