Gus Baha, Watak Moderasi Dakwah Media

Gus Baha (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Dalam kurun beberapa tahun belakangan, dakwah dapat diikuti melalui layar gawai. Tren dakwah semacam ini di satu sisi memang memicu dampak positif; bisa menjangkau masyarakat luas, mudah diikuti, dan tentu saja tidak perlu biaya mahal untuk mengejar popularitas.
Akan tetapi di sisi lain, apa yang disampaikan dakwah di media tidak dapat dikontrol, sekali pun oleh institusi yang berwenang. Maka wajar jika dakwah yang cenderung mengusung paham ekstremis, radikal, konservatif, dan memancing polemik bisa dengan mudah dikonsumsi oleh masyarakat awam.
Bahkan di momen-momen tertentu, dakwah seperti ini didistribusikan secara cepat untuk mendulang dukungan, mendiskriminasikan liyan, maupun untuk mengakumulasi kegaduhan demi kepentingan tertentu. Kita kerap mengalami peristiwa semacam ini.
Kendati demikian ada juga pendakwah yang melulu menyemai narasi keberislaman yang damai dan ramah. Pendakwah dari afiliasi Nahdliyin maupun Muhammadiyah juga mulai merangsek masuk ke media.
Kajian kitab kuning yang dulu hanya bisa diikuti oleh santri di pondok pesantren, kini telah tersedia di berbagai media sosial. Begitu pula dengan tema-tema relasi antara ajaran Islam dengan kebangsaan, fikih kebhinekaan, termasuk moderasi beragama gaungnya juga telah dengan mudah.
***
KH Bahaudin Nursalim atau yang akrab dikenal dengan nama Gus Baha, menjadi salah satu pendakwah yang hari ini banyak digemari oleh konsumen media. Tidak hanya karena muatan dakwahnya, tetapi juga karena persoalan yang rumit tetapi diuraikan dengan contoh-contoh keseharian.
Masyarakat awam pun menjadi paham, ternyata ajaran agama dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Sekali waktu saya pernah mendengar Gus Baha menguraikan tentang pahala ibadah.
Dengan guyonan Gus Baha menyampaikan bahwa, pahala tidak mesti diperoleh dengan ikut ngaji. Tetapi mereka yang tidak ikut ngaji lantas bekerja mencari nafkah untuk keluarga di sawah, atau merumat orang tua yang telah renta juga termasuk ibadah bernilai pahala.
Mereka-mereka ini levelnya tidak lagi teori, tetapi telah naik tingkat jadi pengejawantahan dari perbuatan baik. Narasi semacam ini saya rasa menjadi kritik dari kalangan Islam konservatif dan ekstremis. Bahwa infak terbaik, nikah syar’i, pendirian negara Islam, mencela yang tidak berjilbab, sampai membid’ahkan ekspresi beragama Islam tidak mesti diikuti.
Sebab jika dalihnya untuk menunaikan sunah Kanjeng Nabi Muhammad, bekerja atau merawat orang tua juga termasuk sunahnya.
Menguasai Strategi Dakwah dan Psikologi Masyarakat
Senada dengan interpretasi saya, artikel yang ditulis oleh Fathurrosyid berjudul Nalar Moderasi Tafsir Pop Gus Baha’: Studi Kontestasi Pengajian Tafsir Al-Qur’an di Youtube (2020) juga menemukan banyak ayat-ayat yang direkonstruksi ulang oleh Gus Baha. Khususnya dari tafsir yang cenderung radikal, literal, dan ekstremis menjadi tafsir dengan sudut pandang yang ramah dan moderat.
Artikel itu diambil dari ceramah Gus Baha di tiga tempat; kampus, pesantren, dan masjid. Ketiga lokasi ini dipilih oleh Fathurrosyid sebagai representasi dari ruang publik. Tetapi saya rasa, tiga lokasi tersebut juga merepresentasikan dari basis dan cara berislam di negeri ini. Kampus dengan nuansa akademis dan kebebasan berpikirnya, pesantren dengan pendalaman keilmuan melalui sekian kitab, dan masjid dengan ceramah yang diikuti oleh masyarakat awam. Ketiganya menghasilkan produk berislam yang berbeda-beda.
Terlepas dari lokasi dakwahnya, Gus Baha tetap dapat membaluri dakwahnya dengan nilai-nilai berislam yang moderat. Tentu saja dengan level audien yang saat itu bersua muka langsung dengannya.
Sebagai misal, Gus Baha bercerita tentang laku Nabi Nuh yang memohon bagi siapa saja yang menentang perintah-Nya untuk dibunuh. Jika tidak, Nabi Nuh khawatir generasi berikutnya juga akan berlaku tindakan yang sama. Oleh Allah, permohonan Nabi Nuh ini dikabulkan. Kisah ini termuat di Al-Qur’an surah al-Isra’ [17:3].
Sikap semacam ini menurut Gus Baha sudah diganti mulai dari Nabi Ibrahim sampai tauladan dari Kanjeng Nabi Muhammad. Saat Nabi Ibrahim menyebarkan ajaran untuk meng-Esakan-Nya dan ditentang, Nabi Ibrahim tidak lantas berdoa untuk memusnahkan mereka yang menentang. Sebaliknya, Nabi Ibrahim justru memberi pernyataan bahwa, siapa yang menentangnya, Allah menjadi Dzat yang Maha Penyayang dan Maha Pengampun. Cerita ini dapat dilacak di Al-Qur;an surah Ibrahim [14:36].
***
Dua cerita di atas sama-sama dapat menjadi legitimasi ekspresi beragama hari ini. Bila mengacu di kisahnya Nabi Nuh, maka yang muncul adalah wajah Islam yang keras dan beringas.
Dakwah gaya ini bagi Gus Baha tidak jadi satu-satunya cara yang dapat diterapkan dengan kondisi negeri yang majemuk. Tetapi jika mendasarkan pada ceritanya Nabi Ibrahim, maka eskpresi beragama yang tampak menjadi lebih santun, moderat, dan ramah.
Dakwah seperti ini lebih proporsional untuk diejawantahkan di tengah-tengah realitas kebhinekaan. Bahwa dakwah dengan dasar Al-Qur’an itu memang benar. Tapi juga harus pintar memahami tafsirnya dari berbagai sudut pandang ulama.
Mengutip kalimat Gus Baha, “Orang sekarang main pukul saja tidak mau ngaji Al-Qur’an secara kaffah. Fatwanya Islam kaffah, tapi ngaji Al-Qur’annya tidak kaffah. Cukup berdasar pada satu, dua potongan ayat, lalu dipakai meneror orang.”
Wallahul’alam.