Gemuruh Jalan Menuju Kebenaran dalam Roman Hayy Ibn Yaqzan
HIDAYATUNA.COM – Tak peduli tampang yang pas-pasan, kebutuhan materi yang serba berkecukupan maupun status sosial yang biasa saja. Mau bagaimana pun keadaannya, jika berlandaskan cinta akan tetap terjalin kisah kasih yang memaksa untuk terus bersama.
Cinta memang tidak memiliki mata, makanya orang-orang bilang cinta itu buta. Fisik bukan tataran cinta, apalagi materi, cinta bukan untuk dipegang apalagi diraba, melainkan dirasa.
“Ini cinta bukan logika, jangan sampai perkara hati, akal yang menguasai!”
Begitulah kira-kira gambaran kisah asmara yang dialami seorang perempuan yang merupakan adik dari raja terkenal di bumi Arab yang merajut kasih dengan pemuda biasa. Oleh karena dianggap tidak selevel atau dapat menurunkan martabat dan mencoreng garis keturunan Ningrat, hingga akhirnya mereka menjalani cinta terlarang.
Betapapun demikian larangan yang dialami, itu tidak menggugurkan cinta mereka bahkan membulatkan tekad untuk menikah secara diam-diam. Hingga lahirlah kemudian “Hayy” yang kemudian dihanyutkan ke laut agar terhindar dari beragam masalah.
Siapa sangka bayi itu ditemukan seekor rusa yang kebetulan sedang kehilangan anaknya karena merasa iba melihat tangis sedu seorang bayi lalu menyusuinya. Dari sinilah petualangan Hayy bermula sebagai pemeran utama, seorang manusia yang diasuh seekor rusa.
Fase Pengamatan Hayy Ibn Yaqzan
Paling tidak, ada dua fase yang dialami Hayy sebelum perjumpaannya dengan Absal dan Salaman. Pertama, Hayy dipelihara seekor rusa, hingga ia dapat belajar tindak-tanduk dan bahasa hewan sekelilingnya.
Hayy mulai menutupi tubuhnya, membuat tempat berteduh, dan mempersenjatai dirinya. Bahkan, ia mulai menyimpan bahan makanan untuk persiapan.
Kedua, rusa yang memeliharanya mati. Dari sini dia mulai menelaah sekitar dan memahaminya melalui pengamatan demi pengamatan melalui sistem kerja akal, hingga mengantarkannya pada arah pengenalan akan suatu hal yang Agung, yakni Tuhan.
Ibn Tufail begitu lihai memotret pemikiran filosofis yang menjadi trend kala itu, berbeda dengan para pemikir lainnya seperti al-Kindi, Ibn Bajjah, dan lain-lain. Mereka cenderung menuliskan pemikirannya lebih rigid, dan boleh jadi terkesan berat dan membosankan.
Namun tidak dengan Ibn Tufail yang mengemas materi berat dan berusaha dicairkan dalam bentuk kisah roman. Meski tidak kalah keren kandungan nuansa pemikiran filosofisnya dengan yang lain.
Landasan Filosofis Hayy Ibn Yaqzan, Absal, dan Salaman
Tiga pemeran kunci yang terus menjadi ikon dari roman filosofis ini merepresentasikan laku tindakan filosofis dalam memahami realitas, khususnya dalam dimensi ketuhanan. Pertama, dari seorang Hayy sebagai manusia yang digambarkan dengan spirit alamiah pengetahuan manusia (naturalisme).
Kedua, dari sosok Salaman yang menggambarkan spirit teologis-religius-eksoterik. Ketiga, dari sosok Absal/Asal yang menggambarkan spirit mistikus-sufi-esoterik.
Dari ketiganya dapat disimpulkan bahwa rasio yang terdapat dalam diri manusia dapat tumbuh secara induktif dan mandiri. Sampailah ia pada kebenaran sejati tanpa bergantung pada kondisi sosial apa pun.
Meski demikian, Ibnu Thufail memahami Rasio memiliki kapasitasnya tersendiri. Ia juga memiliki tingkatan-tingkatan tertentu bergantung pada kapasitas kemampuan tertentu pada diri setiap individu.
