Fenomena Flexing dan Visualisasi Kisah Qarun 4.0

 Fenomena Flexing dan Visualisasi Kisah Qarun 4.0

Fenomena Flexing dan Visualisasi Kisah Qarun 4.0 (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Harus diakui bahwa kehadiran media sosial telah merekonstruksi kehidupan manusia, khususnya lagi dalam proses komunikasi. Dulu untuk mengirim pesan pada sanak saudara yang berada di pulau seberang membutuhkan waktu berhari-hari.

Sekarang hal semacam itu tak ada lagi. Lantaran media sosial, estimasi waktu yang digunakan manusia untuk berkomunikasi kian singkat. Selain memudahkan proses komunikasi, media sosial juga mempercepat penyebaran informasi.

Hari ini sebuah informasi diproduksi, hari ini juga informasi tersebut sampai di telinga orang-orang yang tinggal di pelosok negeri.

Namun di sisi lain kita juga tak boleh tutup mata terhadap dampak negatif yang dibawa oleh media sosial. Sebagai contoh, akibat desentralisasi produksi dan distribusi konten di media sosial, hoaks kian masif tersebar.

Tak sedikit pengguna media sosial yang mendapat kabar sesat sehingga membuat keputusan atau tindakan yang mereka ambil justru salah, bahkan tak jarang berujung merugikan.

Selain hoaks, hal lain yang juga mesti dikritisi dari konten di media sosial adalah fenomena flexing. Secara bahasa, flexing memiliki arti ‘pamer.’

Melansir detik.com, dalam Cambridge Dictionary dipaparkan bahwa flexing merupakan aktivitas menunjukkan suatu kepemilikan atau pencapaian dengan cara yang di mata orang lain tidak menyenangkan.

Belakangan flexing banyak dilakukan oleh mereka yang disebut oleh banyak orang sebagai crazy rich. Usia mereka relatif masih muda. Hal ini kian membuat publik terheran-heran, bagaimana bisa ada orang yang di umur masih sangat muda telah memiliki harta yang begitu melimpah.

Namun, hal yang mesti lebih kita waspadai adalah dampak fenomena flexing bagi anak-anak. Seperti yang diketahui, pengguna media sosial tak hanya berasal dari kalangan muda atau dewasa, anak-anak pun juga menjadi bagian dari pengguna media sosial.

Jadi, mereka pun juga turut mengonsumsi konten yang bermuatan flexing. Pertanyaannya, apa bahayanya bagi anak-anak?

Pikiran anak-anak tentu belum dapat membaca kejanggalan yang tersembunyi di balik konten flexing. Mereka hanya melihat bahwa pelaku flexing hidupnya serba enak, diliputi kemewahan, apa pun yang diinginkan pasti di dapat layaknya kehidupan di surga.

Hal semacam ini akan membuat mereka bertanya mengapa ia tak mendapat kemewahan seperti para crazy rich.

Mereka bahkan mungkin tak segan untuk menginterogasi orang tuanya terkait kesenjangan yang begitu jauh antara kehidupan keluarga mereka dengan orang-orang di media sosial (dalam hal ini para pelaku flexing).

Problematika seperti ini jelas bukan sesuatu yang gampang diatasi (dijawab) oleh para orang tua.

Aktivitas flexing setidaknya mengandung 2 unsur keburukan. Pertama, arogansi. Bagaimana pun keadaannya, di mana pun tempatnya, kapan pun waktunya, arogan atau sombong bukanlah hak manusia.

Mestinya manusia sadar bahwa dirinya tak berdaya di hadapan Pencipta alam semesta. Menyadari betapa luasnya semesta dan melihat diri kita yang sangat kecil di dalamnya rasanya sudah cukup untuk mencegah kita dari kesombongan.

Unsur keburukan dalam flexing yang kedua adalah menyulut rasa tidak suka dalam hati orang lain. Ini sangat kontradiktif dengan salah satu pesan Nabi Muhammad, di mana Nabi Muhammad menyebut bahwa manusia yang terbaik adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Pesan Nabi saw tersebut sudah begitu jelas, lalu mengapa masih ada yang justru melakukan sebaliknya?

Para pelaku flexing mengingatkan kita pada kisah salah satu pengikut Nabi Musa a.s. yang begitu masyhur. Ia adalah Qarun. Seperti yang diketahui, Allah Swt telah menenggelamkan Qarun beserta harta bendanya ke dalam perut bumi.

Penyebabnya adalah ia selalu memamerkan kekayaannya di hadapan khalayak dan lupa diri. Dalam kisah Qarun diceritakan bahwa Qarun merasa jika seluruh hartanya tersebut datang sebab ilmu yang dimilikinya, bukan sebab kemurahan & kekuasaan Allah Swt.

Kisah Qarun ini salah satunya terekam dalam surat al-Qashash (28) ayat 78 yang terjemahnya sebagai berikut,

“Dia (Qarun) berkata,”Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka.” (Q.S. Al-Qashahsh ayat 78)

Penangkapan para crazy rich yang melakukan flexing beberapa waktu yang lalu tampaknya bisa disebut sebagai visualisasi kisah Qarun 4.0. Perilakunya sama, tetapi konteks zamannya berbeda.

Orang tua dapat menggunakan analogi ini pada anak-anaknya ketika memberikan pengajaran tentang kisah Qarun. Fakta penangkapan para pelaku flexing dapat dipakai sebagai bukti empiris atas ganjaran yang diterima orang-orang sombong dan suka pamer kekayaan.

Dengan begitu, semoga anak-anak kian mafhum dengan prinsip bersyukur dan rezeki halal. Jika pun tidak sampai pada titik tersebut, setidaknya anak-anak mendapat kesadaran bahwa pamer harta adalah sesuatu yang tidak perlu dan malah akan merugikan diri sendiri.

Sebagai orang dewasa, kita pun perlu waspada dengan flexing. Tak menutup kemungkinan beberapa hal yang kita lakukan sehari-hari merupakan bagian dari flexing, hanya saja kulit luarnya tampak begitu bagus.

Sebagai contoh, saat kita memakai baju dan sarung dengan merk yang memiliki harga jual produk yang jauh lebih mahal daripada lainnya. Kita perlu bertanya kembali pada diri kita, apa sebenarnya niat kita memakai baju dan sarung mahal tersebut.

Apabila niat kita sekadar untuk mencari validasi dari orang lain bahwa busana kita adalah busana yang mahal, jelas itu termasuk kategori flexing.

Ingat! Baju dan sarung mahal tak akan berguna bila ia justru membuat ibadah kita kian tak khusyu’. Jika hal semacam itu benar terjadi, maka ia merupakan flexing dalam balutan religiusitas.

Kita memang perlu menaruh sikap hati-hati terhadap harta benda. Kita mungkin sudah banyak melihat menjamurnya problematika dan sengketa yang timbul dari harta benda.

Apakah kita perlu menyalahkan harta benda atas semua itu?

Jelas tidak. Ali ibn Abi Thalib pernah menyebut, “Ilmu menjagamu, sementara harta dijaga olehmu”. Melalui kalimat tersebut, dapat dipahami bahwa arah harta ditentukan oleh tangan manusia.

Harta dapat berujung manfaat, dapat juga mengundang mudarat. Semua tergantung dari bagaimana kita menggunakannya. Flexing muncul sebab rendahnya kontrol diri seseorang terhadap harta yang dimilikinya.

Seandainya kita sadar akan apa saja yang akan kita dapatkan dari flexing, mungkin kita tak akan melakukannya. Wallahu A’lam.

Mohammad Azharudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *