Fatwa Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari: “Kasus Dalih Bermimpi Nabi”
HIDAYATUNA.COM – Syaikhul Islam Zakariyya (al-Anshâri) ditanya tentang seseorang yang berdalih bahwa ia bermimpi melihat Nabi ﷺ. Dengan sabda beliau padanya: ummatku telah melewatkan puasa 3 hari dan agar mereka mengulanginya setelah itu dan agar mereka menyampaikan.
Apakah puasa tersebut hukumnya wajib, mandub, jaiz, atau haram?
وهل يكره أن يقول أحد للناس أمركم النبي ﷺ بصيام أيام لأنه كذب عليه ومستنده الرؤيا التي سمعها من غير رائيها أو منه؟ﷺ
Apakah makruh jika seseorang berkata pada masyarakat: “Nabi ﷺ memerintahkan kalian berpuasa sekian hari” karena ia berdusta pada beliau. Sementara pedomannya adalah mimpi yang ia dengarkan dari mimpi orang lain atau dari dia sendiri?
وهل يمتنع أن يتسمى إبليس باسم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم ويقول للنائم إنه النبي ﷺ ويأمره بطاعة ليتوصل بذلك إلى معصية كما يمتنع عليه التشكل في صورته الشريفة أم لا وبه تتميز الرؤية له صلى الله عليه وآله وسلم الصادقة من الكاذبة؟
Apakah Iblis terhalangi jika ia mengaku dengan nama Nabi ﷺ dan Ia mengatakan pada orang yang tidur tersebut bahwa Ia adalah Nabi ﷺ dan memerintahkan suatu ketaatan. Agar Ia sampai pada suatu kemaksiatan sebagaimana ia terhalangi menampakkan diri dalam bentuk postur tubuh Nabi ataukah tidak? Sehingga dengan begitu keistimewaan melihat Nabi ﷺ itu benar, bukan dusta.
وهل يثبت شيء من أحكام الشرع بالرؤية في النوم؟ وهل المرئي ذاته ﷺ أو روحه أو مثل ذلك؟
Apakah valid suatu hukum syara’ berdasar mimpi melihat (Nabi ﷺ ini)?
***
Apakah yang dilihat itu dzat beliau ﷺ, ruh beliau, ataukah mirip yang demikian itu?
أجاب لا يجب على أحد الصوم ولا غيره من الأحكام بما ذكر ولا مندوب بل قد يكره أو يحرم لكن إن غلب على الظن صدق الرؤية فله العمل بما دلت عليه ما لم يكن فيه تغيير حكم شرعي ولا يثبت بها شيء من الأحكام لعدم ضبط الرؤية لا للشك في الرؤية
Beliau (Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshâri) menjawab:
Tidak wajib bagi siapapun melakukan puasa itu maupun hukum yang lain sebagaimana tersebut dalam pertanyaan, dan tidak pula mandub, bahkan terkadang makruh atau haram. Akan tetapi, jika kemungkinan besar mimpi itu terpercaya, maka Ia boleh mengamalkan sesuai petunjuk, selagi tidak mengubah hukum syar’i.
Tidak valid pula dengan mimpi itu suatu hukum apapun karena ketiadaan dhobth (kecermatan) mimpi. Bukan karena keraguan dalam mimpi.
ويحرم على الشحص أن يقول أمركم النبي ﷺ بكذا فيما ذكر بل يأتي بما يدل على مستنده من الرؤية إذ لا يمتنع عقلا أن يتسمى إبليس باسم النبي ﷺ ليقول للنائم إنه النبي ويأمره بالطاعة.
Sementara itu, seseorang diharamkan untuk berkata: Nabi ﷺ memerintahkan kalian begini, sebagaimana tersebut. Tetapi dengan redaksi yang menunjukkan bahwa pedomannya adalah dari mimpi karena secara akal, Iblis tidak terhalang untuk mengaku dengan nama Nabi ﷺ . Untuk berkata pada orang yang tidur itu bahwa Ia adalah Nabi ﷺ dan menyuruhnya melakukan suatu ketaatan.
***
والرؤية الصادقة هي الخالصة من الأضغاث. والأضغاث أنواع: الأول تلاعب الشيطان ليحزن الرائي كأنه يرى أنه قطع رأسه الثاني أن يرى أن بعض الأنبياء يأمره بمحرم أو محال. الثالث ما تتحدث به النفس في اليقظة تمنيا فيراه كما هو في المنام ورؤية المصطفى ﷺ بصفته المعلومة إدراك لذاته ورؤيته بغير صفته إدراك لمثاله فالأولى لا تحتاج إلى تعبير والثانية تحتاج إليه ويحمل على هذا قول النووي: الصحيح أنه يراه حقيقة سواء كانت صفته المعروفة أو غيرها وللعلماء في ذلك كلام كثير ليس هذا محل ذكره وفيما ذكرته كفاية اه بنصه
Sedangkan mimpi yang benar adalah yang bebas dari adhghâts (mimpi yang tidak jelas). Sementara adhghâts itu ada beberapa macam:
(1) Permainan setan agar si pemimpi bersedih, seperti Ia bermimpi telah putus kepalanya.
(2) Ia bermimpi bahwa diantara para nabi memerintahkannya melakukan perbuatan haram atau kemustahilan.
(3) Apa yang terjadi pada dirinya sendiri di saat terjaga dalam keadaan berharap, lalu ia melihat sebagaimana yang terjadi dalam mimpi.
Sedangkan bermimpi melihat Nabi ﷺ dengan sifat-sifat beliau yang diketahui adalah mencapai/merasakan dzat beliaus. Sedangkan bermimpi melihat beliau bukan dengan sifat beliau adalah mencapai/merasakan mitsâl (padanan) beliau.
Pertama tidak perlu ta’bir mimpi, sedangkan yang kedua perlu ta’bir mimpi. Dimungkinkan yang kedua ini pendapat al-Imam al-Nawawi bahwa menurut pendapat yang shahih ia benar-benar melihat beliau, baik itu sifat beliau dikenali maupun tak dikenali.
Dalam masalah ini, ulama banyak pendapat, bukan di sini tempatnya untuk membahasnya, namun yang telah Aku tuturkan itu mencukupi. Akhir kutipan.
فيض القدير ٦/١٣٢