Gus Baha : Manusia Qur’an dari Rembang

“Sulit ditemukan orang yang sangat memahami dan hafal detil-detil Al-Qur’an hingga detil detil Fiqh yang tersirat dalam ayat-ayat Al-Qur’an seperti pak Baha” Quraisy Shihab
“Santri tenanan iku yo koyo’ Baha iku..(Santri yang sebenanrya itu ya seperti Baha’)” Alm. Syaikhona Maimoen Zubair
HIDAYATUNA.COM – KH Ahmad Bahauddin Nursalim, atau lebih dikenal masyarakat dengan panggilan “Gus Baha” ini lahir pada tahun 1970. Ayahnya adalah ulama ahli Al-Qur’an KH Nursalim Hafidz dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah. Sedangkan ibunya, merupakan keluarga besar ulama Lasem, Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu yang pesareannya ada di area Masjid Jami’ Lasem, sekitar setengah jam dari pusat Kota Rembang.
Ayahnya adalah murid dari KH Arwani AL-Hafidz Kudus dan KH Abdullah Salam Al-Hafidz, Pati. Dari silsilah keluarga ayahnya, terhitung dari buyut beliau hingga ke generasi keempat, semuanya merupakan ulama-ulama ahli Qur’an yang handal.
Masa kecil Gus Baha’ dihabiskan dengan menempuh pembelajaran dan gemblengan langsung dari ayahnya. Di usia yang sangat belia, beliau telah menghatamkan Al-Qur’an beserta qiro’ahnya dengan lisensi yang ketat dari ayahnya. Ayahnya dikenal dengan ketetatannya dalam makharij dan tajwid Al-Qur’an, begitulah murid-murid Mbah Arwani yang dikenal dengan ketetatan dalam makharijul huruf dan tajwid Al-Qur’an.
Saat Gus Baha menginjak usia remaja, Kyai Nursalim menitipkan dirinya untuk mondok di pesantren yang diasuh Alm. Mbah Moen di Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang, sekitar 10 km arah timur Narukan. Di Pesantren Al-Anwar inilah beliau terlihat sangat menonjol dalam ilmu syariat seperti Fiqh, Hadist, dan Tafsir. Hal ini terbukti dari beberapa amanat yang diemban Gus Baha selama beliau mondok di pesantren tersebut. Diantaranya Rois Fathul Muin dan Ketua Maarif di jajaran kepengurusan Pesantren Al-Anwar.
Tak hanya mengemban amanat, di pondok ini pulalah Gus Baha’ mengkhatamkan hafalan Shahih Muslim lengkap dengan matan, rowi, dan sanadnya. Selain Shohih Muslim, beliau juga mengkhatamkan hafalan kitab Fathul Muin dan kitab-kitab Gramatika arab seperti Alfiyah Ibnu Malik dan Imrithi. Beliau memegang rekor hafalan terbanyak di pondok tersebut pada masanya.
Setiap ada musyawarah di pondok, beliau akan serta merta ditolak oleh kawan-kawannya karena menurut mereka, tingkat ilmunya tidak berada pada level santri pada umumnya, karena kedalaman dan luasnya wawasan serta banyaknya hafalan beliau. Selain menonjol dalam bidang keilmuan, beliau juga dekat dengan Kyai, contohnya saja KH Maimoen Zubair, beliau sering mendampingi sang kyai untuk berbagai keperluan. Mulai dari sekedar berbincang santai, hingga urusan ta’bir dan menerima tamu-tamu ulama besar.
Pernah suatu ketika beliau dipanggil untuk mencarikan ta’bir tentang suatu persoalan oleh Mbah Moen, sapaan KH maimoen Zubair. Karena saking cepatnya ta’bir tersebut ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksudkan. Gus Baha’ juga sering dijadikan role model oleh Mbah Moen saat memberikan mawa’izh di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal.
Dalam riwayat pendidikan beliau, beliau hanya pernah mengenyam pendidikan di dua pesantren saja, yakni pesantren ayahnya sendiri di Narukan, dan Pesantren Al-Anwar yang diasuh oleh Alm. Mbah Moen kala itu. Beliau pernah ditawari oleh ayahnya untuk melanjutkan pendidikan di Yaman, namun beliau menolak dengan alasan lebih memilih untuk tetap di Indonesia, dan berkhidmat kepada almamaternya, Madrasah Ghozaliyah PP Al-Anwar, Rembang.
Setelah merampungkan studinya, Gus Baha menikah dengan seorang “Ning” (panggilan untuk putri seorang Kyai) pilihan pamannya dari keluarga pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Sebuah cerita menarik muncul sebelum beliau menikah. Gus Baha’ mendatangi calon mertuanya dan mengatakan bahwa ia adalah orang yang sederhana. Beliau mengutarakan hal ini agar nantinya sang mertua tidak merasa kecewa atas dirinya.
Aktivitas Pengajiannya
Pada tahun 2004, Gus Baha bersama istrinya pindah ke Yogya setelah menikah. Selama di Yogya, beliau menyewa sebuah rumah untuk ia tempati bersama keluarga kecilnya. Semenjak ia pindah ke Yogya, banyak santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan beliau. Hingga akhirnya, Ada sekitar 5 hingga 7 santri Alumni Al Anwar yang ikut beliau ke Yogya dan menyewa rumah dekat dengan rumah Gus Baha’. Di Yogya inilah, kemudian beberapa masyarakat sekitar kediaman Gus Baha’ mulai ikut ngaji kepada beliau.
Di Kota pelajar ini, beliau bertemu dengan para intelektual dan pakar dari berbagai disiplin ilmu yang semakin mengasah kepakarannya di bidang Al-Qur’an, Tafsir, dan Fikih. Ia juga membentuk “Kajian Kematian” yang bersama para doktor dan profesor. Kajian ini membahas tentang persiapan menghadapi kehidupan akhirat yang lebih abadi, jika kehidupan di dunia saja dipersiapkan secara serius, maka kehidupan yang lebih kekal seharusnya juga dipersiapkan dengan serius.
Tanpa terekam media, Gus Baha’ keluyuran dari satu pesantren ke pesantren lain, memberikan paparan tentang Hadits dan Tafsir. Contohnya di Pesantren Sidogiri, beliau mengisi Pengaruh Israiliyat Terhadap Penafsiran Al-Qur’an. Ia juga pernah menyampaikan paparan dalam seminar tafsir dan hadist di Pesantren Fathul Ulum, Kwagean, Kediri. Selain mengasuh pengajian, beliau juga mengabdikan dirinya di Lembaga Tafsir Al-Qur’an di UII Yogyakarta.
Pada tahun 2005, ayahnya sakit dan tak lama kemudian wafat. Gus Baha’ yang mendapat amanah dari ayahnya untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan ayahnya mau tidak mau harus kembali ke Pesantren dan meninggalkan Yogya. Banyak santrinya di Yogya yang merasa kecewa, mereka pun akhirnya sowan ke Gus Baha’ dan meminta beliau untuk tetap mengisi pengajian di Yogya sebulan sekali, setiap minggu keempat.
Selain Yogyakarta, beliau juga mengasuh pengajian di Bojonegoro, Jawa Timur setiap minggu kedua setiap bulannya. Di UII, beliau menjadi Ketua Tim Lajnah Mushaf UII, yang mana timnya terdiri dari Profesor, Doktor dan ahli-ahli Al-Qur’an se Indonesia seperti Prof. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Mushaf lainnya.
Beliau pernah ditawari gelar Honoris Causa dari UII, namun beliau tidak berkenan. Diantara ulama-ulama dan profesor ahli Tafsir di Indonesia, beliau termasuk pendatang baru dan satu-satunya dari jajaran Tim Lajnah Mushaf yang berlatar belakang pendidikan nonformal dan non gelar.
Meskipun demikian, keilmuan beliau dan penguasaan ilmunya diakui oleh para ahli tasfir nasional, hingga pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy bahwa kedudukan beliau di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai mufassir, juga sebagai mufassir faqih karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam Al-Qur’an. Setiap kali Lajnah menggarap tafsir dan mushaf, posisi Gus Baha; selalu berada di dua keahlian, yakni sebagai Mufassir dan Faqihul Qur’an yang mempunyai tugas khusus mengurai kandungan fikih dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Oase di tengah Ustad yang mencari Popularitas
Sosok Gus Baha belakangan ini menjadi trend centre di kalangan para santri dan milenial muslim. Cara ngaji beliau yang selow dan ramah membuat banyak orang pun menyukai pengajiannya. Apalagi ketika membahas kelakuan santri atau orang-orang Islam masa kini.
Suatu ketika ada yang bertanya kepada beliau tentang sesuatu yang menggelisahkannya “Gus, hukumnya santri-santri yang belajar di luar negeri untuk studi banding itu bagaimana”
“Lha kalau diniati belajar kan baik-baik saja. Maksudmu piye?” tanya Gus Baha.
“Itu Gus, kan bisa campur (berbarengan dalam satu lokasi) antara laki-laki dan perempuan?”
“Hukum itu jangan dicampur-campur. Lha iki urusannya studi banding ya beda. Kamu tahu, bahwa Islam berkembang di Eropa, di Amerika, di Australia, itu berkat mahasiswa muslim yang belajar? Kamu tahu, bahwa dengan adanya santri-santri yang kuliah di luar negeri, yang belajar di berbagai negara, mereka bisa mengembangkan agama, menjadikan penduduk Eropa, Amerika, Australia tahu bahwa Islam itu tidak seperti yang terlihat di televisi, Islam itu tidak hanya teror,” ungkap Gus Baha.
Gus Baha’ tidak serta merta mengajukan dan mendikte halal haram. Beliau tidak mudah memberi fatwa atas berbagai peristiwa. Beliau melihat dari kacamata ulama fikih selakigus penekun tasawuf, keras tapi lentur, kokoh tapi luwes.
Dalam berbagai pengajian, Gus Baha gusar dengan banyaknya orang yang mudah menghakimi dengan fawa agama. “Kamu jangan menghakimi bahwa sebuah bencana adalah Adzab dari Allah. Jangan bicara begitu. Siapa yang menjamin bahwa itu adalah azab dari Allah? ketika gempa di Lombok dan Palu serta beberapa daerah di Indonesia lainnya, yang tahu hanya Allah, maka tidak usah terlalu banyak mengecam.” Nasihat Gus Baha’
Beliau melanjutkan “sudah menuduh sana-sini, tidak menyumbang pula. Gini loh, Indonesia itu termasuk negeri dengan banyak pegunungan aktif. Gempa itu, kalau bahasa ilmiyahnya dari pergeseran lempeng-lempeng Bumi. Nah, lempengnya ini yang bergeser dan menyebabkan gempa”
“Wes gini saja, kalau ngomong pakai penjelasan ilmiyah, tidak usah dalil-dalil. Bikin orang susah saja. Ora usah aneh-aneh, ngomong yang ilmiah saja, yang masuk akal. Lalu diikuti dengan nyumbang untuk para korban, itu lebih masuk akal, lebih manfaat”.
Gus Baha’ menjadi oase di tengah maraknya ustadz-ustadz yang mencari popularitas. Di tengah meruaknya pendakwah yang mengumbar kebencian dan mengadu domba umat. Cara dakwah beliau yang riang gembira, santai dan renyah membuat para pendengar nyaman.