Hakikat dan Majaz
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Diantara alasan mereka yang suka melemparkan tuduhan syirik dan kafir pada orang lain atau bahkan pada para ulama adalah:
“Ungkapan A ini tidak pantas disematkan pada selain Allah Swt. Karena itu, melekatkannya pada selain Allah berarti kafir atau musyrik.”
Ini juga diantaranya yang dijadikan sebagai alasan untuk mengkafirkan Imam al-Bushiri karena beberapa syair madah-nya terhadap Rasulullah saw. dalam burdah dianggap tidak pantas diucapkan untuk manusia meskipun ia seorang Nabi. Ungkapan itu hanya pantas diucapkan untuk Allah Swt saja.
Kalau masalahnya pantas atau tidak pantas tentu masih bisa diterima karena ia berkaitan dengan dzauq atau rasa. Tapi kalau sudah sampai pada tahap mengkafirkan atau menuduh syirik, tentu ini tak bisa dianggap ringan.
Pernah ada seorang ‘ustadz’ melarang mengatakan ‘pencipta lagu’, karena menurutnya kata ‘pencipta’ hanya layak dipakaikan untuk Allah Swt., bukan untuk manusia.
Di sebuah negara, ada seorang guru mengajarkan hukum Euklides dalam bidang matematika kepada siswanya. Hukum itu mengatakan bahwa dua garis yang sejajar bila dibentang sepanjang apapun tidak akan pernah bertemu.
Sang guru tidak menyebut ‘dengan izin Allah’. Akhirnya ia dipanggil oleh kepala sekolah dan dikeluarkan karena kelurusan akidahnya diragukan.
Setelah itu keluar sebuah edaran untuk para guru.
Di antara isinya adalah,
“Guru tidak boleh mengatakan kepada murid: “Apa yang terjadi kalau hewan tidak mendapatkan makanan?” Yang seharusnya guru katakan adalah: “Apa yang terjadi kalau Allah tidak memberi makan hewan?”
Menurut lajnah ilmiah di negeri itu, setiap perbuatan dan peristiwa mesti dinisbahkan kepada Allah Swt, tidak boleh kepada makhluk, karena hal itu berarti syirik.
Kalau ada seseorang ditanya, siapakah yang mewafatkan manusia?
Lalu ia menjawab, “Malaikat maut”. Apakah jawabannya salah? Apakah kita akan berkata, “Kamu salah. Yang mewafatkan manusia dan seluruh makhluk hidup itu adalah Allah Swt.”
Lalu dengan percaya diri kita akan sampaikan dalilnya:
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ … (الزمر : 42)
Artinya:
“Allah yang mewafatkan jiwa…”
Tapi ia bisa menjawab balik, “Bukankah Allah Swt. juga berfirman:
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ … (السجدة : 11)
Artinya:
“Katakanlah kamu akan diwafatkan oleh malaikat maut…”
Dalam ayat yang lain juga disebutkan:
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ (الأنعام : 61)
Artinya:
“Hingga apabila kematian datang kepada salah seorang diantara kamu malaikat-malaikat Kami mencabut nyawanya dan mereka tidak melalaikan tugasnya.”
Jadi, siapa yang mewafatkan, Allah atau malaikat maut?
Apakah ada pencipta selain Allah Swt? Tentu tidak. Apakah ada yang memberi rezeki selain-Nya? Tentu juga tidak. Allah Swt. berfirman dengan tegas:
هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ … (فاطر : 3)
Artinya:
“Apakah ada pencipta selain Allah, Dia yang memberi kamu rezeki dari langit dan Bumi…”
Kalau demikian, apakah kata-kata ‘mencipta’ dan ‘memberi rezeki’ boleh dinisbahkan dan dipakaikan pada makhluk?
Mari kita cari petunjuknya dalam Al-Quran. Dalam surat Al-Maidah disebutkan:
… وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ … (المائدة : 110)
Artinya:
“… dan ingatlah ketika engkau menciptakan dari tanah seperti bentuk burung…”
Allah Swt juga berfirman:
فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (المؤمنون : 14)
Artinya: “Mahasuci Allah sebaik-baik pencipta.”
Berarti kata ‘mencipta’ dan ‘pencipta’ boleh dipakaikan untuk makhluk.
‘Memberi rezeki’ juga demikian. Allah Swt yang menisbahkan hal ini pada makhluk-Nya.
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا … (النساء : 5)
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan, dan berilah rezeki mereka darinya…”
Siapa yang bisa memberikan hidayah? Tentunya Allah Swt. Perhatikan ayat berikut:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ … (القصص : 56)
Artinya:
“Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi hidayah orang yang engkau cintai, tetapi Allah yang memberi hidayah siapa yang Dia kehendaki…”
Bahkan Nabi pun tidak diberikan ‘kewenangan’ untuk memberikan hidayah pada pamannya Abu Thalib.
Tapi di banyak ayat yang lain, hidayah bisa diberikan oleh manusia. Perhatikan ayat-ayat berikut:
وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ… (الأعراف : 181)
Artinya:
“Dan diantara orang yang telah Kami ciptakan ada umat yang memberi hidayah dengan kebenaran…”
وَقَالَ الَّذِي آمَنَ يَاقَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (غافر : 38)
Artinya:
“Dan orang yang beriman itu berkata, “Wahai kaumku! Ikutilah aku, aku akan me mberi hidayah (menunjukimu) ke jalan yang benar.”
يَاأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (مريم : 43)
Artinya:
“Wahai ayahku, sungguh telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku niscaya aku akan menunjukimu ke jalan yang lurus.”
Jadi, apakah manusia bisa memberi hidayah ataukah itu hak prerogatif Allah Swt semata?
Jawabannya sederhana saja. Itulah yang disebut dengan hakikat dan majaz.
Secara hakikat hanya Allah yang mencipta, memberi rezeki, mewafatkan, memberi hidayah dan sebagainya. Ketika semua itu dinisbahkan (digunakan) untuk manusia berarti ia bersifat majaz (dengan segala variannya).
Tak satupun bahasa di dunia yang tidak menggunakan majaz. Bahkan dalam percakapan sehari-hari kita juga menggunakan majaz.
Pernahkah kita berkata, “Ibu sedang masak nasi.” Kalimat ini salah jika dimaknai secara hakikat, karena kalau nasi yang dimasak berarti ia akan menjadi bubur.
Tapi ia benar jika dimaknai secara majaz: ibu memasak (beras) yang akan menjadi nasi. Ini yang disebut dengan: المجاز المرسل باعتبار ما يكون
والله تعالى أعلم وأحكم
[]