Film Nussa-Rara dan Geliat Dakwah Islam di Era Media Baru

 Film Nussa-Rara dan Geliat Dakwah Islam di Era Media Baru

Film Nussa Rara (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Belakangan, perdebatan yang berkaitan dengan hadirnya film Nussa-Rara kembali mencuat diruang publik. Perdebatan semacam ini sebenarnya sudah lama terjadi, namun khusus dalam kasus ini, mulai muncul beberapa saat setelah rilis kabar bahwa Film Nussa-Rara siap tayang di layar lebar.

Adalah Eko Kundhati, seorang influencer pegiat media sosial, yang memulai perdebatan ini. Dalam laman twitternya, ia menuliskan:

Apakah ini foto anak Indonesia? Bukan. Pakaian lelaki sangat khas Taliban. Anak Afganistan. Tapi film Nusa Rara mau dipromosikan ke seluruh dunia. Agar dunia mengira, Indonesia adalah cabang khilafah. Atau bagian dari kekuasaan Taliban. Promosi yg merusak!” tulis Eko Kundhati.

Tak pelak, cuitan ini mendapatkan respon yang beragam dari kalangan netizen yang budiman. Ada yang mendukung, sampai ada yang menolak pernyataan tersebut.

Angga Sasongko, misalnya, yang merupakan produser sekaligus sutradara dari Film Nussa-Rara. Ia dengan tegas membatah pernyataan tersebut. Sejalan dengan Angga, Supriansyah, dalam artikelnya di Islami.co melihat perdebatan ini hanya dalam bingkai politik, tidak dengan rumusan serta gagasan yang coba ditawarkan Angga dan tim.

Politik identitas adalah poin penting dalam kritik Eko yang terlihat dari adanya ‘Taliban’ mengisyaratkan adanya ketidaksukaannya. Hal itu kemudian mengeklusikan lawan politiknya, dalam hal ini kelompok Islamis.

Berangkat dari beberapa perdebatan di atas, saya sangat setuju dengan pernyataan Angga yang terakhir, ‘habis nonton, idenya mau dikomentari, dikritik yang monggo’. Oleh sebab itu, melalui tulisan ini saya mencoba menawarkan untuk melihat persoalan ini secara lebih luas lagi.

Mekanisme Pembacaan Film Nussa-Rara

Hal pertama yang kita harus lakukan dan tekankan adalah dengan mendudukan karya ini sebagai sebuah karya yang ‘sangat memungkinkan memuat kesalahan’. Ini tentu sangat sejalan dengan apa yang belakangan disampaikan Karl R. Popper, dengan Falsifikasionisme-nya.

Setelah mendudukan karya ini sebagai ‘yang sangat memungkinkan memuat kesalahan’. Untuk melihatnya lebih lanjut kiranya menjadi penting untuk mempertimbangkan tawaran pembacaan ‘Abd Al-Jabiri dalam Film Nussa-Rara ini.

Tawaran Al-Jabiri berkisar pada dua titik poin, yakni memisahkan ‘yang dibaca’ dari ‘pembaca’ (fasl al-maqru ‘an al-qari) dan menghubungkan yang dibaca dengan pembaca. Pertama, memisahkan ‘yang dibaca’ dari ‘pembaca’.

Bagian ini memiliki dua mekanisme pembacaan yang perlu diperhatikan. Bagian pertama, seorang ‘pembaca’ terlebih dahulu melepaskan segala bentuk prasangka, asumsi, kepentingan dan hal-hal yang bersifat subjektif atas ‘yang dibaca’. Dalam hal ini Film Nussa-Rara.

Pemisahan ini menjadi penting agar tidak mereduksi makna dan pesan sejati yang sebenarnya ingin disampaikan Angga dan tim dalam Film Nussa-Rara. Hal ini mengisyaratkan para pembaca untuk memberikan sepenuhnya hak agar Film itu sendiri yang berbicara. Keterjebakan pada dimensi ini merupakan hal yang paling rawan terjadi.

Model Pembacaan Film Nussa-Rara

Bagian kedua, memisahkan ‘yang dibaca’, dalam hal ini Film Nussa-Rara dengan ‘pembaca’. Yakni melihat dan membedah bangunan pemikiran dari ‘yang dibaca’ untuk menemukan benang merah dari unsur yang beragam.

Setelah terlihat benang merahnya, kemudian membuat analisis historis terhadap ‘yang dibaca’, terkait sosial, politik, dan budaya. Hal itu dapat menghasilkan pemahaman mengenai kemungkinan dan atau ketidakmungkinan makna dalam setiap ‘yang dibaca’. Terakhir, menyingkap fungsi ideologis dari ‘yang dibaca’, yang tentunya disesuaikan dengan realitas kekinian.

Bagian ketiga, menghubungkan ‘yang dibaca’ dengan ‘pembaca’. Di sinilah kemudian dalam pandangan ‘Abid Al-Jabiri diharapkan muncul pembaharuan yang berdiri di atas landasan otentisitas atau al-asalah, yakni suatu ijtihad yang tetap berpegang teguh pada adanya kesinambungan dengan tradisi tanpa harus terjebak dalam tradisi itu sendiri.

Model pembacaan yang demikian tidak memaknai arti kembali kepada tradisi sebagai sebuah upaya mengambil hal-hal yang sesuai dengan kepentingan, lalu membuang yang lain, yang dinilai di luar dari kepentingan itu sendiri. Sebaliknya, bahwa prinsip ini menghendaki untuk melakukan pemahaman secara komperhensif terkait ‘yang dibaca’, baik itu aspek teologi, bahasa, historis, sosial, dan sebagainya, yang pada tahapan selanjutnya, berfungsi untuk menimba tingkatan relevansi fungsional ideologis terhadap persoalan kekinian.

Terlepas dari poin penting dari perdebatan ihwal ‘ide’ dan ‘rumusan dasar’ dari lahirnya karya ini, karena memang bukan konsen utama saya dalam artikel ini; juga karena setiap dari individu memiliki kadar pemahamannya masing-masing, namun kita sudah sepatutnya bangga dengan hadirnya Film Nussa-Rara ini.

Bagaimana tidak, selain memang film ini merupakan karya asli anak bangsa Indonesia, Angga dan tim telah mampu—dengan mengikuti tawaran Amin Abdullah—mengintegrasikan dan menginterkoneksikan unsur-unsur Indonesia, Islam, dan teknologi. Inilah model geliat dakwah Islam di era media baru yang memang dibutuhkan oleh masyarakat kontemporer. Islam hadir dalam setiap relung kehidupan para penganutnya.

Muhammad Arman Al Jufri

https://hidayatuna.com

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *