Haji, Kurban, dan Menanggalkan Status Sosial

 Haji, Kurban, dan Menanggalkan Status Sosial

Pegulat Muslim Kanada Wujudkan Mimpinya untuk Bisa Umrah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Menunaikan ibadah haji merupakan kemestian bagi umat muslim yang mampu, mau, dan telah terpanggil hatinya untuk datang menyaksikan keagungan-Nya, Kakbah. Di sana, umat muslim membaur tanpa ada sekat etnis, kekayaan, apalagi jabatan. Hanya banyaknya amal baik yang jadi pembeda, dan itu hanya Maha Kuasa yang mengetahuinya.

Di tahun 1995, Komaruddin Hidayat telah menyinggung perkara ini. Perkara berhaji yang nilainya bukan pada status sosialnya di masyarakat, tetapi lebih pada perbaikan diri. Karena mereka yang menunaikan haji tentu tidak meniatkan diri untuk plesiran, tetapi dalam rangka beribadah menggenapkan rukun Islam.

Di artikelnya Psikologi Haji (1995), ia memberi makna yang saya rasa lebih beraroma sufistik tentang berhaji ketimbang psikologi. Ia memulainya dengan laku wajib bagi orang berhaji yang mengenakan ihram. Baginya, ini menjadi indikasi bahwa kehidupan di dunia yang serba semrawut mesti ditanggalkan.

Kutipan di artikelnya: “Secara psikologis, pakaian keseharian kita merupakan refleksi keakuan serta simbol status sosial. (maka) Ketika menghadap Tuhan, pakaian ini kita lepaskan”. Penghambaan muslim kepada-Nya di banyak riwayat memang tidak mempertimbangkan pakaian yang dikenakan. Siapa saja boleh menghadap-Nya, sekalipun dari strata sosial yang sangat rendah.

Tetapi pembahasan tentang ihram ini lantas menukik pada peristiwa muram yang kerap terjadi di negeri ini; korupsi, kolusi, dan nepotisme. Komaruddin Hidayat memberi contoh seorang lurah yang telah menjabat puluhan tahun. Konsekuensinya, jabatan sampai atribut lainnya telah merangsek ke alam bawah sadarnya. Parahnya lagi, hal ini didukung oleh keluarga dengan membangun image sebagai keluarga besar lurah. Pun tetangga di sekitarnya juga demikian.

Sampai-sampai si lurah luput bahwa jabatan itu hanya tempelan yang kapan saja dapat lepas tanpa ada didahului kata sepakat. Dari sini kita dapat melihat pakaian yang dimaksud memiliki arti lebih luas. Pemaknaannya lebih lanjut mengenai pakaian, “Sebuah kekuatan yang menjajah keakuan seseorang yang paling polos dan mulia bahwa, setiap orang pada dasarnya memiliki derajat yang sama.”

Pun saat umat muslim tengah melakukan thawaf. Bagi Komaruddin Hidayat, thawaf jadi media pengingat bagi umat muslim bahwa, kehidupan selanjutnya sudah menanti. Di samping thawaf sendiri ia maknai sebagai perjalanan siklus keseharian yang terus-menerus mesti berbuat baik.

Mereka yang telah menunaikan ibadah haji, semestinya bisa mentransendenkan segala lakunya. Sehingga perilakunya menjadi bermakna, tidak kering, dan berlalu tanpa ada pelajaran yang didapat.

Terlebih saat wuquf di Padang Arafah yang dinilai oleh sebagian ulama menjadi puncaknya orang menunaikan ibadah haji. Mereka para haji bisa memanfaatkannya dalam rangka merenungi kedirian, menginsyafi segala luput, dan berniat untuk menunaikan laku baik setelah haji ditunaikan. Dari sini, seorang muslim akan menjadi pribadi yang baru ketika kembali ke tanah air. Pribadi dengan manfaat tidak hanya untuknya saja, tetapi juga untuk orang lain dan lingkungan di sekitarnya.

Sementara itu, ketika para haji menunaikan syarat dan rukunnya, muslim di tanah air menunaikan ibadah idul adha yang disimbolkan dengan kurban. Riwayat pada ajaran Islam, kurban dimulai dengan mimpi dari Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail. Kendati setelahnya diganti dengan binatang, tetapi mimpi ini jadi bukti bahwa segala yang ada merupakan milik-Nya. Bukan milik manusia yang bisa dibangga-banggakan, sekalipun itu anaknya sendiri.

Komaruddin Hidayat mengajukan tanya sosial yang menggugat terkait ini: “Bukankah cukup banyak contoh bahwa cinta anak secara berlebihan, lebih-lebih jika ia seorang penguasa, membuat rasa keadilan dan kemanusiaannya cenderung tumpul?”. Pertanyaan ini ia ajukan di masa orde baru yang boleh kita duga, rasa-rasanya pertanyaan ini masih relevan untuk diajukan.

Wallahula’alam

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *