Hari Santri Nasional: Menjadi Santri Setiap Hari

 Hari Santri Nasional: Menjadi Santri Setiap Hari

Hari Santri Nasional (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Peranan santri dalam merebut (juga mempertahankan) kemerdekaan Indonesia adalah satu hal yang tidak bisa dikesampingkan dan dilupakan. Sebab, mereka saat itu tak hanya berdiam diri dalam bilik pesantren, tapi juga turut serta terjun ke medan temput.

Sayangnya, rekam jejak mereka dalam melawan kaum penjajah masih belum tercantum di buku-buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah. Akibatnya, kaum santri seolah tak memberikan kontribusi apa-apa saat masa perjuangan. Peran mereka terkesan tak berarti dan cenderung dilupakan. 

Peran kaum santri dalam merebut kemerdakaan tak lagi terkubur selepas ditandatanganinya Keputusan Presiden tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Dipilihnya tanggal 22 Oktober tersebut didasarkan pada tanggal dicetuskannya fatwa Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari, yakni 22 Oktober 1945.

Peringatan HSN memang tidak dijadikan sebagai hari libur. Kendati demikian, pada masa- asa berikutnya peringatn HSN seolah menjelma menjadi hari raya bagi santri.

Tak hanya diisi oleh acara-acara keagamaan semacam istighotsah, peringatan HSN juga banyak diwarnai oleh berbagai perlombaan dengan tema kepesantrenan.

Fenomena Lautan Santri 

Salah satu hal yang menarik dari peringatan HSN adalah fenomena lautan santri. Maksudnya, pada saat peringatan HSN tersebut banyak orang berpakaian laiknya kaum sarungan―meskipun beberapa dari mereka belum (atau bahkan tidak) mengenyam pendidikan di pesantren.

Fenomena ini tak beda jauh dengan fenomena yang terjadi saat Ramadhan dan Idul Fitri. Pada 2 momen tersebut, banyak orang―khususnya artis―yang berpakaian ‘islami’.

Lantaran munculnya fenomena termaktub pada peringatan HSN, tentu saja para santri semakin percaya diri memakai ‘busananya’ saat tanggal 22 Oktober. Sayangnya, rasa percaya diri tersebut biasanya perlahan memudar selepas peringatan HSN selesai. 

Hal tersebut menjadikan eksistensi kaum pesantren serasa hanya tampak saat peringatan HSN. Oleh sebab itu, sebagai kaum sarungan, sudah semestinya tetap percaya diri menunjukkan kepada publik tentang identitas kita sebagai santri meksi bukan ketika peringatan HSN.

Namun, perlu dicatat bahwa menjadi santri itu bukan sekadar tentang ‘busana’. Berangkat dari situ, maka perlu adanya internalisasi nilai-nilai kepribadian santri dalam diri kita. Beberapa nilai yang dimaksud yakni. 

Rendah Hati 

Sifat dasar anak pesantren adalah tawadlu’ (rendah hati). Karakteristik ini tercermin dari sikap utama mereka yakni ‘anut kiai’. Mungkin bagi sebagian orang, rendah hati bukanlah hal yang mudah dilakukan.

Bagaimana tidak, pasalnya kita mesti menunduk dan menempatkan diri lebih rendah dari orang lain. Namun, dampak dari rendah hati sebenarnya tak membuat kita menjadi pribadi yang hina.

Rendah hati justru mengangkat kita pada derajat yang mulia. Hal ini bahkan dinyatakan sendiri oleh Rasulullah saw seperti tercantum dalam kitab Shahih Muslim. 

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ 

“…Tidaklah seseorang memiliki sifat tawadlu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” 

Berdasar pada paparan di atas, maka bisa dinyatakan bahwa arogansi bukan sifat dasar santri. Tak sepatutnya seorang santri merasa derajatnya lebih tinggi dari orang lain―khususnya dari orang tua dan kiainya. Hal ini juga berlaku dalam kehidupan di tengah masyarakat. 

 Haus Akan Ilmu 

Kodrat seseorang ketika berangkat ke pesantren adalah mencari ilmu. Makna ‘mencari ilmu’ di sini tidak sebatas menerima apa yang diajarkan kiai dalam majlis ta’lim. ‘Mencari ilmu’ di sini juga menyangkut aktivitas memahami segala sesuatu―termasuk yang tidak tercantum dalam teks.

Seyogianya seorang santri menjadikan niat pada setiap kegiatannya untuk mencari ilmu. Bukan hanya ketika di pesantren melainkan juga ketika berada dalam lingkup masyarakat. Selaras dengan wahyu yang pertama kali diterima Nabi Muhammad saw yakni perintah membaca.

Perintah membaca tersebut tidak diikuti redaksi tempat maupun waktu. Artinya, aktivitas membaca semestinya dilakukan di mana saja dan kapan saja. Dan, kita tahu bahwa makna dasar dari ‘membaca’ dalam wahyu tersebut adalah mencari ilmu. 

Integratif

Sifat integratif santri bisa dilihat dalam banyak kegiatan yang dilakukan, misalnya kerja bakti dan makan bersama. Makna dari sifat integratif di sini adalah mampu menerima perbedaan. Ini merupakan representasi sesungguhnya dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Selain itu, sifat integratif santri ini bisa dipahami bahwa guna mencapai tujuan kolektif maka kerja sama yang solid tak bisa dinafikan. Bila menciptakan lingkungan pesantren yang bersih saja setiap santri harus mengambil peran, bagaimana dengan mencapai tujuan (bersama) yang lebih besar?

Demikianlah beberapa nilai-nilai santri yang semestinya kita internalisasikan dalam kehidupan keseharian kita, bukan semata saat peringatan HSN.

Tujuan dari hal ini adalah menjaga jiwa santri tetap hidup dalam diri kita meski kita sedang tidak berada di pesantren. Bila kita tak percaya diri memakai busana layaknya santri selain saat peringatan HSN, setidaknya kita harus merasa percaya diri untuk menerapkan nilai-nilai di atas tiap waktu dalam kehidupan bermasyarakat. 

Mohammad Azharudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *