Gus Dur, Pos-Islamisme dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam

 Gus Dur, Pos-Islamisme dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam

Oleh: M. Fakhru Riza

HIDAYATUNA.COM – Meskipun fenomena ekstremisme-terorisme dan intoleransi masih muncul di sana-sini. Namun, sebenarnya aspirasi dan praktik politik Islam terjadi banyak rupa-rupa pergeseran yang menuju ke arah kompromi untuk menerima demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Detak-detak pergeseran tersebut ditangkap dengan cermat oleh cendikiawan Iran yang bernama Asef Bayat dan fenomena itu olehnya definisikan sebagai bentuk “Pos-Islamisme.”

Munculnya Pos-Islamisme

Pada mulanya, terma Pos-Islamisme itu dimunculkan oleh Bayat dalam sebuah esainya yang berjudul “Munculnya Masyarakat Pos-Islamisme (1996)”  yang kemudian belakangan ia sempurnakan menjadi sebuah buku yang berjudul “Pos-Islamisme (2011).” Penamaan Pos-Islamisme oleh Bayat atas fenomena perkembangan gerakan politik Islam itu mulanya terisnpirasi dari peristiwa politik yang berkembang di Iran tahun 1990-an.

Di tahun-tahun itu, Iran mengalami pekembangan politik yang disebut sebagai reformasi pasca-Khomeini. Perpolitikan Iran pada masa itu mengalami perubahan politik yang mulai sedikit banyak berkompromi dengan demokrasi dan HAM.

Peristiwa tersebut merupakan salah satu fenomena penting dalam dunia Islam. Mengingat, pada tahun 1978/79, terjadi revolusi di Iran yang dipimpin oleh seorang ulama’ besar  Syi’ah, Ayatullah Khomeini. Revolusi politik tersebut memiliki ambiguitas, sebab di satu sisi berhasil menendang kekuasaan Reza Pahlevi yang menjadi kolaborator Amerika di Iran, yang akhirnya menandakan kembalinya kedaulatan nasional Iran dari intervensi asing. Namun, di sisi lain, pada saat itulah Iran melakukan formalisasi syari’at Islam sepenuhnya, Iran menjadi negara Islam yang eksklusif dan totaliter.

Perkembangan politik Iran yang menerapkan Islam sebagai landasan bernegara tersebut, oleh berbagai pengamat disebut sebagai kemenangan “Islamisme.” Aktivisme politik Islamisme demikian ini, pada masa itu dan di dekade-dekade sebelumnya sangat populer di kalangan aktivis Muslim. Pada zaman itu, aktivis Muslim , ya.. harus memperjuangkan Islam menjadi landasan negara.

Salah satu bentuk perjuangan lain selain Islamisme ala Syi’ah di Iran adalah model Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme Jihadis.  Gerakan Islamisme ala Ikhwanul Muslimin muncul pertama kali di Mesir di bawah panji-panji Hasan al-Banna dan kemudian dilanjutkan oleh Sayid Qutub dalam versi ikhwan yang paling ekstrem. Sedangkan Wahabisme sendiri didirikan oleh Syekh Abdul Wahab di Saudi.

Kembali ke Iran. Nah, setelah Khomeini berhasil mencokolkan Islamisme dalam tatanan politik di Iran pada tahun 1978/79, kemudian dua dekade setelah itu terjadi berbagai revisi pada tatanan politik tersebut. Tatanan politik Iran yang semula mengeliminasi hak sipil warga negara dengan dalih mendahulukan syari’at, pada awal dekade 1990-an itulah Iran mengalami pergeseran.

Rezim Islamisme mulai mengakomodasi demokrasai dan HAM. Bahkan, kini partai-partai Islam sudah berkenan untuk ikut berkompetisi dalam pemilihan umum yang demokratis. Ini sebuah kemajuan dan dialektika yang menarik dalam dunia politik Islam. Berbagai tujuan aktivisme politik Islam tak lagi negara Islam, namun nilai yang lebih universal, misalnya; kesejahteraan dan kesehatan.

Ini sebuah kemajuan, walaupun masih ada beberapa kelompok aktivisme politik Islam yang menggaungkan tatanan khilafah ataupun negara Islam seperti Hizbut Tahrir (HTI) dan ISIS. Namun, sebenarnya kedua kelompok tersebut sangat minor dan tak begitu populer dibandingkan banyak partai politik Islam yang telah menang dalam berbagai pemilihan umum yang demokratis di berbagai penjuru dunia. Misalnya Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) di Turki yang kini banyak mendorong proses demokratisasi.

Gus Dur dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam

Membicarakan persoalan Islamisme dan pergeseran-pergeserannya yang mulai mengakomodasi demokrasi dan HAM, tak lengkap jika kita tak melibatkan Gus Dur. Gus Dur sejak semula sebelum ada pergeseran Islamisme menjadi Pos-Islamisme, ia sudah menggagas bahwa Islam tidak memiliki konsep tatanan politik absolut yang harus mendirikan negara Islam.

Sejak semula, Gus Dur tidak sepakat dengan gagasan yang dikembangkan oleh ideolog-ideolog Islamisme macam Hasan al-Banna ataupun Sayid Qutb. Bagi Gus Dur, sebagaimana tampak dalam esainya “Negara Islam, Adakah Konsepnya?”. Menurut Gus Dur, Islam itu tak pernah punya konsep baku perihal protokoler pergantian pemimpin dan sekaligus bentuk negaranya.

Misalnya, pada masa setelah wafatnya Nabi, Abu Bakar ditunjuk secara demokratis oleh umat Islam di Mekah dan Madinah. Namun, pada pergantian kepemimpinan selanjutnya, Umar bin Khatab tidak dipilih melalui musyawarah/demokrasi umat, namun melalui penunjukan Abu Bakar. Kemudian lebih rumit lagi pada pergeseran kepemimpinan zaman Bani Umayah dan Abasiyah yang menjadi kerajaan. Dengan demikian, bagi Gus Dur Islam sendiri tak pernah membakukan konsep negara. Maka dari itu, kaum Islamis tak dapat mendaku diri dan memaksakan adanya konsep politik tunggal dalam Islam.

Kemudian, munculnya pergeseran Islamisme yang menjadi Pos-Islamisme yang akomodatif dengan demokrasi dan HAM, merupakan kondisi sosiologis yang menampakkan kemenangan kenderungan naluriah kemanusiaan universal bahwa politik dan kedaulatan manusia tak bisa dimonopoli oleh negara, termasuk oleh negara Islam.

Rupanya, umat Islam sekalipun, bukan hanya orang sekuler di negeri–negeri Barat, semuanya secara universal menginginkan kebebasan sipil dan politik. Setiap manusia, termasuk yang beragama Islam menginginkan kepemimpinan yang dipilih melalui mekanisme kompetisi yang demokratis.

Kecenderungan naluriah kemanusiaan yang universal demikian inilah yang sedari awal disetujui oleh Gus Dur, siapa pun memiliki hak dan kesetaraan yang sama di mata negara, tanpa dibeda-bedakan berdasarkan latar belakang agamanya. Maka tak heran, pada masa rezim Orde Baru yang mendustai demokrasi, Gus Dur melakukan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi (Fordem).

Gus Dur juga lebih menyetujui tatanan sosial yang kosmopolitan, di mana siapa pun secara setara dapat bergaul dan saling membaur. Toh, sebagaimana pernah diungkapkan Gus Dur dalam esainya “Universalisme Isalm dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam” bahwa ada banyak contoh dalam sejarah perkembangan Islam di Timur Tengah yang cukup kosmopolit.

Misalnya, sosok seperti al-Hijri yang menjadi ensiklopedis Muslim pertama pada abad ke tiga hijriah. Ia mendapatkan keahliannya dari menyerap peradaban Yunani yang terlebih dahulu mengenal model ensiklopedia. Selain itu, tradisi teologi Islam yang dikembangan oleh para ulama’ muatakalimun seperti al-Asy’ari dan al-Maturidi tak lain sedikit banyak terpengaruh dari tradisi filsafat yang ada di peradaban Yunani, sebuah peradaban di luar Islam.

Dengan demikian, bagai Gus Dur, masa lalu peradaban Islam itu sangat besar dan tentu saja tak sesempit sebagaimana yang ada dalam bayangan kalangan Islamis yang hanya menginginkan tatanan politik eksklusif di mana tak ada perjumpaan dengan berbagai kebudayaan di luar sana yang maha luas yang dapat kita ambil kearifannya.

Maka dari itu, dengan adanya fakta sosiologis bahwa Islamisme teleh bergeser menjadi Pos-Islamisme, di mana utopia negara Islam sudah tidak populer di kalangan Muslim, kalah dengan demokrasi dan HAM. Hal ini menampakkan betapa benarnya gagasan Gus Dur bahwa hendaknya kita mewarisi kosmopolitanisme sejarah peradaban Islam, bukan Islamisme yang sempit. Wallahua’lam.


Peneliti di Islami Institute

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *