Gejala Radikalisme Kekinian: Cenderung Tidak Peduli dan Rasional

 Gejala Radikalisme Kekinian: Cenderung Tidak Peduli dan Rasional

Mufti Agung Mesir: Muslim Dunia Harus Meluruskan Makna Islam (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Fenomena dakwah dewasa ini semakin runyam dan penuh dengan tudingan-tudingan sesat menyesatkan. Cacian, hujatan, bahkan proses kafir-mengkafirkan kerap berseliweran di dunia maya.

Bahkan untuk yang paling sadis menjelma dalam aksi terorisme bermula dari pemahaman keislaman yang menganggap berbeda dari paham yang dianut. Mereka menyamaratakan bahwa pemahaman keislaman yang berbeda telah keluar dari jalur Islam dan halal darahnya untuk dibunuh.

Bahkan dalam suatu penelitian menyebutkan bahwa, Islam yang seperti ini memperoleh perhatian yang besar. Alhasil, jika proses pembelajaran Islam melalui internet kian menjamur, maka akan berlalu-lalang Islam gaya-gaya ini.

Orang-orang menyebutnya Islam garis keras. Lalu yang terjadi produk pembelajarnya tidak akan jauh beda dengan apa yang ditemukan selama pembelajaran.

Menganggap kebenaran tunggal sebagaimana yang dipahami, dan terlalu fanatik atas apa yang dipegang kuat-kuat. Berakibat menyangsikan bahkan menyalahkan prespektif lain yang cenderung berbeda.

***

Padahal keduanya berpijak pada teks yang sama, Alquran. Hanya saja ragam pemahaman yang muncul begitu berbeda. Apa lantas keduanya salah? Belum tentu karena, ijtihad juga sifatnya relatif.

Bisa benar dan bisa juga salah, bukan kebenaran mutlak sebagaimana kalam Allah. Paling tidak kata rasul “ikhtilafu ummati rahmah” bagi yang berijtihad dan ternyata salah Allah memberinya pahala 1.

Sedang bagi ijtihad yang benar mendapat 2 pahala. Meski demikian, bukan berarti semua orang dapat berijtihad, ijtihad bukan hal mudah untuk dicapai. Ada beberapa pra-syarat yang harus dipenuhi dan memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid.

Allah saja memberikan balasan berupa pahala bagi mereka yang senantiasa berijtihad, bukan berupa ancaman masuk neraka-Nya. Sementara kita yang makhluk-Nya gampang menyalahi liyan yang berseberang paham. Siapa kita yang seolah-olah memiliki kuasa atau kunci surga-neraka-Nya?

Lalu bagaimana sikap kita menghadapi persoalan yang cukup pelik ini? Paling tidak kita harus memiliki dua sikap ini.

Skeptis Mendorong Proses Selektif

Dalam menghadapi persoalan akut ini, yang perlu dimiliki dan harus terpatri dalam diri kita adalah sikap skeptis hingga akhirnya mendorong proses selektif. Mana konten yang menyeru pada kegaduhan yang menabur bibit-bibit kebencian dan mana yang sebaliknya, contoh kasarnya seperti umpatan kasar.

Upaya takfir atau menyeru untuk berjihad dengan dalih membela Tuhan dengan diiming-imingi surga sebagai balasan. Bukannya menjadi Islam yang Madani, malah menjadi Islam yang Medeni (Jawa: Menakutkan). Seharusnya Islam yang harus ditampilkan bukan yang garang, tapi yang menampakkan kesejukan yang rahmatan lil ‘alamin.

Alquran sendiri telah merekam contoh skeptis Nabi Ibrahim yang menanyakan ihwal berhala yang disembah orang-orang. “Bukankah mereka tidak bisa memberikan manfaat atau bahaya kepada manusia?” Anggap saja pertanyaan begitu.

Hingga akhirnya Nabi Ibrahim pun mencari siapa sebenarnya Tuhan yang layak saya sembah, mulai dari matahari, bulan, dan lain sebagainya. Hal itu sebagai upaya pembuktian melalui dirinya sendiri.’

Pencarian skeptis seperti ini juga dilakukan sosok Imam besar al-Gazali,. Hal tersebut terekam dalam kitab karangannya al-Munqidz mi al-Dhalal.

