Hakikat Kebahagiaan Perspektif Ilmu Tasawuf dan Tafsir Modern 

 Hakikat Kebahagiaan Perspektif Ilmu Tasawuf dan Tafsir Modern 

Hujan (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Hakikat kehidupan dipenuhi dengan rasa kebahagiaan, senang, suka, gembira. Selain itu, juga diiringi dengan kesedihan, tangis dan duka, tertawa atau menangis adalah sebuah cara untuk meluapkan rasa yang dialami manusia.

Sebab manusia ditanamkan jiwa atau rasa oleh Allah dengan hati yang lembut selain akal yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Disamping itu, harus ada jiwa yang tenang karena apa pun yang terjadi, bagaimana sikap kita menghadapi segala cobaan yang diberikan Tuhan.

Menurut Habib Husein al Hadar dalam acaranya disalah satu stasiun TV, beliau menjelaskan bahwa jika kita diberikan nikmat, maka bersyukurlah. Namun jika memang tidak ada yang kita syukuri dalam diri atau hidup kita, maka tanamkanlah sikap sabar dalam hati kalian. Hidup itu simple! Bersyukur dan bersabar. 

Kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan yang ditujukan kepada Tuhan. Syaid Muhammad Naquib al-Attas memberikan pandangan bahwa kebahagiaan bukan hanya bersifat fisik saja, kebahagiaan non fisik, kebahagiaan spiritual yang bersifat kekal.

Menggapai Kebahagiaan yang Hakiki

Penekanan pada batin atau hati, yang mana ketika dirinya lebih mengenal Tuhan dan cinta kepada sang Pencipta. Sama halnya dengan Prof. Mulyadi Kertanegara dalam seminar “Sehat Mental Menghadapi Pandemi Perspektif Tasawuf” di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Prof. Mulyadi Kertanegara lebih general menjelaskan, “Kebahagiaan itu bukan hanya bersifat fisik saja. Kebahagiaan bisa didapat dari berbagai aktifitas. Misal, ketika seseorang menuntut ilmu dan ia mendapatkan ilmu baru dan mengamalkannya, maka ia akan bahagia, seorang intelek, jika ia tuliskan pemikirannya dalam karya-karya maka ia akan bahagia. Jika lapar lalu makan, haus lalu minum, maka ia akan bahagia.”

Sebab ada banyak cara untuk mencapai kebahagiaan, khususnya pada masa pandemi sekarang ini. Hati, pikiran, jiwa harus selalu ditanamkan rasa bahagia karena salah satu obat atau cara menghindari agar tidak terkena covid ialah dari diri kita sendiri.

Dengan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah, banyak berzikir, pikiran selalu positif dan hati selalu tenang. Dengan tenangnya jiwa, maka tubuh kita pun akan mendapatkan energi baik. 

Kebahagiaan Kesempurnaan Akal

Selain dalam ilmu tasawuf, para Mufasir juga mempunyai pandangan berbeda terkait kebahagiaan. Hamka pun mempunyai argumentasi berbeda bahwa kesempurnaan kebahagiaan tergantung kepada kesempurnaan akal.

Namun usaha akal tidak akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan sempurna. Ada perantaraan antara akal dengan bahagia, yaitu iradah, (kemauan).

Walaupun akal sudah tinggi, kalau tidak ada iradah untuk mencapai bahagia, bahagia itu tidak akan tercapai. Sedangkan Wahbah al-Zuhaily mengatakan, jika kebahagiaan bagi mereka yang berbahagia adalah mereka yang bersih dari kekufuran dan kemaksiatan. Kemudian beriman kepada Allah, mengesakan-Nya, serta menjalankan syariat-Nya. 

Pada hakikatnya, kebahagiaan merupakan suatu rasa yang memang tercipta dengan sendirinya tanpa teori dan definisi. Namun para ahli tasawuf dan mufasir modern mencoba untuk mengkontekstualisasikan kebahagiaan dalam kehidupan. Agar manusia sadar bahwa banyak cara untuk mencapai kebahagiaan, yaitu hati yang selalu dipenuhi dengan rasa cinta pada Allah.

Surah Alquran tentang Kebahagiaan

Terdapat penjelasan kebahagiaan seperti apa dan bagaimana, dalam surat al-Hud ayat 108, surat al-Mu’minun ayat 1 dan al-Qasas ayat 67,  yang berbunyi :

Q.S 11:108 

وَاَمَّا الَّذِيْنَ سُعِدُوْا فَفِى الْجَنَّةِ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا مَا دَامَتِ السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُ اِلَّا مَا شَاۤءَ رَبُّكَۗ عَطَاۤءً غَيْرَ مَجْذُوْذٍ 

“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga; mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tidak ada putus-putusnya. 

Q.S 23:1 

 قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ 

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman.”

Q.S 28:67 

فَاَمَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنَ مِنَ الْمُفْلِحِيْنَ  

“Maka adapun orang yang bertobat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, maka mudah-mudahan dia termasuk orang yang beruntung.”

Lalu bagaimana jika kebahagiaan yang hanya ditujukan kepada dunia semata? Semisal cinta dan bahagia karena harta. Bahagia karena membanggakan anak-anaknya sehingga membuat hati lupa kepada Allah. Bahagia yang dapat melupakan dirinya akan Allah.

Sebab, pada hakikatnya manusia itu dihiasi akan kecintaan kepada wanita, anak-anak dan harta-harta . Jika kita larut kepada itu semua, maka akan membuat kita jauh dari Allah, sebagaimana dalam surat ali Imran ayat 14 yang berbunyi: 

Q.S 3:14 

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ 

Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. 

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun itu kebahagiaan nya pada hakikatnya ialah kebahagiaan yang selalu tertuju kepada Allah. Hati yang ditanamkan rasa cinta kepadanya sehingga jika memang sesuatu yng bertambah untuk kita baik dari segi harta atau lainnya.

Hati kita tetap bersyukur dan tidak berlebihan akan kedatangannya. Namun sebaliknya, jika sesuatu yang diambil dari kita maka cukuplan bersabar untuk tidak larut dalam kesedihan bahkan keraguan akan nikmat Tuhan.

Ulfa Nur Azizah

Mahasiswa Tafsir

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *