Hapus Tweet Tentang Kashmir, Twitter Dituduh Batasi Kebebasan Berekspresi
Aktivis HAM telah menyuarakan keprihatinan mereka atas penghapusan ratusan ribu tweet yang kritis terhadap kebijakan pemerintah India tentang Kashmir, banyak dari tweet tersebut adalah milik para wartawan yang meliput berita Kashmir.
Setelah penelitian yang dilakukan oleh pengawas media, Komite untuk Melindungi Jurnalis (CPJ), situs micro-blogging itu dituduh telah menekan kebebasan berekspresi di Kashmir, mereka mengungkapkan bahwa hampir satu juta tweet telah dihapus sejak tahun 2017.
Menurut laporan transparansi Twitter, pada paruh kedua tahun 2018, jumlah akun di India yang di blokir lebih banyak daripada akun-akun seluruh dunia jika digabungkan.
Khurram Parvez, seorang aktivis HAM yang berbasis di Kashmir, mengatakan bahwa penangguhan akun-akun warga Kashmir di Twitter itu sangat selaras dengan temperamen pemerintah di Kashmir yang sering memerintahkan penutupan akses internet.
“Perbedaan pendapat dikriminalisasi dan ruang gerak dibatasi. Dengan cara ini, Twitter secara otomatis berpihak pada penindasan, bukan dengan perasaan. Ini adalah sebuah pelanggaran atas hak kebebasan berbicara,” katanya kepada Al Jazeera.
Wilayah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim itu telah berada di bawah isolasi dan pemadaman akses komunikasi sejak tanggal 5 Agustus, ketika New Delhi membatalkan Pasal 370 konstitusi, yang memberi status otonomi khusus pada Kashmir.
Meskipun pembatasan akses pada ponsel itu telah dicabut sebagian, akses untuk internet masih tetap ditangguhkan sampai sekarang. Hal ini menjadikannya salah satu penangguhan akses internet terpanjang di wilayah Himalaya yang diperebutkan oleh India dan Pakistan.
Akar Patel, Direktur Amnesty International Asia Selatan, menyebut tindakan Twitter ini sebagai ‘perampasan yang mendasar pada hak kebebasan berekspresi’.
Dalam beberapa tahun terakhir, ketika penetrasi akses internet semakin meluas di Kashmir, media sosial, termasuk Twitter, menjadi platform yang banyak disukai untuk mengekspresikan sebuah pendapat. Pemerintah daerah telah sering memerintahkan penangguhan akses internet dengan alasan bahwa platform tersebut digunakan untuk memicu protes.
Penangguhan internet di Kashmir, yang telah berlangsung selama tiga bulan ini telah mempengaruhi proses penyebaran informasi serta kegiatan bisnis dan e-commerce di wilayah tersebut.
Parvez, mengatakan banyak orang di Kashmir yang membuat tweet untuk menyatakan perbedaan pendapat dengan pemerintah.
“Di mana orang-orang bisa mengekspresikan diri mereka? Jika mereka protes di jalan mereka akan dikriminalisasi, dan sekarang mereka bahkan tidak bisa melakukannya di dunia maya,” katanya.
Menurut laporan dari CPJ yang diterbitkan pada tanggal 24 Oktober, mengungkapkan bahwa konten-konten yang diblokir oleh Twitter di bawah kebijakannya, banyak yang berfokus pada Kashmir.
“Di antara puluhan akun yang ditahan, CPJ mengidentifikasi beberapa akun selain @KashmirNarrator yang juga berisi berbagi berita dan pendapat, mengajukan pertanyaan-pertanyaan serius tentang perlindungan apa yang ada untuk memastikan kebebasan pers dan arus penyebaran informasi yang bebas,” kata sebuah laporan yang diterbitkan di Situs web CPJ.
Setelah isolasi total di Kashmir pada tanggal 5 Agustus, Ahmad, seorang peneliti media yang berbasis di New Delhi, membuat beberapa tweet pesan SOS dari akunnya yang berisi tentang situasi keamanan yang genting di wilayah itu.
Akunnya telah di blokir dan pesan yang ditampilkan di akun twitternya berbunyi bahwa ‘akun tersebut telah melanggar aturan Twitter’.
“Saya telah berbagi banyak kisah tentang Kashmir dan menandai badan-badan HAM global seperti PBB, Amnesty International, dan banyak lainnya,” kata pria berusia 29 tahun itu.
Menurut Ahmad, akunnya dipulihkan kembali setelah ia menghapus hampir puluhan tweet yang berisi tentang Kashmir.
“Akun saya tidak dipulihkan sampai saya terpaksa menghapus tweet-tweet itu. Pesan yang terpampang itu terus menunjukkan bahwa tweet-tweet tersebut bertentangan dengan apa yang mereka sebut kebijakan,” katanya, seraya menambahkan bahwa sekarang ia menyensor dirinya dulu sebelum membuat tweet apapun, terutama tentang situasi Kashmir.
Ahmad, yang tidak mau menyebut nama lengkapnya dengan alasan keamanan, menuduh bahwa ‘Twitter telah membatasi ruang dan hak mereka untuk berbicara tentang pengepungan Kashmir’.
