Gagal Paham Ayat yang Berujung Kekerasan

 Gagal Paham Ayat yang Berujung Kekerasan

Kelompok Muslim Australia Serukan Perubahan Penggunaan Istilah Terorisme Guna Kurangi Stigma (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Islam adalah agama perang yang melahirkan banyak teroris, lumbung radikalisme-ekstrimisme yang mengajarkan kekerasan, berdakwah dengan pedang. Pembunuhan sebagai jalan jihad di jalan-Nya, dan aneka macam kekerasan yang sering lahir darinya. Kira-kira demikian anggapan orang-orang pengidap islamophobia.

Hal ini didasarkan pada fenomena sekarang, negara yang mengultuskan diri sebagai negara Islam malah sering terlibat konflik berkepanjangan dan sering pecah perang. Entah harus berapa korban lagi yang berjatuhan dengan dalih pembelaan atas nama Islam. hampir kesemua dalihnya sama, menumpas kekafiran,  mengentas thagut, bid’ah dan khurafat.

Orang-orang biasa menyebut mereka dengan sebutan Islam garis keras, beberapa orang lagi menyebutnya kadrun (kadal gurun). Betapa tidak mereka selalu keras dalam bersikap, baik dalam nada dakwahnya maupun dalam laku tindakannya.

Dengan mudahnya terlontar justifikasi kafir, ahlu bid’ah, munafik, dan sebagainya melayang terhadap mereka yang berbeda paham dan pemahaman. Bahkan tak jarang lahirlah fatwa halal darahnya sebagai konsekuensi dari upaya takfirnya. Hingga akhirnya jihad lah yang ditempuh sebagai jalan menuju surgaNya, menurut versi mereka.

Biasanya yang sering dijadikan dalihnya Alquran itu sendiri yakni, Surah Al-Fath ayat 29.

محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم، ترتهم ركعا سجدا يبتغون فضلا من الله ورضوانا، سيماهم بوجوههم من أثر السجود، ذلك مثلهم فى التوراة، ومثلهم فى الإنجيل كزرع أخرج شطأه فأزره فاستغلظ فاستوى على سوقه يعجب الزراع ليغيظ بهم الكفار، وعد الله الذين آمنوا وعملوا الصالحات منهم مغفرة وأجرا عظيما (سورة الفتح: 29)

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir. Tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil. Yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang kafir). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.”

Pada bagian pertama sengaja saya pertebal untuk menjadi standing point dari anggapan sebagian orang-orang sebagai legalitas pembelaan atas kekerasan yang dilakukan. Jika dilihat sepintas akan nampak benar adanya dukungan Alquran dalam menggambarkan pembolehan untuk berlaku keras.

Jika hal itu dilakukan, maka akan jauh dari pemahaman sebagaimana visi Islam yang seharusnya, jika hanya membacanya sepenggal tanpa melibatkan rentetan kisah atau peristiwa yang menjadi sebab turunnya, akan beroleh gagal paham.

Ihwal peristiwa yang berkaitan erat dengan ayat di atas adalah peristiwa perjanjian Hudaibiyah dan Baiat Ridhwan. Saya tidak akan berbicara panjang lebar mengenai peristiwa Perjanjian Hudaibiyah dan Baiat Ridhwan ini (lebih lanjut baca buku-buku sejarah yang berkaitan).

Yang jelas umat Islam yang saat itu dipimpin Rasulullah ingin menunaikan Ibadah Umroh tanpa berniat sekalipun untuk perang. Namun mendapat larangan dari Kaum Quraisy bahkan menculik dan menawan utusan Nabi yang ketika itu Usman menjadi utusannya dan dikabarkan telah dibunuh.

Hingga akhirnya Nabi dengan sigap mengajak para sahabat dan berjanji untuk tidak meninggalkan tempat tersebut di bawah pohon besar, hingga peristiwa tersebut dinamakan Baiat Ridhwan.

Perjanjian Kaum Quraisy

Kaum Quraisy yang menyadari hal itu, segeralah melepaskan Utsman dan membuat perjanjian damai dengan keputusan sepihak tanpa melibatkan umat muslim. Berikut kira-kira begini bunyi perjanjiannya;

pertama, dilakukan gencatan senjata selama 10 tahun serta satu sama lain saling mengamankan kondisi. Kedua, Nabi harus pulang ke Madinah ketika itu juga. Ketiga, Nabi tidak diperkenankan untuk menerima orang Quraisy yang hendak masuk Islam, sebaliknya, jika ada orang Islam yang ingin keluar dari agama Islam tidak boleh dihalangi.

Apabila hal itu menimpa siapapun, secara manusiawi akan merasa berat dengan keputusan yang sepihak seperti itu. Bahkan jika saya sendiri berandai-andai terlibat dalam peristiwa tersebut akan mengalami hal yang sama sebagaimana dirasakan Rasul dan para sahabat.