Ibnu Thufail pun akhirnya berkesimpulan bahwa untuk bisa meraih pengetahuan tertinggi adalah melalui fana’ sebagai wahananya. Hal itu dapat tercapai dengan pengembangan nalar dan diikuti pemurnian jiwa melalui praktik-praktik kezuhudan. Sebagaimana dipahami Ibn Bajjah bukan laiknya asketisme dalam tradisi sufi.
Ketiga tokoh itu berupaya mendamaikan tabu-tabu yang sukar dipertautkan secara jelas. Dipotret dalam perjumpaan antara agama (wahyu) dan filsafat (akal) sebagai dua sisi yang saling mendukung dan tidak saling bersebarangan dalam meraih kebenaran.
Baginya, aspek esoteris dan eksoterik merupakan ekspresi kebenaran yang sama yang diperoleh setiap individu sesuai kapasitas, kemampuan, dan pengalaman masing-masing yang membentuk pola pendekatan yang diambil. Dengan demikian filsafat adalah upaya mencari kebenaran dari jalan yang berbeda.
Selain didapat dari wahyu atau dapat dikatakan sebagai cara untuk mendekati ajaran-ajaran Islam yang dilakukan dari luar teks-teks Islam melalui akal budi manusia yang juga merupakan anugerah dari-Nya.
Pentingnya Berpemikiran Terbuka
Pada pertemuan ketiga tokoh tersebut, secara implisit Ibn Tufail mengungkap ambiguitas manusia dalam memperoleh kebenaran hingga meyakini hanya satu jalan yang dianggap benar. Coba bayangkan betapa banyak orang yang beragama hanya sekedar formalitas beragama, yang penting menjalankan setiap perintah dan larangan-Nya dan seringkali mengenyamping peran akal.
Tabu-tabu yang sukar didamaikan itu dipotret secara jelas Ibn Thufail bahwa akal dan wahyu adalah dua sisi ekspresi yang sama-sama ingin mencapai kebenaran. Apa pun dalihnya, jika itu kebenaran tidaklah mungkin kebenaran akan bersebrangan dengan kebenaran lainnya.
Pengetahuan akal yang sehat dan perintah syariat Islam terhadap kebenaran, kebaikan dan keindahan keduanya dapat dipertemukan tanpa harus diperselisihkan.
Dari kisah Hayy Ibn Yaqzan ini kita sadar bahwa penting untuk bersifat terbuka (open minded) dalam pertemuan (ghazwat al-fikri) yang menurut kita bersebrangan dan asing. Bayangkan jika kita berada di posisi Hayy yang sejak kecil diasuh seekor rusa dan tidak pernah bersosial dengan siapa pun.
Perbedaan Adalah Kehendak-Nya
Oh, mungkin untuk membayangkan diasuh rusa memang agak mustahil. Begini saja, bayangkan bahwa kita memiliki suatu pengetahuan yang diyakini dan dipegang teguh tanpa terkontaminasi pengetahuan lain yang sama sekali berbeda.
Anggap saja membaca banyak buku ratusan hingga ribuan tapi sayang hanya menyuguhkan satu prespektif saja sehingga meyakini segala bentuk kebenaran. Sebagaimana yang diketahuinya melalui buku-buku yang sampai ribuan itu, dengan kata lain menjadi kebenaran tunggal menurut versinya. Ternyata di tengah jalan dipertemukan dengan orang yang memiliki prespektif berbeda yang benar-benar berbeda dan bertolak belakang dengan kita.
Bagaimana jika dihadapkan dengan yang demikian? Apa kita akan marah dan mengklaim bahwa kebenaran adalah sesuai apa yang kita pahami atau malah sebaliknya? Mungkin bahkan akan menghujat dan menyalahi paham lain yang berbeda.
Padahal yang berbeda itu belum pasti salah dan boleh jadi berpotensi ke arah kebenaran pula. Dari sanalah seharusnya dipahami perbedaan dalam menggapai kebenaran adalah hal yang niscaya dan bagian dari kehendak-Nya. Wallahu a’lam bi al-shawab