“Sekarang menjadi sangat sulit dan tidak aman untuk berbagi pendapat anda di Twitter, platform yang mengklaim mendukung kebebasan berbicara. Anda bahkan tidak dapat berbicara tentang sebuah pelanggaran hak asasi manusia,” lanjutnya.
Faisal Khan, jurnalis foto berusia 30 tahun yang bekerja di kantor berita Anadolu, mengatakan ‘sensor bukanlah hal yang baru’.
“Pada tahun 2016, saya telah membagikan sebuah gambar grafiti yang memuji seorang komandan pemberontak dan Twitter langsung menangguhkan akun saya,” katanya.
Akun Khan diblokir lagi pada tanggal 8 September 2017, ketika ia berbagi foto seorang polisi yang memegang senjata mengejar seorang demonstran berstatus pelajar yang berlari dengan tas sekolah di punggungnya.
“Saya menulis ke Twitter, mereka tidak perlu membantu dan saya mengajukan diri untuk menghapus foto-foto itu sendiri. Aku tidak punya pilihan lain,” katanya.
Khan mengatakan langkah Twitter adalah sebuah pengekangan tehadap ‘kebebasan berbicara dan mengontrol arus informasi yang bebas’.
“Sebagai seorang jurnalis, saya menunjukkan melalui foto-foto tentang apa yang saya lihat tanpa bias, tetapi Twitter menangguhkan akun saya tanpa merinci penyebab spesifik keberatan mereka dalam foto-foto saya,” kata Khan.
Jurnalis Kashmir lainnya, Masrat Zahra, juga menuduh fotonya telah disensor oleh pihak Twitter.
“Salah satu foto saya tentang seorang pelayat yang religius sedang membawa gambar seorang komandan pemberontak, diblokir oleh Twitter dan Instagram dengan alasan pelanggaran yang tidak jelas,” kata jurnalis foto berusia 25 tahun itu.
Proses penyensuran konten di Twitter telah meningkat sejak tahun 2017, hampir dua tahun sebelum langkah Kashmir oleh New Delhi, meningkatkan kekhawatiran di antara orang-orang yang mendukung kebebasan berbicara di India.
Geeta sesu, salah satu pendiri FreeSpeech Collective, sebuah kelompok advokasi untuk kebebasan berbicara yang berbasis di New Delhi, mengatakan bahwa ‘tindakan Twitter ini benar-benar sudah salah dan sangat mengganggu’.
“Twitter seharusnya menjadi ruang yang demokratis dan transparan tentang alasan mengapa beberapa akun ditangguhkan dan konten apa di dalamnya yang dianggap tidak pantas,” katanya.
“Jika Twitter melakukannya (sensor), itu akan mengurangi ruang orang-orang dan merampas platform mereka untuk berdiskusi dan berdebat. Sangat disesalkan bahwa Twitter adalah bagian dari sensor yang diberlakukan oleh pemerintah India pada warga biasa.”
Saat ditanya tentang pemblokiran akun-akun Twitter di Kashmir atas permintaan dari agen keamanan, kepala polisi wilayah itu, Dilbagh Singh, mengatakan bahwa ‘dia tidak tahu apa-apa tentang hal itu’.
Namun, pejabat tinggi lainnya, yang berbicara dengan syarat anonimitas, mengakui bahwa mereka ‘membuat akun-akun Twitter di blokir karena berbagi konten anti-nasional’.
Pendukung pemerintahan nasionalis Hindu Perdana Menteri Narendra Modi, sering menyebut para kritikus dan pemimpin oposisi sebagai ‘anti-nasional’.
“Setelah mengidentifikasi platform Twitter, permintaan dilakukan melalui hakim untuk pemblokiran akun-akun itu. Setelah mendapatkan perintah pengadilan yang tepat, perintah itu juga dikirim ke Computer Emergency Response Team (CERT), sebuah badan ahli yang menangani insiden keamanan komputer,” kata pejabat itu.
Pejabat itu mengatakan CERT, sebagai penghubung dengan platform media sosial, memeriksa ‘kepantasan dari akun yang diminta untuk diblokir’.
“Sebagian besar akun-akun itu berisi konten anti-nasional dan terkadang juga isinya menghujat,” katanya.
Namun, dia tidak menjelaskan konten ‘menghujat’ itu lebih lanjut karena India tidak memiliki hukum tentang penistaan.
“Sangat masuk akal pemerintah India mengejar Twitter dan penggunanya, karena Twitter sebagai platform adalah sumber berbagi informasi yang sangat signifikan bagi jurnalis dan aktivis serta warga negara biasa di Kashmir,” kata David Kaye, seorang pelapor khusus PBB untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi, kepada CPJ.
Dalam tanggapannya terhadap tuduhan itu, seorang juru bicara Twitter mengatakan dalam sebuah pernyataan melalui email kepada Al Jazeera: “Di Twitter, tidak ada satupun yang berada di atas aturan kita”.
“Kami menegakkan kebijakan kami secara bijaksana dan tidak memihak untuk semua pengguna terlepas dari keyakinan dan latar belakang politik mereka. Sehubungan dengan permintaan hukum yang resmi, kami harus mematuhi menurut hukum India. Kami mempublikasikan tindakan yang dilakukan dua kali dalam setahun ini di Laporan Transparansi Twitter untuk tujuan kesadaran dan pengungkapan kepada public,” kata pernyataan itu. (Aljazeera.com)