Namun apa yang dilakukan Rasul? Tiada diduga rasul menyanggupi dan menerimanya dengan lapang. Siapa gerangan yang bakal menerima dan menyanggupi hal tersebut, sementara sejak awal tiada terbesit niat untuk perang, tanpa membawa peralatan perang dan murni hanya untuk menunaikan ibadah umroh, malah berbalas demikian?

Betapa mulianya perangai Nabi ketika mengalami berbagai sikap buruk dari lawannya pasti dibalas dengan perangai atau perlakuan baik. Bahkan dalam suatu ayat Allah memujinya sebagai pemilik akhlak yang agung (QS. Al-Qolam: 4)

Kembali pada surah al-Fath tadi, dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi misalnya, menafsirkan dengan menyebut riwayat dari Mubarak Ibn Fadhalah dari Hasan, beliau berkata: yang dimaksud dengan “walladzina ma’ahu” dalam ayat di atas adalah sahabat Abu Bakar ra.

Sementara maksud dari kalimat “asyiddau” adalah Umar Ibn Khattab ra. Berikutnya “ruhamau” adalah Utsman Ibn Affan ra, kalimat “taraahum rukka’an sujjadan” adalah sahabat Ali Ibn Abi Thalib Karramallahu wajhah.

Sedangkan kalimat “yabtaghuuna fadhlan minallah” adalah para sahabat yang dijanjikan Allah untuk masuk surga, yaitu sahabat-sahabat yang turut-serta melakukan baiat Ridhwan (al-Baghawi. 2002, 1215-1216).

Al-Baghawi melanjutkan dengan mengungkap sikap keras Umar sejak pertama kali masuk Islam, dengan tegas berani Umar menyampaikan kepada umat Islam agar tidak takut dalam menjalankan ibadah secara terang-terangan yang ketika itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi lantaran takut mengalami siksaan dari kaum Quraisy. (al-Baghawi, 2002, 1216)

Dari peristiwa di atas, Nabi menyiratkan bahwa lebih baik berdamai walau menggenggam kekecewaan daripada mendahulukan sikap arogansi yang akan berujung pertikaian bahkan pertumpahan darah. Jelas-jelas Nabi dan umat Islam dirugikan tapi tetap saja menciptakan semangat perdamaian dengan cara menerimanya dengan lapang.

Islam itu Cinta Damai

Pertanyaannya kemudian, masihkah mau beranggapan Islam agama yang mendukung kekerasan dengan dalih al-Fath ayat 29 sebagai alat legitimasinya atau menganggap Rasul berlaku keras terhadap lainnya?

Padahal jika kita melirik dan menyelami lebih dalam samudera ayat-ayat Alquran akan banyak kita temukan ayat-ayat rahmah dibanding ayat-ayat perang-Nya, ayat-ayat ampunan-Nya lebih kaya daripada ayat-ayat murka-Nya. Dalam surah al-Fatihah  sebagai Ummul al-Furqan misalnya dibuka dengan asma pengasih dan penyayangNya (ar-rahman ar-rahim), bahkan di setiap surah dianjurkan membacanya (bismillahi ar-rahman ar-rahim).

Kecuali di surah al-Taubah karena memang kebanyakan berisi ayat-ayat perang, maka tidak dibuka dengan asma welas-asihNya. Tidakkah ini menjadi bukti bahwa Allah lebih mendahulukan sifat-sifat pengampun dan penyayang bukan mengenalkan diri sebagai yang Maha Penghukum atau Maha Pengazab.

Bukankah kita telah banyak mendengar bahwa visi Rasul diutus tiada lain hanya untuk menyempurnakan akhlak. Bahkan dalam ayatNya Allah mengutusnya sebagai rahmatan lil ‘alamin (QS. Al-Anbiya’: 107) dengan kata lain, siapapun itu dan bagaimana pun keadaannya akan memperoleh kasih sayang dari sifat adihulung Nabi melalui ajaran-ajaranNya yang berpegang erat pada tauhid dan sejalan dengan nilai luhur kemanusiaan.

Dari peristiwa di atas, Rasul menggambarkan diri sebagai pribadi luhur yang mendambakan kedamaian dan ketentraman di tengah kelumit persoalan demi terhindar dari perpecahan yang memicu pertumpahan darah.

Mengapa bukan peristiwa yang melekat di balik ayat itu yang ditangkap dan dijadikan contoh sebagai tonggak penyanggah kedamaian? Kenapa malah kata “asyiddau” yang dijadikan alat legitimasi pembenaran atas tindakan kekerasan dalam beragama?

Wallahu ‘Alam bi al-Shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *