Halaqah Fiqih Peradaban

Halaqah Fiqih Peradaban
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pada tanggal 11 Agustus 2022 lalu, PBNU me-launching program Halaqah fiqih peradaban di Ponpes Krapyak, Yogyakarta.
Program ini merupakan bagian dari rangkaian dalam menyambut satu abad NU. Diselenggarakan kurang lebih di 250 titik di seluruh Indonesia.
Lantas apakah fiqih peradaban itu?
Secara terminologi penggabungan kata fikih dan peradaban cenderung baru dalam masyarakat muslim Indonesia.
Dalam kajian kitab kuning, fan atau ilmu fikih biasanya dipertukarkan dengan ilmu syariat atau hukum Islam.
Pengelompokan bahasannya setidaknya terdiri dari hukum ibadah mahdlah seperti tata cara shalat, puasa, zakat dan semacamnya.
Kemudian mu’amalah seprti transaksi jual beli. Selanjutnya hukum keluarga (al ahwal asy-Syakhsiyah) seperti nikah, talak dan iddah. Terakhir hukum pidana (jinaayah) seperti pencurian dan pembunuhan.
Fiqih perdaban, sebagaimana dipaparkan KH Afifuddin Muhajir, bukanlah fihdul adab (hukum tata krama atau sopan santun), melainkan fiqhul hadlaarah. Kata al-hadlaarah merupakan lawan kata al-badaawah.
Istilah badaawah mengacu pada karakter masyarakat badui Arab pra modern yang menghuni wilayah padang pasir.
Masyarakat yang cenderung nomaden dan relatif tidak memiliki budaya yang mapan.
Lawannya masyarakat badui nomaden disebut ahlul hadlaarah atau masyarakat madani dalam istilahnya Ibnu Khaldun.
Mereka yang hidup menetap dan membangun peradaban bersama.
Dengan demikian, fiqih peradaban merupakan ilmu atau wacana mengenai kehidupan bermasyarakat.
Menusut KH Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya, ada dua alasan penting mengapa tema fiqih peradaban diangkat dalam 250 halaqah yang puncaknya Januari 2023 nanti.
Pertama, kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1926 merupakan penanda penting sebagai lahirnya tatanan dunia baru.
NU, katanya, lahir dalam konteks peradaban baru pasca runtuhnya khilafah di Turki.
NU berdiri ketika dunia modern mulai memperkenalkan tatanan negara-bangsa.
Sehingga, banyak konsekuensi hukum (fiqh) yang perlu dikontekstualisasi mengingat kitab kuning banyak dikarang pada masa klasik yang model pemerintahannya masih menggunakan sistem dinasti atau khilafah.
Kedua, keberanian para ulama NU pada masa awal mula berdirinya NU dalam membangun inisiatif dan menggali terobosan baru dalam konteks hukum Islam.
Salah satu kasus yang diangkat Gus Yahya adalah ketika Muktamar NU di Menes tahun 1938, NU dengan seizin para Kyai memberikan kesempatan pada dua orang ulama perempuan atau nyai yakni Nyai Juaisih dan Nyai Stiti Saroh untuk berpidato di depan peserta muktamar. Padahal dalam wacana fikih Islam, suara perempuan itu aurat.
Dalam kesempatan lain dalam halaqah yang diselenggarakan di Cipasung (17/09/2022), Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil menjelaskan bahwa `fiqih peradaban merupakan istilah yang lebih universal dan kelanjutan dari program Islam Nusantara yang dicanangkan pada kepengurusan PBNU sebelumnya.
Jika Islam Nusantara berbicara memantapkan keislaman dan nasionalisme, maka `fiqih peradaban berbicara soal Islam pada level internasional.
Mengenai tujuan diadakannya Halaqah fiqih peradaban, Gus Ulil selaku ketua panitia menjelaskan dalam konferensi pers-nya bahwa dengan acara halaqah ini yang pertama diharapkan dapat menghidupkan kembali diskusi dan percakapan pemikiran di antara kyai agar dapat memberi respon terhadap persoalan terkini baik pada level nasional maupun global.
Yang kedua, sebagai bentuk output-nya adalah terbentuknya tatanan peradaban yang berorientasi pada keadilan dan perdamaiaan.
Sehingga bagi Gus Yahya, sebagaimana dikutip Gus Ulil, Islam harus menjadi solusi dan bukannya sumber masalah. []