GSM: Sang Pemberantas Radikalisme dari Usia Pendidikan Dasar
HIDAYATUNA.COM, Tangerang – Berdirinya Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) adalah cara yang unik dan cukup jitu untuk menunjukkan bahwa radikalisme dan saudara-saudaranya bisa dihapuskan dengan pendidikan kritis, terutama dari sejak usia dini, seperti sekolah-sekolah dasar.
Pembahasan mengenai intoleransi dan radikalisme agama, dalam tiga tahun terakhir, terbilang cukup gencar di Indonesia. Tentu, hal semacam ini, sangat bisa dimaklumi jika menilik hasil penelitian mencengangkan yang dirilis oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terkait radikalisme pada 2018 lalu.
Terbilang 57,03 persen guru di Indonesia di level SD dan SMP ternyata memiliki pandangan intoleran. Selain itu, Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) mengungkapkan bahwa sebanyak 48,9 persen siswa mendukung adanya tindakan radikal.
Selanjutnya, data ini mengindikasikan bagaimana sebuah paham alternatif berusaha menggeser ideologi Pancasila dan pengaruhnya mulai merasuk pada setiap lapisan masyarakat. Ironisnya, dia sudah menyasar salah satu sendi strategis bangsa, yakni pendidikan.
Tren ini tentu secara gamblang menunjukkan kepada kita bahwa permasalahan radikalisme sudah menjadi masalah bersama, masalah nasional, dan cenderung akut. Pendidikan bisa menjadi jalan retasan untuk menghadapi potensi permasalahan seperti ini.
Sebagai arena menuntut ilmu bagi generasi muda, sekolah memang rawan terjangkit radikalisme, namun sekaligus bisa menjadi titik awal untuk mematikan benih tersebut dan menciptakan mekanisme untuk melindungi generasi dari pengaruh negatif apa pun.
Jika sekolah-sekolah mampu menciptakan situasi seperti ini, kiranya tidak ada yang perlu ditakutkan oleh Indonesia. Sementara untuk menangkal paham radikalisme, pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal mengatakan bahwa sekolah sebagai institusi pendidikan bisa menjadi jalan retasan untuk menghadapi masalah ini. Sekolah-sekolah perlu menggalakkan cara belajar yang mengakomodasi pikiran kritis.
“Anak-anak juga perlu diberi ruang untuk belajar memahami keberagaman informasi dan literasi digital, terutama di pendidikan dasar dan keluarga. Pendidikan di sekolah tidak boleh mengukur prestasi anak hanya dari angka atau nilai ujian, melainkan harus merangsang kekritisan berpikir,” paparnya dalam keterangan persnya, di Tangerang, Selasa (8/10/2019).
GSM, sebagai gerakan, ia menjelaskan adalah semacam perjuangan untuk mengubah nalar standardisasi yang monoton, menjadi nalar personalized yang mampu mengasah daya pikir kritis anak secara lebih baik. Dengan mengasah daya pikir kritis anak, radikalisme tidak akan memiliki lahan untuk tumbuh subur.
Dalam konteks ini budaya dan pembelajaran di sekolah perlu diperbanyak dengan memantik pertanyaan dan diskusi agar anak-anak berusaha mencari jawaban dari berbagai referensi.
“Mempersiapkan generasi yang kritis dan melek digital adalah kunci, agar mereka tidak gampang terpancing paham radikalisme yang memanfaatkan kemajuan teknologi,” tukasnya.