Guru Besar: Radikalisme dan Terorisme Beda Posisi Dalam Gerakan Beragama
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyatakan mengenai radikalisme perlu pemahaman yang luas dan mendalam agar tidak salah dalam cara pandang dan cara menghadapinya, dan hal itu bukanlah persoalan sederhana dalam aspek apapun di berbagai negara.
“Radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan lebih-lebih sama dengan terorisme,” ujarnya, di Yogyakarta, Kamis (12/12/2019).
Hal itu disampaikan pada saat pengukuhann dirinya sebagai guru besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tema Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dengan Perspektif Sosiologi.
Selain itu, ia mengatakan kekeliruan memaknai radikal dan radikalisme sebagai terorisme itu sebagaimana sama keliru atau biasa jika dilekatkan pada satu aspek dan kelompok tertentu seperti radikalisme agama atau lebih khusus radikalisme Islam.
Menurutnya, radikalisme sering disamakan dengan ekstremisme. Sedangkan poin referensi standar yang kerap digunakan untuk menilai radikalisme dan ekstremisme oleh masyarakat Barat adalah ‘nilai-nilai inti’ Barat seperti demokrasi, aturan mayoritas dengan perlindungan bagi minoritas, aturan hukum, pluralisme, pemisahan negara dan agama, persamaan di depan hukum, kesetaraan gender, kebebasan berpikir dan berekspresi sebagai yang paling penting.
“Banyak pemerintah menggunakan istilah ekstremis yang brutal sebagai sinonim untuk teroris dan pemberontak. Dalam kaitan ini, tidak jarang label radikal itu menyatu dengan kecenderungan Islamofobia,” tuturnya.
Bahkan, ia pun mengutip pemikiran yang ditulis Derya (2018), bahwa Islamofobia dapat ditemukan di dalam Radikalisme sehingga menyebabkan penaksiran berlebihan terhadap terorisme Islam yang kemudian menempatkan Muslim secara umum di bawah kategori yang dicurigai.
“Tolok ukur Barat memang dapat menjadi problematik tentang radikalisme, sebagaimana hal serupa mengenai standar sikap moderat sebagai lawan dari sikap radikal,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menbeberkan pada kurun terakhir bermula di tingkat global setelah itu di Indonesia, isu radikal dan radikalisme Islam menguat setelah tragedi 11 September 2001 dalam peristiwa peledakan dua menara kembar WTC (World Trade Center) di Amerika Serikat.
Di sisi lain, isu itu makin meluas setelah gejolak politik di Timur Tengah pasca The Arab Spring, terutama dengan kehadiran Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yang menyebarkan radikalisme Islam yang membuana.
“Di Indonesia, isu dan fakta sosial tentang radikalisme Islam menemukan bentuknya yang kuat dengan adannya sejumlah peristiwa bom yang kemudian dikenal sebagai tindakan terorisme, selain adanya kelompok-kelompok radikal yang ingin mendirikan atau menyebarkan ideologi penegakkan kekhalifahan Islam,” jelasnya.
“Kasus ini memperkuat indikasi dan rujukan kalau radikalisme maupun terorisme yang berkembang di Indonesia sering berkonotasi pada kelompok Islam. Tautan radikal Islam itu bahkan berindentik dengan ekstrimis atau jihadis dan teroris, yang identifikasinya samar maupun terbuka sering atau pada umumnya tertuju pada golongan tertentu umat Islam,” imbuhnya.
Sejumlah pihak boleh membantah secara verbal atas deskiripsi radikal yang serba menjurus itu, tetapi diakui atau tidak tampak kuat konotasi dan identifikasinya radikalisme tertuju pada Islam dan umat Islam. Fakta tidak terbantah di tubuh umat Islam maupun agama dan golongan masyarakat lain terdapat sebagian tindakan-tindakan yang dikategorisasikan radikal dalam makna ekstrem, keras, dan membenarkan kekerasan.
“Pandangan stigma tentang radikaliisme identik dengan radikalisme Islam tersebut seiring dengan orientasi serupa di tingkat global yang mengidentifikasikan radikalisme sebagai radikalisme Islam,” pungkasnya.