Gus Dur: Islam Mampu Berdialog dengan Peradaban Nusantara

 Gus Dur: Islam Mampu Berdialog dengan Peradaban Nusantara

Gus Dur dan polemik teodisi di Negeri (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Sosok dan pemikiran Abdurrahman Wahid atau lebih kita kenal dengan sapaan Gus Dur tentu bukan hal yang baru bagi sebagian orang. Gagasannya pun sudah banyak dituangkan ke dalam ribuan karya tulisnya.

Dalam diskusi pemikiran Gus Dur yang diselenggarakan oleh Jaringan Gusdurian Ponorogo beberapa waktu lalu, saya mencatat poin-poin penting.

Hal itu sangat relevan dipraktikkan di saat umat muslim Indonesia dilanda krisis identitas seperti sekarang ini. Dimana banyak dari umat muslim yang lebih bangga dengan identitas dan simbol dari luar daripada dari dalam negeri sendiri.

Sebelumnya, kita perlu mengetahui, Gus Dur adalah tokoh Islam modern yang memiliki gagasan Islam yang lebih fleksibel. Bahkan gagasan tersebut mampu berdialog dengan kebudayaan Indonesia. Gagasan yang fenomenal itu kemudian disebut dengan pribumisasi Islam.

Untuk memahami gagasan Pribumisasi Islam, diperlukan tiga epistemologi atau rasionalitas pengetahuan. Ketiganya perlu dipahami terlebih dahulu sehingga kita tidak salah kaprah dalam memaknai gagasan pribumisasi Islam yang digagas oleh cucu KH Hasyim Asy’ari tersebut.

Islam Hadir untuk Membela Manusia

Epistemologi pribumisasi Islam dapat dipaparkan berdasarkan tiga pemikiran besar, yaitu universalisme, kosmopolitanisme, dan pribumisasi Islam. Bahasa universalisme tentu sudah sering kita dengar.

Selain Gus Dur, tokoh Islam lain yang menyebut universalisme Islam adalah Nur Cholis Majid. Islam itu memiliki sifat yang universal, tidak terbatas ruang dan waktu.

Namun universalisme Islam yang digagas oleh Gus Dur berbeda dengan universalisme Islam yang digagas oleh Nur Cholis Majid. Universalisme Islam menurut Nur Cholis Majid menekankan pada teosentris, artinya Islam itu tunduk kepada Tuhan.

Alam yang muslim adalah alam semesta yang tunduk kepada Tuhan. Sementara manusia dibentuk dari unsur alam sehingga ia juga tunduk kepada Tuhan sebagaimana alam tunduk kepada-Nya.

Lain halnya dengan Gus Dur, menurut beliau, universalisme Islam menekankan bahwa islam hadir untuk membela manusia. Islam hadir untuk menyelesaikan permasalahan manusia (antroposentris) sehingga ia menegaskan bahwa Islam itu hadir untuk membela manusia, bukan untuk membela Tuhan.

Seperti penjelasan dalam salah satu bukunya, ‘Tuhan tak Perlu Dibela’. Sebab Allah itu Maha Besar, tidak perlu pembuktian lagi untuk menunjukkan kebesaran-Nya.

Atas dasar itulah Gus Dur menjadi tokoh Islam yang kerap menggaungkan pembelaan terhadap HAM dan kebebasan beragama. Sebab Islam sendiri juga membela kebebasan beragama dan hak asasi manusia.

Tak heran jika Gus Dur kerap membela kaum agama minoritas di Indonesia. Hingga ia disebut-sebut sebagai bapak pluralisme Indonesia.

Islam Itu Mampu Berdialog dengan Peradaban

Selain bersifat universal, Islam juga perlu dipahami sebagai agama yang kosmopolitanisme. Artinya, Islam mampu berdialog dengan banyak peradaban di dunia ini, tidak hanya peradaban Arab saja. Sebab kitab suci Alquran itu realistis, terbukti bahwa di dalamnya termuat hal-hal yang mencerminkan realitas dunia.

