Hijrah dan Trend Fashion Masa Kini
Oleh: M.Ihsan FA
HIDAYATUNA.COM – Hijrah adalah kata yang fenomenal masa kini, seolah-olah hijrah adalah sebuah fashion baru dalam prilaku keagamaan. Hijrah sendiri dalam sejarahnya adalah perpindahan secara fisik kanjeng Nabi Muhamaad SAW dari kota mekkah ke madinah.
Fenomena hijrah memang betul menggairahkan. Tak terhitung banyaknya kalangan yang memakai kata Hijrah` seolah itu adalah menggambarkan perubahan atau perpindahan secara islami. Apakah memang begitu ?
Saya melihat banyak hal perubahan yang dialami orang mengaku sudah hijrah mulai dari prilaku keseharian yang mengucapkan kata-kata dzikir, Handphone berisikan aplikasi Al-Qur’an dan ceramah-ceramah ustadz-ustadz gaul kekinian, berkalung tasbih, status sosmed yang mengutip hadis dan Al-Qur’an, menggunakan bahasa-bahasa akhi dan ukhti, dan banyak lagi prilaku orang yang sudah berhijrah yang menggambarkan mereka seolah-olah terhindar dari segala perbutan dosa dan mereka ini menjadi identitas baru di lingkungan kita.
Mari kita melihat lebih dalam lagi dan serius kata Hijrah dipanadang dari berbagai fenomenanya. Mari kita mulai bedah dari kosa kata Hirah itu sendiri. Hijrah mempunyai arti dalam bahasa Indonesia yang berarti meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat.
Kata Hijrah sendiri ada di dalam hadis yang sangat popular yang esensi hadist hijrah tersebut ditangkap oleh ulama fiqih sebagai pesan penting Rasulullah SAW prihal niat seseorang dalam berbuat baik. Hal ini sejalan dengan pemahaman para sufi yang menempatkan hijrah sebagai kebulatan tekad untuk Allah dan rasul-Nya sebagaimana syech Ibnu Athaillah dalam kitab hikam “Perhatikanlah Sabda Rasulullah SAW ` siapa saja yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Hijrahnya kepada Alloh dan rasul-Nya. Tetapi siapa yang berhijrah kepada dunia yang akan ditemuinya, atau kepada perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya.´ pahamilah sabda Rasulullah SAW ini. Renungkan perihal ini bila kau termasuk orang yang memiliki daya paham.
Syekh Ibnu Abbad mengatakan bahwa hijrah kepada Allah dan rasul-Nya adalah tuntutan secara eksplisit terhadap manusia untuk membulatkan hati semata-mata kepada Allah dan rasul-Nya dan secara Implisit untuk memberikan hati untuk segala hal duniawi.
Para sufi mengingatkan untuk tidak terpedaya dengan sesuatu yang secara kasatmata atau fashion belaka.
‘Maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya’ mengandung pengertian berpindah dari alam kepada Penciptanya. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Tuntutan ini diungkapkan dengan sangat eksplisit. Sedangkan kata ‘maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya’ mengandung pengertian kebersamaan dengan alam dan hanya berpindah-pindah di dalamnya. Ini yang dilarang dari seorang hamba. Larangan ini diisyaratkan secara implisit. Oleh karena itu, seorang murid hendaknya memiliki semangat dan cita-cita yang muia sehingga tidak lagi berpaling sama sekali kepada yang lain dan alam,” (Lihat Ibnu Abbad, Gayatul Mawahibil Aliyyah, [Indonesia, Al-Haramain Jaya: 2012], juz I, halaman 37).
Dapat dikatakan bahwa hijrah bagi para sufi adalah upaya keras untuk memberikan hati semata kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Ini yang disampaikan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam dengan mengutip Surat An-Najm ayat 42:
لا ترحل من كون إلى كون فتكون كحمار الرحى يسير والمكان الذي ارتحل إليه هو الذي ارتحل منه ولكن ارحل من الأكوان إلى المكون (وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى
Artinya, “Janganlah kau berpindah dari alam ke alam karena kau akan seperti keledai pengilingan, di mana tujuan yang sedang ditempuhnya adalah titik mula ia berjalan. Tetapi berpindahlah dari alam kepada Penciptanya. Allah berfirman, ‘Hanya kepada Tuhanmu titik akhir tujuan,’ (Surat An-Najm ayat 42).”
Gaya Hidup Baru Ala Syari´
Jika melihat seseorang mengenakan kemeja lengan panjang dan dasi, lengkap dengan setelan jas dan sepatu fantovel, juga dengan jam tangan mewah seperti Rolex melingkar di pergelangan tangannya, orang akan menilai bahwa ia adalah orang yang mapan. Penilaian ini akan berbeda ketika melihat seseorang yang lain, mengenakan koko atau gamis, celana cingkrang dan bercadar bagi perempuan dan berjanggut bagi seorang laki-laki, orang akan menilainya sebagai orang hijrah. Begutukah atau tidak ? ini hanya dalam mindset seorang penulis belaka.
Produsen pun berlomba untuk membuat barang bukan lagi sekedar fungsi semata yang berbicara, tetapi juga bagaimana barang produksinya bisa merefkleksikan kepribadian si pemakai. Sebagai contoh produsen jam Fossil dan sepatu Puma Football. Fossil mencoba mengusung filosofi modern vintage, yang berupaya mengeluarkan jam bukan sekedar untuk menunjukkan waktu tetapi menjadi sebuah art piece melalui desain-desainnya. Fossil juga menggandeng kerja sama dengan Sony Erricson meluncurkan jam tangan yang dilengkapi dengan koneksi bluetooth. Ini memungkinkan Fossil bukan sekedar penunjuk waktu tetapi sebuah alat yang mampu menjalankan beberapa fungsi sekaligus.
Rupanya nafsu besar untuk menggambarkan kesalehan dan keIslaman seseorang harus dirayakan, dan diarak di ruang publik. Hal ini menunjukkan bahwa ketika kriteria kesuksesan menguat ke arah yang bersifat prestise materialistik, semangat spiritualisme baru pun ternyata mengalami polesan lebih canggih dalam budaya konsumen. Di kalangan umat Islam, misalnya kini mulai marak iklan dan industri jasa yang menawarkan ‘wisata religius’, berdirinya kafe-kafe khusus muslim, berdirinya sekolah Islam mahal, menjamurnya konter berlabel Exclusive Moslem Fashion, kegandrungan kelas menengah atas akan Moslem Fashion Show dan berdirinya pusatpusat perbelanjaan yang memanfaatkan sensibilitas keagamaan untuk keuntungan bisnis.
Fenomena ini apakah sebagai kebangkitan keberIslaman seseorang ataukah pemanfaatan sensibilitas keagamaan yang mengalami komodifikasi (menjadi komoditas) di pentas konsumsi massa. Ketika kerudung, jilbab, gamis, baju koko (dengan berbagai model, pola, corak, warna) kian menjadi salah satu ikon gaya hidup dalam fashion, dan mulai menjadi bisnis besar, serta banyak dipakai para artis dalam dunia hiburan seperti sekarang ini. Bahkan di kalangan tertentu bisa dilihat munculnya upaya disadari atau tidak untuk memberikan label “islamisasi” dalam perilaku konsumtif di dunia mode dan shopping. Padahal mungkin yang terjadi sebenarnya adalah kapitalisasi Islam atau penaklukan semangat keagamaan oleh pasar, dunia bisnis, atau kapitalisme itu sendiri. Mungkinkah ???
Jogjakarta, 09-12-2019