Fenomena Suka-cita atas Kematian Jalaluddin Rahmat
HIDAYATUNA.COM – Indonesia berduka kehilangan putra terbaiknya, sosok Jalaluddin Rahmat atau Kang Jalal sebutan familiarnya telah kembali ke pangkuan-Nya. Beliau seorang cendekia muslim Indonesia yang begitu inklusif, pejuang kemanusiaan, gagasan demi gagasanya banyak mengilhami cendekiawan muslim lainnya.
Tak hanya cakap dalam beretorika, ia pun lihai dalam menyusun kata. Boleh dikata Kang Jalal ini sejoli dengan Cak Nun dan Gus Dur. Sama-sama mendengung-dengungkan pluralisme agama dan mengutamakan perdamaian atas nama kemanusiaan.
Tulisan ini bukan tentang obituari Kang Jalal karena semua orang telah mengetahui dan banyak beredar tentangnya di berbagai media sosial. Setelah tersiar berita wafatnya Kang Jalal, beberapa orang sedih dan turut merasa kehilangan. Beberapa lainnya turut merasa gembira bukan berduka-cita malah bersuka-cita dan bersyukur pada-Nya.
Hal ini yang begitu sangat disayangkan, “kegembiraan atas kematian” Kang Jalal. Tulisan ini lahir sejak melihat fenomena kegembiraan atas meninggalnya Kang Jalal ini dan ternyata bersumber dari akun instagram “dakwah_tahid”
Bukan saja berhenti di situ, di feed berikutnya dengan konteks yang sama menambahkan lagi. Kali ini menukil hadis nabi, tertulis besar headline-nya “JIKA TOKOH PENYESAT UMAT MATI”
Bagaimana Laku Rasul Ketika Kaum Yahudi Meninggal Dunia?
Syahdan, suatu ketika Rasul menjumpai rombongan yang mengangkut jenazah yang melintas di hadapan beliau, lalu Rasul pun berdiri. Salah seorang sahabat segera memberitahukan seolah dengan naada protes, “itu jenazah orang Yahudi!” Rasul menjawab, “Bukankah ia juga manusia?” (lebih lanjut kitab Shahih Bukhari)
Dari penggalan kisah di atas, Rasul menyiratkan pesan kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi-tinggi. Saling menghormati tanpa perlu melihat latar belakang SARA, bahkan untuk seorang yang telah terbaring menjadi mayat sekalipun.
Hal ini tampak dari jawabannya yang berupa pertanyaan retoris, “bukankah ia juga manusia?” Betapa mulianya teladan Nabi dalam memperlakukan orang meninggal meskipun bukan saudara seiman. Paling tidak rasul melihatnya sebagai sesama manusia.
Lalu bagaimana dengan nukilan dari tokoh dan karya yang legendaris ini? Secara spontan ketika tertera sumber rujukannya, langsung saya cari dengan media seadanya melalui google. Berharap terdapat e-booknya dan ternyata ditemukan e-kitab al-Bidayah wa al-Nihayah jilid 12.
Sialnya tidak ditemukan redaksi sebagaimana dinukil, dan saya berhusnu al-dzan mungkin beda kitab. Maksudnya di sana menggunakan kitab wujud fisik, sedang saya hanya modal sekedar e-kitab hingga muncul perbedaan tata letaknya.
Cocoklogi Konteks Hadis
Sementara feed berikutnya yang menukil hadis, bukan hal aneh jika hadis dewasa ini sering dijadikan alat untuk memukul lawan. Sama halnya di atas, dipetik sepenggal dari bagian akhirnya.
Dengan headline gambar “JIKA TOKOH PENYESAT UMAT MATI” sedangkan konteks hadisnya berbeda. Padahal hadis itu ingin menjelaskan ketenangan yang didapat seorang mukmin lain dari kematian seorang ahli maksiat.
Bahasa hadisnya disebut “al-‘abd al-fajir” yang sering membuat keresahan, baik berupa kezaliman, ketidakadilan, kerusuhan, dan sebagainya yang cukup membuat gaduh. Bukan tentang sebagaimana headlinenya.
Betapapun terdapat redaksi yang demikian. Pernah pula ditulis oleh seorang Ibn Katsir yang disematkan kepada al-Hasan ibn Shafi at-Turki dan dengan disuguhkan pula hadis nabi sebagai bentuk sokongan tudingannya. Lantas apakah sepadan jika diselaraskan dengan Kang Jalal?
Dalam beberapa pemikiran Kang Jalal memang sedikit banyak dipengaruhi tokoh pemikir Syiah. Di sisi lain kita juga harus terbuka dan melihat Kang Jalal juga banyak diwarnai para tokoh-tokoh sunni dan sangat kental nuansa Ghazaliannya.
Memunculkan Kedamaian di Tengah Perbedaan
Kang Jalal yang mendeklarasikan diri berafliasi dengan syiah dan mendirikan IJABI (Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia) hingga kemudian memunculkan pandangan masyarakat yang hitam-putih. Ada yang suka dan yang tidak, hingga akhirnya lahir ANNAS (Aliansi Nasional Anti Syiah Indonesia) sebagai sebagai anti-tesa atau golongan yang berseberangan secara diametral dengan IJABI.
Dalam perjalanannya, Kang Jalal berhasil membawa IJABI sebagai Syiah Nusantara yang mengedepankan at-taqrib al-madzahib.
Dengan mendahului pendekatan akhlak daripada fiqh yang dirasa lebih efisien menciptakan kedamaian dan kerukunan di tengah perbedaan. Guna menjembatani antara sunni dan syiah dan tidak memperkeruh perbedaan. Pun tidak diperkenankan atau dilarang melakukan hujatan kepada seluruh sahabat Nabi termasuk Sayyidah Aisyah yang harus juga kita hormati.
Dalam pergulatan prosesnya, Kang Jalal merupakan produk pergulatan antara Sunni dan Syiah. Hingga Kang Jalal sendiri lebih suka menyebut dirinya sebagai seorang SUSI (Sunni-Syiah). Malah jika dilihat dari beberapa karyanya cenderung pada khazanah sufisme ala-ala sunni yang mengedepankan harmoni daripada saling tikai.
Kehadirannya pun menjadi angin segar dalam diskursus pemikiran ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, menghargai perbedaan dan tetap memegang teguh nilai luhur ke-pancasila-an. Jika misal hadis dan alasan-alasan di atas dialamatkan pada Kang Jalal, saya rasa hal itu sungguh nge-halu dan benar-benar salah alamat.
Betapapun ada paham Syiah yang menghujat sahabat Nabi bahkan hingga jatuh pada upaya takfir. Kita tentu tidak dapat menggeneralisasi bahwa semua aliran syiah berlaku demikian. Pun ketika ada tindakan ekstrimisme-terorisme yang mengatasnamakan Islam, apakah lantas secara spontan menyatakan Islam adalah agama teroris? Tentunya harus case by case! Wallahu A’lam bi al-Shawab
Selamat Jalan, Kang Jalal. Saya bersaksi kau adalah orang baik pejuang kemanusiaan yang cinta damai dan pemikiranmu tetap hidup di sela-sela karya-mu
اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه وأكرم نزله ووسع مدخله واجعل الجنة مثواه، آمين