Hari Santri dan Bias Sejarah Indonesia
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – “Sejarah ditulis oleh para pemenang,” begitulah bunyi adegium terkenal yang mungkin hampir semua orang pernah mendengarnya.
Kredo ini konon diucapkan oleh mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Winston Churchill ketika ia memimpin Inggris di masa Perang Dunia (PD) II.
Ungkapan Churchill dipercaya dan diamini oleh banyak kalangan. Hal demikian wajar, berkaca pada kenyataan yang ada, di mana penulisan sejarah memang sangat dipengaruhi oleh siapa yang menulisnya.
Siapa yang menulis di sini berkaitan dengan mereka yang punya kuasa atau mereka yang menang jika memakai diksi Churchill.
Kita bisa menguji hal tersebut dengan melihat berbagai contoh sejarah penting di dunia yang pernah terjadi.
Sejarah PD II contohnya, cerita yang dominan pasti berangkat dari kacamata mereka yang menang dan berkuasa dalam perang tersebut. Bukan dari mereka yang kalah.
Pihak sekutu pimpinan Amerika Serikat (AS) dan Uni Sovyet selaku pemenang perang menjadi penulis cerita utama mengenai PD II.
Sedangkan Jerman, Jepang, dan Italia selaku kubu yang kalah harus rela menjadi pihak yang sejarahnya ditulis oleh para pemenang.
Apa yang terjadi dalam PD II terjadi pula di Indonesia. Dalam konteks sejarah Indonesia, sulit untuk tidak menyebut peran militer dan kelompok nasionalis dalam proses revolusi Indonesia.
Kedua kelompok ini menjadi pihak yang paling banyak diceritakan jika bicara mengenai dinamika kemerdekaan Indonesia.
Hal tersebut terjadi karena keduanya dianggap menjadi elemen revolusi yang paling dominan dalam lanskap revolusi Indonesia.
Tidak heran jika kita membuka buku sejarah macam Nasionalisme & Revolusi Indonesia (1952) karya George McTurnan Kahin dan beberapa sejarawan lain, yang bakal banyak ditemui adalah peran orang-orang dari dua kubu ini dalam revolusi Indonesia.
Mereka yang ikut berjuang tapi tidak berangkat dari dua kelompok ini biasanya cenderung diabaikan dan dipinggirkan perannya dalam revolusi Indonesia.
Padahal revolusi kemerdekaan aslinya tidak hanya diperjuangkan oleh militer dan aktivis nasionalis.
Kelompok Islam, Komunis, Kristen, dan berbagai kelompok lainpun banyak yang terlibat dalam revolusi.
Benedict Anderson dalam buku Revoloesi Pemoeda (2018) menjelaskan dengan sangat cemerlang bagaimana peran kelompok Islam dalam detik-detik menuju revolusi Indonesia.
Kata Ben, Islam menjadi salah satu unsur penting yang mendorong para pemuda bergerak mengupayakan revolusi Indonesia. Namun, pengaruh kelompok Islam yang demikian luput dalam catatan sejarah Indonesia.
Berkaca dari situasi di atas, ungkapan “Sejarah ditulis oleh para pemenang” pada dasarnya problematik. Mengapa?
Sebab pernyataan itu secara tidak langsung mengindikasikan bahwa ada bias dalam penulisan sejarah.
Sejarah hanya ditulis oleh satu pihak yang punya kuasa. Mereka yang kekuatannya kecil dipinggirkan begitu saja dalam penulisan sejarah.
Peran Islam dalam Perang 10 November
Beberapa tahun terakhir upaya penulisan sejarah Indonesia yang melihat peran kelompok sosial di luar kalangan militer dan aktivis nasionalis banyak dilakukan.
Salah satu usaha yang ditempuh ialah merekonstruksi peran kelompok Islam dalam momentum perang 10 November di Surabaya.
Seperti yang jamak diketahui, peristiwa 10 November dikenang sebagai simbol heroisme rakyat Surabaya dalam melawan sekutu yang memboncengi Belanda untuk kembali bercokol di Indonesia.
Bung Tomo adalah salah satu tokoh terkenal dalam peristiwa tersebut. Ia berorasi menggugah semangat arek-arek Suroboyo guna menghadapi gempuran sekutu.
Usaha Bung Tomo nyatanya berhasil. Rakyat terbakar semangatnya untuk bertempur.
Sejarah kemudian mencatat perang 10 November sebagai salah satu perang paling penting dalam sejarah Indonesia.
Narasi demikian menjadi pengetahuan umum yang selama ini masif disebarkan. Hal ini tidak keliru.
Hanya saja jika ditelaah lebih lanjut, cerita tentang aksi 10 November ternyata tidak seluruhnya seperti yang dinarasikan.
Banyak yang tidak tahu bahwa sebenarnya dari sekian banyak orang yang terlibat dalam momentum 10 November sebagian besarnya terdiri dari para santri yang berasal dari banyak daerah, tidak hanya dari Surabaya itu sendiri.
Zainul Milal Bizawie dalam Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945 (2016), menjelaskan panjang lebar mengenai hal ini.
Menurut Zainul Milal, sebagian besar pasukan yang terlibat dalam perang 10 November berasal dari Laskar Hizbullah yang notabennya adalah barisan tempur yang terdiri dari para santri dan ulama.
Pasukan Hizbullah yang ikut perang berasal dari berbagai kesatuan di seantero Jawa dengan KH. Abbas dari pondok pesantren Buntet, Cirebon, sebagai komandan perang.
Keterlibatan Hizbullah dalam aksi 10 November bukan tanpa sebab. Berkumpulnya pasukan Hizbullah di Surabaya adalah wujud kepatuhan para santri dan ulama terhadap Resolusi Jihad yang dikeluarkan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Dalam resolusi tersebut, Hadratussyekh berfatwa kepada seluruh kaum muslimin khususnya dan rakyat Indonesia umumnya untuk melanjutkan perjuangan menegakkan negara republik Indonesia.
Fatwa inilah yang menjadi dasar Laskar Hizbullah bergerak ke Surabaya untuk berperang melawan sekutu.
Tanpa fatwa Hadratussyekh, kecil kemungkinan eskalasi perang Surabaya akan menjadi sebesar itu.
Fatwa tersebut memberi penegasan secara teologis bahwa perang melawan sekutu sama dengan jihad fi’sabilillah. Hal itu yang kemudian memberi keyakinan dan keteguhan tekad di diri para santri dan ulama dalam tubuh Hizbullah untuk berangkat perang ke Surabaya.
Kenyataan ini secara telak membantah cerita kalau peserta perang 10 November hanya berasal dari Surabaya saja.
Pada faktanya mereka yang mati-matian di Surabaya saat itu berasal dari banyak daerah di luar Surabaya.
Selain itu, perlu digarisbawahi pula bahwa para santri dan ulama punya peran besar dalam peristiwa yang dikemudian hari diabadikan sebagai Hari Pahlawan tersebut.
Oleh karenanya, anggapan yang melihat peran militer dan aktivis nasionalis sebagai elemen paling penting dalam berbagai dinamika revolusi kemerdekaan Indonesia menjadi sesuatu yang harus ditinjau ulang.
Sebab pada praktiknya, kemerdekaan Indonesia diperjuangkan tidak hanya oleh tentara dan para aktivis nasionalis semata. Melainkan diperjuangkan pula.oleh berbagai kelompok sosial di tanah air.
Melihat betapa vitalnya peran santri dan ulama dalam salah satu chapter perjuangan kemerdekaan di Indonesia, wajar selanjutnya jika hal itu dikenang dalam satu perayaan simbolik oleh segenap rakyat Indonesia.
Hari Santri Nasional (HSN) yang oleh Presiden Joko Widodo diputuskan untuk diperingati setiap tanggal 22 Oktober adalah salah satu upaya positif untuk mengenang bagaimana peran para santri dan ulama bagi Indonesia.
Hari Santri harus diingat agar semua orang tahu bahwa republik ini tidak didirikan hanya oleh satu golongan saja.
Indonesia didirikan oleh banyak orang dari berbagai latar belakang sosial, politik, ideologi dan agama.
Mereka yang masih menganggap bahwa ada peran kelompok dominan dalam sejarah Indonesia ialah mereka yang buta sejarah. Hari Santri bisa menjadi pintu masuk penting untuk melihat sejarah Indonesia dengan cara yang lebih berbeda. []