Ketika Islam berdialog dengan peradaban Madinah, memunculkan ilmu baru yaitu fikih. Ketika Islam berdialog dengan peradaban Persia menghasilkan ilmu tasawuf. Maksudnya adalah bahwa islam itu harus terbuka dan mampu berdialog dengan peradaban lain yang sesuai.

Nah, karena Islam perlu berdialog dengan berbagai peradaban di dunia, maka Gus Dur menekankan bahwa Islam juga mampu berdialog dengan peradaban dan kebudayaan Indonesia.

Lantas muncullah konsep pribumisasi Islam yang dicetuskan oleh tokoh Islam yang bernama Gus Dur karena keinginannya mendialogkan Islam dengan peradaban yang ada di Nusantara.

Islam Hadir Tanpa Menggeser Kearifan Lokal

Jika banyak yang mengkritik bahwa gagasan pribumisasi Islam ini menciderai nilai-nilai Islam, maka itu kurang benar. Sebab dalam metodenya, nilai-nilai yang dipribumisasikan hanyalah nilai operasionalnya saja, bukan nilai normatifnya.

Di dalam Islam terdapat dua nilai besar, yaitu nilai dasar atau normatif yang terdiri dari tatanan beribadah seperti yang ada di dalam rukun Islam. Dan yang kedua nilai operasional atau budaya. Sehingga bisa dipahami bahwa dalam hal rukun islam tidak ada perubahan apapun.

Sebab nilai yang dipribumisasi adalah nilai-nilai yang kedua yaitu operasional atau nilai budayanya sehingga Islam bisa hidup dan berkembang di Nusantara. Tanpa membenturkan dengan nilai-nilai kebudayaan Indonesia.

Islam mampu berjaya di Nusantara tanpa menggeser nilai-nilai kearifan lokal. Ini bukti bahwa Islam mampu berdialog dengan budaya di Indonesia. Sebab Islam adalah agama yang membawa rahmat, bukan agama penjajahan.

Kebenaran Perlu Diperjuangkan

Maka dari itu, Gus Dur memperjuangkan gagasannya itu supaya diterima oleh masyarakat. Sebenarnya dari sejak zaman Wali Songo, praktik dari gagasan ini sudah berlangsung. Seperti memasukkan unsur islam dalam cerita wayang, memasukkan unsur ketauhidan dalam tradisi nusantara dan lain sebagainya.

Namun Gus Dur hanya ingin memberi penegasan bahwa pribumisasi Islam masih perlu dilakukan hingga sekarang. Mengingat kini semakin banyak kelompok yang justru menggeser tradisi lokal dan menggantinya dengan simbol-simbol dari Arab.

Padahal untuk menjadi muslim yang taat tidak perlu menggunakan atribut dari Arab. Sebab kondisi sosial, masyarakat dan geografis di Indonesia sangat jauh berbeda dari Timur Tengah.

Bukan hal yang mudah mengenalkan gagasan pribumisasi Islam kepada masyarakat. Banyak yang melakukan kritik terhadap pemikirannya. Namun beliau tetap teguh menyampaikan gagasannya tersebut. Sebab beliau selalu mengawal dan meyakini gagasannya sebagai kebenaran yang perlu diperjuangkan.

Menurut Gus Dur, kebenaran tidak sekedar diproduksi dan diyakini, namun juga perlu diperjuangkan. Menurutnya, memperjuangkan keyakinan adalah bagian dari ibadah.

Dengan demikian, sebagai generasi muda muslim, kita juga perlu memperjuangkan gagasan pribumisasi Islam Gus Dur tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Gus Dur lebih mencintai simbol lokal Indonesia, daripada simbol-simbol dari Arab dan Timur Tengah.

Sebagai orang Indonesia, kita tidak perlu merasa insecure dengan peradaban Islam dari Arab. Sebab kita memiliki peradaban Islam yang lebih santun dan lebih membumi dengan tradisi di bumi pertiwi.

Arini Sa’adah

Freelance Writer

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *