Gegar Budaya Pasca Lebaran Virtual

Syawal: Bulan Pernikahan atau Bulan Permohonan Maaf? (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Pandemi telah melewati tahun kedua perayaan Idulfitri kemarin. Kenyamanan lebaran virtual barangkali belum bisa menggantikan lebaran sebelum wabah Covid-19 datang.
Kemampuan teknologi yang telah berhasil mendekatkan komunikasi manusia, sebagian belum mendapatkan ‘hati’ di masyarakat. Hal ini dikarena ikatan sosiologi masyarakat telah tumbuh secara jejaring dalam sebuah unit-unit sosial.
Masdar Hilmy (2020) menyebut masyarakat kita dicirikan oleh budaya komunitarian-komunalistik dalam sebuah unit sosial yang saling berjejaring. Masyarakat kita dikenal memiliki ikatan sosiologis yang kuat melalui pola hidup gotong-royong sebagai bentuk kepedulian dan empati sosial kita kepada sesama.
Ikatan sosiologis tersebut seringkali dimanifestasikan melalui sentuhan fisik seperti bersalaman, berpelukan, cium pipi, dan semacamnya. Ikatan sosialogis itulah yang tak dapat ditemui dalam suasana lebaran virtual kali ini.
Pandemi telah memaksa kita masuk dalam ruang maya, mungkin inilah cara kita bersikap bijaksana untuk tetap bertahan di tengah wabah. Lebaran kali ini kita akan kehilangan kembali lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, tidak bisa disangkal setiap momen kehilangan selalu ada duka nestapa
Perspektif Pada Subtantif
Momen lebaran virtual yang berulang kedua kalinya ini mendapati sebuah temuan tentang gegar budaya atau shock culture di masyarakat kita. Dimana istilah ini digunakan untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya baru yang berbeda.
Furnham dan Bochner (1970) mengatakan bahwa gegar budaya adalah ketika seseorang tidak begitu mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari budaya baru. Maka ia tidak dapat menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan baru tersebut.
Lebaran virtual tetap menjadi hal yang baru, meski telah melewati dua tahun. Pasalnya masyarakat kita masih tetap memiliki hasrat untuk tetap berlebaran seperti sediakala. Di mana lebaran adalah puncak dari kerinduan atas segala kekerabatan manusia.
Gegar budaya yang tengah terjadi di masyarakat bukan hanya dilihat sebagai kecemasan dan kegelisahan yang timbul. Akibat hilangnya tanda dan simbol hubungan sosial yang familiar, namun kita harus menyikapi gegar budaya dengan sikap responsif dan adaptif untuk menemukan sesuatu yang subtantif.
***
Gudykunst dan Kim (2005) melihat gegar budaya adalah reaksi-reaksi yang muncul terhadap situasi. Dimana individu mengalami keterkejutan dan tekanan karena berada dalam lingkungan yang berbeda.
Reaksi-rekasi inilah yang harus diarahkan pada sikap adaptif. Adaptasi bukan berarti akan menerima seutuhnya budaya lebaran virtual sebagai sesuatu yang akan dihayati. Namun sikap mencari hal esensi dan subtansi dari momen lebaran yang sementara beralih pada arena virtualitas.
Dengan menemukan esensi dan subtansi, maka kita tidak akan larut dan menghamba pada virtualitas itu sendiri sebagai kultur digital masyarakat kita. Kita tahu ekses dari kultur digital yang berkepanjangan akan mendehumanisasi manusia jika kita tidak bijak dan adaptif dalam bersikap.
Membaca dan memahami gegar budaya lebaran virtual dengan mengarahkan pandangan pada apa yang subtantif. Maka fase gegar budaya kita akan menuju pada fase penyesuaian (Adjustment Phase) meminjam istilah dari Samovar (2010) dalam sebuah tesis milik Inge Amelia Nasution.
Pada fase ini, orang telah mengerti elemen kunci atau subtansi dari budaya barunya (nilai-nilai khusus, keyakinan dan pola komunikasi) khususnya lebaran virtual. Bukan lagi masuk pada fase masalah kultural (Cultural Problems), fase dimana periode krisis dan masalah dengan lingkungan baru yang berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan.
Kultur Digital
Istilah lebaran virtual tentu bukan hanya hadir sebagai akomodasi dari permasalahan pandemi Covid-19. Akan tetapi secara tidak langsung ini adalah perpanjangan dari sebuah kultur digital.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, lebaran virtual harus didudukan pada perspektif upaya mencari yang subtantif dari nilai lebaran. Bukan terjebak dalam virtualitas kultur digital itu sendiri.
Jika kita larut dalam virtualitas digital maka sebaliknya lebaran akan jadi perayaan eksistensi semu melalui citra yang ilusif. Seperti ajang pertarungan kelas sosial dan penghamba like dan follower semata.
Kita perlu menyadari bahwa kultur digital kerap bekerja dengan proses de-worlding, artinya realitas atau objek diubah menjadi kode-kode teknis atau data yang kemudian diekspos, dianalis dan dimanipulasi. Oleh karenanya, jika momen lebaran virtual hanya digunakan pada ruang eksistensi, maka subjek manusia akan terdeduksi.
Terdeduksi menjadi sekadar ‘data’ dan permainan algoritma yang bisa dikendalikan oleh ‘pengguna’ yaitu para kapitalistik digital. Jiwa manusia mudah teralienasi menjadi robot-robot dalam mesin algoritma ditangan kuasa kultur digital.
Pada titik ini, lebaran virtual juga akan mengajarkan bagaimana bijak dalam bervirtual terutama di media sosial. Pasca lebaran diharapkan kita menjadi insan yang lebih humanis dalam bervirtual.