Film Non-Islam yang Asyik Dikritisi dari Sisi Islam

 Film Non-Islam yang Asyik Dikritisi dari Sisi Islam

Syawal: Bulan Pernikahan atau Bulan Permohonan Maaf? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Sudah ada yang nonton “The Shack”? Kalau belum, Anda melewatkan satu film yang asyik, penuh makna di tahun 2017 ini. Meski bukan film Islam, adaptasi dari novel karya William P. Young ini bagus untuk kita kaji.

Sebelumnya, film non-Islam ini sempat menuai kritik dan pujian dari kalangan Nasrani sebagaimana novelnya satu dekade yang lalu. Bagaimana tidak, Tuhan dalam akidah Nasrani ditampilkan dalam wujud tiga orang yang saling terhubung.

Seorang wanita berkulit hitam yang menjadi “Papa” kata lain bagi Bapa. Kemudian seorang wanita Asia yang memakai nama Hindu “Sarayu” sebagai gambaran sosok roh kudus dan seorang tukang kayu dengan wajah khas Yahudi yang mewakili sosok Yesus.

Bisa dimaklumi, bukan, kalau para pastur menyebut film non-Islam ini “murtad”. Sebaliknya, sebagian penonton Nasrani justru memujinya sebagai cara kreatif.

Mari kita abaikan dulu keberadaan Tuhan yang digambarkan jadi tiga sosok tapi satu dan Yesus yang katanya 100% tuhan tapi juga 100% manusia. Pun, unsur Bapa yang 100% tuhan, dan unsur Yesus 100% tuhan dan unsur Roh kudus yang juga 100% tuhan tapi ketiganya tidak menjadi 300% tuhan.

***

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menuntun kita ke agama Islam sehingga tak perlu berhadapan dengan berbagai kontradiksi seperti di atas. Akidah Islam bersih dari segala kontradiksi, semuanya bisa dijelaskan dengan mudah tanpa perlu argumen yang berbelit dan logika yang susah dipahami.

Allah itu satu (ahad), benar-benar satu bukan gabungan dari beberapa unsur dan tidak bisa dibagi menjadi beberapa unsur. Tak beranak dan tak dilahirkan, tak ada kuasa yang dapat menandingi-Nya atau apa pun yang menyamai-Nya (laisa kamitslihi syai’).

Semua selain dirinya butuh kepada-Nya (as-Shamad) tetapi Dia sama sekali tak butuh pada yang lain (Qiyamuhu bi nafshi). Allah bisa memaafkan semua dosa tanpa perlu membuatnya ditanggung siapa pun kecuali oleh mereka yang melakukan dosa itu sendiri (la taziru waziratun wizra ukhra).

Allah meminta hamba-Nya bertanggung jawab atas perbuatan mereka tapi Dia tidak perlu bertanggung jawab pada siapa pun. Sebab Allah sudah di puncak tertinggi dari semua kuasa (al-Muta’ali). Semua kebaikan dan keburukan terjadi hanya atas kehendak-Nya (Muridan).

Simpel bukan akidah itu? Tapi tunggu, kalau Allah sehebat itu, lalu mengapa Allah membiarkan kejahatan dan aneka keburukan terjadi?

Bukankah pembiaran terhadap kejahatan adalah kejahatan? Kalau semua hal buruk yang dilakukan dan dialami manusia semua atas kehendak-Nya, lalu di mana keadilan-Nya?

Sabar, saya tahu Anda penasaran, tapi sebelum kita bahas itu, marilah kita sejenak melihat kejadian di sekeliling kita. Apa yang dilakukan seorang arsitek sebelum membangun maha karya? Ia merusak lingkungan yang ada untuk menciptakan lahan dan bahan.

***

Pernahkah kita bertanya di mana keadilan ketika rumput yang tidak berdosa harus dicabut dari akarnya. Agar taman menjadi indah atau agar petani bisa menanam padi?

Kenapa pula petani membakar gabah mereka yang rusak dan hanya mengolah yang baik saja padahal semua itu adalah hasil keringatnya sendiri? Nah.. Saya yakin jawaban atas pertanyaan sebelumnya sudah mulai jelas.

Apa yang kita nilai sebagai hal baik dan hal buruk sebenarnya tak lebih dari perasaan enak dan tak enak. Bila enak ke kita, maka kita bilang baik. Sebaliknya bila tidak enak, maka kita bilang buruk.

But, let see the bigger picture, kita lihat gambaran besarnya; ternyata dari aneka kejadian yang tidak enak itu kita bisa belajar banyak hal dan ilmu manusia semakin bertambah.

Manusia takkan membutuhkan satu sama lain kalau semua sempurna. Para peneliti takkan menghasilkan karya kalau belum mengalami serangkaian kegagalan.

Takkan ada obat dan dokter bila tak ada penyakit. Bahkan tanah liat akan tetap  diinjak bila ia menolak diolah dan dibakar.

***

Oke, mungkin ada yang bertanya: tapi bukankah selalu ada korban dalam proses yang penuh hikmah itu? Ya, betul. Selalu ada yang mengalami kerugian, kesengsaraan dan bahkan kematian, tapi mereka semua akan dibalas dengan tempat terindah nantinya, di surga.

Allah yang Maha Adil selalu memberikan ganti yang lebih baik atas apa yang Ia ambil secara paksa dari hamba-Nya, tidak seperti kita yang hanya bisa mengambil tanpa mampu mengganti. Kita makan ayam dan aneka daging tanpa pernah berpikir bagaimana rasa keadilan dari perspektif hewan-hewan tersebut.

Kita cabut dan tebang pohon tanpa peduli bahwa itu pun makhluk hidup. Bisakah kita mengembalikan nyawa “mereka” yang kita rampas? Ah… bahkan menginjak semut yang numpang lewat saja kita tak peduli meski semut itu juga punya keluarga. Masih layakkah kita mempertanyakan keadilan Tuhan?

Allah itu memang Maha Pengasih (ar-Rahman), tapi Ia juga Maha Tegas (al-Jabbar) pada makhluk yang sewajarnya diperlakukan dengan tegas. Ia Maha Pemberi rezeki (ar-Razzaq) pada yang Menurut-ya layak diberi, tetapi juga Maha Menahan Rezeki (al-Mani’) bagi yang tidak layak.

Begitu seterusnya, Allah punya dua sifat yang saling bertentangan untuk menciptakan keseimbangan. Kalau doa dan harapan semua orang untuk bahagia dikabulkan, maka kacau isi dunia ini; bila harapan penjual es agar cuaca panas selalu dikabulkan, maka bagaimana nasib penjual bakso? Bila harapan kita agar sehat selalu dikabulkan maka dokter kerja apa?

Ada kalanya Allah hanya punya satu sifat saja dan tak punya kebalikannya. Ia Maha Hidup (Hayyun) tapi tak punya sifat mati. Ia Maha Melihat (Bashar) tapi tak punya sifat buta.

Begitu seterusnya, semua sifat sempurna Ia punya dan semua kebalikannya Dia tak mungkin punya. Termasuk di antaranya adalah sifat Maha Adil (al-‘Adl) yang ia punya tetapi maha zalim ia tak punya sebab mustahil Allah berlaku zalim.

***

Lalu, mengapa ada orang yang dibiarkan celaka tanpa salah, yang dibiarkan tersiksa padahal baik? Dibiarkan tersakiti padahal benar, dibiarkan mati padahal sudah hati-hati? Bukankah pembiaran itu sebentuk kezaliman?

Kezaliman itu terjadi hanya kalau seseorang melakukan apa di luar haknya. Ketika seseorang merampas hak orang lain untuk bahagia padahal orang lain itu layak bahagia, maka itulah kezaliman.

Tapi bila polisi mengurung penjahat dalam sel sebab selayaknya ia dikurung di sana, itu bukan kezaliman tapi keadilan, meskipun rasanya tidak enak bagi si penjahat. Si Polisi itu tidak bisa disebut zalim meski merampas kebahagiaan orang sebab dia melakukannya berdasarkan apa yang sudah jadi hak dan wewenangnya.

Jadi dalam semua kasus yang terjadi, yang bisa tidak adil hanya manusia. Allah tak mungkin bertindak tak adil sebab seisi semesta ini mutlak menjadi hak dan wewenang-Nya saja.

Mau ada yang dimatikan atau dihidupkan, dibantu atau dibiarkan sengsara itu hak prerogatif Allah. Sama dengan sepatu milik kita sendiri, mau dibuat menginjak jalan yang mulus atau kasar, tempat bersih atau kotor, itu hak kita, tetangga atau teman tak berhak protes.

Bedanya dengan kita, Allah menyiapkan ganti balasan di surga bagi mereka yang “menjadi korban kebijakan”. Lah wong kita, manusia, yang sebenarnya tidak bisa apa-apa ini malah merasa berhak atas seisi planet ini. Kenapa Tuhan yang menciptakan seluruh semesta justru mau kita pertanyakan wewenang-Nya?

Semoga kita semua menjadi hamba yang bertakwa dan bertawakal. Inna lillah, kita mutlak sepenuhnya milik Allah. Wa inna ilaihi raji’un, dan kepada Allah semata kita akan kembali untuk mendapat kebahagiaan paripurna.

Sumber : https://www.facebook.com/wahabjember/posts/10209183436179190

 

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *