Fikih Reproduksi: Bagaimana Hukumnya Sel Telur yang Dibekukan?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Uraian materi Fikih Reproduksi (Kehamilan dan Kelahiran) saya sampaikan selama 1 jam. Dilanjutkan dengan tanya jawab.
Dari 6 Bunda-bunda Az-Zahra Sidoarjo yang bertanya, di luar dugaan saya ada yang bertanya tentang frozen egg (sel telur yang dibekukan).
Alhamdulillah sebelumnya saya sudah pernah berdiskusi dengan para dokter spesialis kandungan tentang sel telur wanita yang diambil sebelum menikah lalu dibekukan dan dipakai setelah menikah.
Penjelasannya agak panjang dan ini bukan persoalan yang simpel untuk dijawab.
Proses terjadinya pembuahan, menjadi embrio hingga melahirkan tanpa bersetubuh sudah dibahas dampak hukumnya oleh ulama Klasik.
Proses ini disebut istidkhal atau memasukkan sperma ke dalam miss V.
قَالَ فِي الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا : إنَّ اسْتِدْخَالَ الْمَنِيِّ تَثْبُتُ بِهِ الْمُصَاهَرَةُ وَالنَّسَبُ وَالْعِدَّةُ دُونَ الْإِحْصَانِ وَالتَّحْلِيلِ وَتَقْرِيرِ الْمَهْرِ وَوُجُوبِهِ فِي الْمُفَوَّضَةِ وَثُبُوتِ الرَّجْعَةِ وَالْغُسْلِ وَالْمَهْرِ ا هـ
Artinya:
“An-Nawawi (676 H) berkata dalam kitab Raudhah bahwa memasukkan sperma (tanpa bersenggama) menetapkan hukum mahram mertua, nasab dan iddah.
Tidak berdampak pada hukum zina muhshan, hukum muhallil, menetapkan maskawin dan kewajiban maskawin bagi wanita yang dipasrahkan, ketetapan rujuk, mandi besar dan maskawin.” (Al-Qaliyubi, 4/294)
Dalam fikih Syafii ada istilah sperma yang muhtaram (mulia), karena dari kondisi sperma yang mulia ini berdampak pada status anak yang memiliki nasab dengan orang tua.
Berbeda bila sperma dikeluarkan di luar kondisi muhtaram, maka sperma tidak berdampak pada nasab yang sah antara ayah dan anak, meskipun seandainya dilalukan tes DNA akan menunjukkan sebagai ayah biologis.
Tetapi karena dilakukan di luar nikah yang sah maka sperma tersebut tidak berstatus muhtaram (mulia).
Demikian pula sperma yang keluar dengan cara onani melalui tangan sendiri. Sel telur pada wanita sama seperti sperma pada laki-laki.
Dalam Mazhab Syafii jika sperma dikeluarkan dan akan menjadi embrio setelah dipertemukan dengan sel telur syaratnya adalah dalam status penikahan dan status suami-istri yang sah.
Syekh Khatib Asy-Syarbini (w, 977 H) menjelaskan:
وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ الْمَنِيُّ مُحْتَرَمًا حَالَ الْإِنْزَالِ وَحَالَ الْإِدْخَالِ ، حَكَى الْمَاوَرْدِيُّ عَنْ الْأَصْحَابِ أَنَّ شَرْطَ وُجُوبِ الْعِدَّةِ بِالِاسْتِدْخَالِ أَنْ يُوجَدَ الْإِنْزَالُ وَالِاسْتِدْخَالُ مَعًا فِي الزَّوْجِيَّةِ
Artinya:
“Diwajibkan keadaan sperma harus kondisi mulia (bukan hasil zina dan onani sendiri) saat inzal dan memasukkan sperma ke ovum.
Al-Mawardi menyampaikan dari ulama Syafiiyah bahwa syarat iddah dengan memasukkan sperma adalah keberadaan sperma saat diambil dan dimasukkan dalam kondisi status suami-istri.” (Mughni Al-Muhtaj, 4/247)
Uraian di atas disandarkan pada dalil yang memiliki beberapa jalur riwayat:
مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِى رَحْمٍ لَايَحِلُّ لَهُ
Artinya:
“Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik (menyekutukan Allah ) disisi Allah dari pada sperma seorang laki-laki yang diletakkan pada rahim wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ibnu Abid-dunya dari Hasyim bin Malik al-Tha’i)
Dari rangkuman dalil dan pendapat para ulama, intinya, mengambil sel telur saat perawan dan dipakai setelah menikah dengan mempertemukan dengan sperma suami adalah tidak diperbolehkan.
Lagian apa enaknya mempertemukan sperma dan sel telur tanpa bersentuhan? Kata Pak Dosen Yaser Muhammad Arafat. []