***

Jika dari argumen di atas mencari keyakinan atau kebenaran melalui proses meragukan, akan lebih baik bila sedikit dibubuhi unsur rasionalitas ala Descartes. Hal ini tampak bagaimana Descartes meragukan segala sesuatu yang ia lihat dan ketahui, termasuk dirinya sendiri.

Paling tidak, secara umum akan ditemukan seperti ini metode berpikir ala Descartes; pertama, menyangsikan atau tidak menerima apa pun sebagai kebenaran kecuali diyakini sendiri kalau itu memang benar.

Kedua, se-selektif mungkin dalam memilih persoalan hingga menjadi bagian terkecil untuk mempermudah persoalan; ketiga, berpikir sistemasis nan runtut dari hal yang sederhana hingga yang paling rumit.

Keempat, pengecekan secara menyeluruh; kelima, menggunakan teori koherensi atau dipahami sebagai kebenaran pengetahuan diperoleh melalui proposisi satu dengan proposisi lainnya saling berkaitan dan terhubung.

Dengan memadukan spirit skeptis David Hume dalam rangka menyangsikan segala konten yang mengemuka di jagat maya. Diimbangi dengan spirit rasionalitas Rene Descartes dalam rangka memilah mana konten yang layak dikonsumsi, mana yang tidak.

Dapat dilakukan melalui seperangkat alat akal atau rasio sebagai instrumen utama. Dari sana kemudian kita dapat menganalisis fenomena dakwah dan platform media yang dijadikan media pembelajaran Islam yang menjamur tersebut.

Hingga mampu mengkategorisasikan corak dakwah dan media yang cenderung ke-kiri-kirian atau ke-kanan-kanan-an, dan sebagainya”. Dengan demikian, muncul sikap kehati-hatian dalam memilih, berpikir sebelum bertindak, memperoleh keyakinan yang teramat kuat dengan meragukan.

Sampai kepada pendayagunaan peran rasio sebaik mungkin sebagaimana perintah-Nya. Hal ini perlu diwujudkan untuk menjadi orang-orang yang berpikir.

Ejawantah Sikap Skeptis & Rasionalitas

Sebenarnya ketidakpedulian (skeptis) dalam tradisi filsafat telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang. Bahkan telah hadir sejak zaman klasik, hingga puncaknya pada David Hume.

Seorang skeptisis radikal asal Inggris itu berkesimpulan bahwa tiada yang pasti dalam hidup ini. Termasuk hubungan sebab dan akibat, hukum-hukum alam, bahkan eksistensi Tuhan sekalipun jauh dari kata pasti. Wah, tampaknya mengerikan untuk kita yang notabenenya beriman kepada Tuhan hingga menyangsikan keberadaan Tuhan.

Hanya saja saya tidak akan seradikal David Hume dalam menyangsikan atau bersikap skeptis hingga menafikan eksistensi Tuhan. Dari sini, tak ayal jika makna skeptis dalam ruang lingkup agama sering mengalami peyorasi sebagai sekadar ketidakpercayaan atau sekadar sikap negatif.

Hal tersebut berpotensi menyangsikan Tuhan sehingga cenderung dihindari karena dianggap dekat dengan ateisme. Padahal skeptis sendiri merupakan bagian dari proses pemerolehan pengetahuan.

Penalaran kritis untuk menguji kebenaran suatu kesimpulan; Apakah dibubuhi proposisi yang valid atau tidak atau bangunan argumen yang digunakan sudah absah sesuai bukti-bukti empiris dan argumen rasional atau tidak.

Dalam booklet terbitan National Academy of Sciences (NAS) Amerika juga menyebutkan, bahwa skeptis adalah doktrin dasar pegangan tiap ilmuwan. Tidak ada yang diterima atau ditolak tanpa pertimbangan bukti-bukti.

Mengutip perkataan dosen Filsafat UIN Sunan Kalijaga, bahwa sikap skeptis ini ibarat sebuah racun yang bisa mematikan. Namun sikap tersebut juga bisa menjadi obat jika sesuai takaran dan dosisnya.

Oleh sebab itu, dibutuhkan sikap ragu yang kuat untuk membangun sebuah pengetahuan. Hanya dengan keraguan itulah, manusia akan menemukan sesuatu yang tidak diragukan lagi, saya ulangi lagi dengan “takaran dan dosis yang sesuai”. Wallahu ‘Alam bi al-Shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *