Harmoni 3 Budaya di Masjid Agung Palembang
HIDAYATUNA.COM – Masjid Agung Palembang di bangun sejak pertama kali pada tahun 1738 dan diresmikan pada 26 Mei 1748. Masjid ini punya nilai sejarah, karena dulunya merupakan warisan Kesultanan Palembang Darussalam yang bernama Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo I.
Masjid ini sengaja dibangun untuk menggantikan Masjid karya Ki Gede Ing Suro yang terbakar dalam peperangan Palembang dan Belanda pada tahun 1659. Pada saat itu juga, masjidnya hanya memiliki seluas 1.080 meter persegi dengan daya tampung hingga 1.200 orang jamaah.
Dari tahun 1819-1821 dilakukan pemugaran masjid akibat peperangan besar yang berlangsung selama 5 hari berturut-turut dan renovasi dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Atap genteng menara masjid diganti atap sirap. Tinggi menara ditambahkan dengan adanya beranda melingkar.
Kemudian lahan itu diperluas oleh Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta Mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
Setelah itu, perbaikan lebih lanjut dilakukan pada tahun 1893, hingga ke tahun berikutnya pada tahun 1916 bangunan menara masjid disempurnakan, tahun 1950 perubahan struktur pilar masjid, tahun 1970 pembangunan menara baru yang disponsori oleh Pertamina dan terakhir di tahun 1999-an.
Selama ekspansi pada 1966-1969 oleh Yayasan Masjid Agung, lantai kedua dibangun dengan luas tanah 5.520 meter persegi dengan kapasitas 7.750 orang. Selama renovasi dan pembangunan di tahun 1970-an oleh Pertamina, menara masjid pun dibangun.
Namun, berberapa kali renovasi terus dilakukan untuk memperluas dan memperindah bangunan masjid mengingat jumlah Jemaah semakin bertambah. Begitu kaya dengan historisnya, itulah alasan masjid ini juga dikenal dengan nama Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I.
Pembangun tersebut memakan waktu lama hingga akhirnya diresmikan kembali tahun 1748 M atau pada 28 Jumadil Awal 1151 tahun hijriah. Di awal pembangunannya, Masjid Agung Palembang disebut oleh masyarakat sekitar dengan nama Masjid Sulton. Nama tersebut dirujuk pada pembangunan masjid yang diketuai secara langsung oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo.
Konon, renovasi terbesar dilakukan oleh Gubernur Laksamana Muda Haji Rosihan Arsyad pada 1999 dan sejak tahun 2000 dilakukan renovasi kembali. Selain itu juga beliau menambah tiga bangunan baru yakni bangunan di bagian selatan, utara, dan timur. Bentuk masjid yang sekarang ini adalah terletak di tengah bangunan baru hasil renovasi tahun 2000 dan selesai pada tahun 2003 diresmikan oleh Megawati Soekarnoputri mantan presiden kelima Indonesia.
Masjid dirancang oleh seorang arsitek dari Eropa. Konsep bangunan masjidnya memadukan keunikan arsitektur Nusantara, Eropa dan Cina. Karena dlihat dari gaya khas arsitektur Nusantara adalah pola struktur bangunan utama berundak tiga dengan puncaknya berbentuk limas.
Salah satu puncak masjid terdapat dari tiga undakan yang menjadi mustaka memiliki jenjang berukiran bunga tropis. Pada bagian ujung mustaka terdapat mustika berpola bunga merekah indah. Bentuk undakan bangunan masjid dipengaruhi bangunan dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak.
Hal tersebut daya tarik yang membuat masjid tertua di Palembang ini begitu terkenal adalah karena arsitekturnya. Karena ada ciri khas tiga kebudayaan yang melekat pada arsitektur bangunan masjid, yaitu Indonesia, Tiongkok, dan Eropa. Seperti halnya Bagian atap masjid yang mengusung budaya khas Tiongkok karena bentuknya yang menyerupai kelenteng.
Sementara dilihat dari bentuknya menara terdapat ciri khas yang erat kaitannya dengan kebudayaan nusantara indonesia. Sebab itu, kubah masjid pun turut mengalami perbaikan di beberapa sisinya.
Pada saat dilihat dari depan pintu utama masjid ini terasa sekali adanya pengaruh kebudayaan Eropa. Berbeda lagi dengan menara masjid yang berbentuk kerucut, mengingatkan dengan tumpeng. Dalam kebudayaan Indonesia sendiri, tumpeng itu dapat diartikan sebagai makna yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Atap masjid berbentuk limas, bagian atas sisi limas atap terdapat jurai daun simbar menyerupai tanduk kambing yang melengkung. terdiri dari tiga tingkat. Pada setiap sisi limas memiliki 13 jurai. Terdapat ciri khas arsitektur Eropa pada rupa jendela masjid yang besar dan tinggi. Pilar masjid berukuran besar dan memberi kesan kokoh. Material bangunannya diimpor langsung dari eropa seperti marmer dan kaca.
Masjid Agung Palembang merupakan bagian dari peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam, lokasi masjidnya terletak di utara Istana Kesultanan Palembang, yakni di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, Pusat Kota Palembang, Sumatera Selatan. Masjid terbesar di Palembang ini berada wilayah kompleks seluas 15.400 meter persegi, dan mampu menampung hingga 7.750 orang jamaah.
Bahkan statusnya sudah menjadi salah satu masjid nasional pada tanggal 23 Juli 2003, berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia MA/233/2003. Selain itu, masjid ini juga telah menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang dilindungi pemerintah sejak 2009 berdasarkan UU No 5 tahun 1992 tentang bangunan cagar budaya, serta Surat Peraturan Menteri No PM19/UM.101/MKP/2009.
Mengingat Masjid Agung Palembang merupakan salah satu peninggalan sultan, kini sebagai salah satu masjid tertua di Nusantara. Hal tersebut tidak mengejutkan jika mengingat kembali sejarah yang melatarbelakangi berdirinya Masjid Agung.
Kepala yayasan masjid, Ki Agus Ahmad Sarnubi, mengatakan ada beberapa kendala dalam proses penggantian nama masjid dimulai dari dari pemasangan papan nama hingga ketidaksepakatan pada nama yang disarankan.
Akhirnya Masjid Agung Palembang di Sumatra Selatan telah berganti nama menjadi Masjid Sultan Mahmud Badarrudin Jayo Wikramo, perubahan nama ini merupakan penghormatan terhadap beliau sebagai pendiri masjid.
Masjid yang berada di pusat Kesultanan Palembang Darussalam menjadi pusat kajian Islam yang telah melahirkan beberapa ulama besar seperti; Syekh Abdus Shamad al-Palembani, Kemas Fachruddin dan Syihabuddin bin Abdullah
Ada beberapa ulama yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Agung. Ulama ini sangat berperan besar dalam mengembangkan agama Islam di wilayah Kesultanan Palembang. Konsep pengajaran Islam diturunkan kedalam lingkup amal (praktik) dan ilmu (wacana), sehingga mudah diterima dan diamalkan oleh masyarakat muslim Palembang.
Masjid Agung Palembang mempunyai berbagai aktivitas dimulai dari kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari hingga kegiatan bulanan dan tahunan. Kegiatan rutin yang dilaksanakan setiap hari di Masjid Agung Palembang adalah sholat rawatib 5 waktu dan dakwah masjid, hal ini sejalan dengan tujuan utama pembangunan masjid, yaitu untuk mengingat Allah dan memperkenalkan Islam.
Sementara kegiatan rutin yang dilakukan setiap minggu adalah pengajian kitab Kuning yang dipimpin langsung oleh ulama-ulama Kota Palembang. Menariknya, tiap Ramadan tiba, masjid yang berlokasi di Jalan Jenderal Soedirman Palembang ini kerap mengadakan pembacaan Alquran satu juzz satu malam yang dilaksanakan setelah salat tarawih selama satu bulan penuh.
Masjid ini tetap kokoh menjaga umat muslim dari sebuah ketertindasan jaman penjajahan belanda.
Sumber:
- simas.kemenag.go.id
- indonesiakaya.com