Fatima Mernissi: Perempuan Boleh Bekerja

 Fatima Mernissi: Perempuan Boleh Bekerja

Etika Politik Menurut Muhammad Abduh (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Islam adalah agama rahamatan lil alamin, Islam datang salah satunya membebaskan belenggu kaum perempuan pada masa jahiliyah yang diperlakukan tidak manusiawi. Misalnya penguburan bayi perempuan hidup-hidup dan tidak adilnya pembagian waris terhadap perempuan.

Islam datang membabat semua tradisi yang sedemikian buruk dan merugikan kaum perempuan. Dengan demikian, setelah Islam datang, dari masa ke masa kaum perempuan mulai muncul dengan menyumbangkan pemikiran mereka. Sumbangsih itu baik dalam pendidikan, sosial, dan politik tak terkecuali adalah Fatima Merrnissi.

Sekilas, Fatima Mernissi lahir di kota Fez, Maroko pada tahun 1940. Ia mendapat pendidikan pertama langsung dari neneknya lala Yasmina.

Mernissi berasal dari keluarga kelas menengah. Ketika menginjak usia remaja dia aktif dalam gerakan menentang kolonialisme perancis, untuk merebut kemerdekaan Nasioanal pada waktu itu.

Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas, Mernissi menempuh studinya di Universitas Muhammad V Rabat Maroko dengan focus program studi pada masa itu adalah bidang Sosiologi dan Politik. Setelah menamatkan studinya di Maroko ia melanjutkan studinya ke Amerika dan meraih gelar Ph.D pada tahun 1973.

Mernissi pun kembali ke negaranya dan menjadi dosen di Universitas di mana ia menamatkan sekolah strata satunya. Untuk itu, tak jarang juga Mernissi sering keliling Negara untuk ceramah atau sekadar di undang menjadi dosen tamu seperti Turki, Kuwait, Mesir atau Negara lain.

Pemikiran Mernissi di Bidang Ekonomi

Mernissi menganut mazhab Sunni dan Maliki. Mernissi juga terkenal dengan pemikirannya yang dapat mendongkrak pemikiran-pemikiran masyarakat pada masa itu, terutama tentang perempuan.

Salah satu pemikiran Mernissi tentang perempuan dalam bidang ekonomi adalah bolehnya perempuan bekerja. Persoalan bolehnya perempuan bekerja bukanlah hal yang baru bagi penganut agama Islam, tapi sesungguhnya hal ini sudah ada dan dilaksanakan praktiknya pada masa Islam awal.

Salah satunya hadis yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Aisyah berkata: Wanita yang paling panjang tangannya di antara kita adalah Zainab, sebab ia bekerja dengan tangan sendiri dan juga bersedekah dengannya. Sedangkan melalui riwayat jabir menegaskan “bahwa Rasulallah mendatangi Istrinya Zainab bin Jahsy yang saat itu sedang menyamak kulit.”

Dari kedua hadis di atas dapat di tarik benang merah bahwa istri Nabi bekerja sebagai penyamak kulit dan hasilnmya di sedekahkan di jalan Allah.

Dalam hal ini, Mernissi juga mengutip hadis ummu Sulaimah yang yang selalu melontarkan pertanyaan krusial kepada Nabi. Seperti “Mengapa hanya kaum pria yang disebutkan di dalam Alquran? Sementara kami tidak maka atas pertanyaan tersebut maka turunlah.” (Q.S al-Ahzab: 35)

Surah ini menjelaskan mengenai dua gender, yakni laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama  mendapat ampunan dan pahala yang besar. Oleh karena itu, melalui pertanyaan ini maka turunlah satu surah yang bernama surah al-Nisa khususnya surah al-Nisa’ (4): 7

Menurut Mernissi berdasarkan hadis tersebut, perempuan boleh bekerja karena istri Nabi salah satunya Zainab pada saat itu bekerja menjadi penyamak kulit. Dedikasi Mernissi patut di apresiasi, semasa hidupnya, ia aktif dalam gerakan-gerakan perempuan demi bangkitnya kaum perempuan.

  • Perjuangan Kaum Perempuan di Akhir Hidupnya

Menjelang detik-detik akhir kehidupannya, Mernissi tetap mendedikasikan hidupnya dalam pemberdayaan perempuan. Selain pemberdayaan perempuan ia tetap melakukan penelitian salah satu risetnya adalah Journalistes Marocaines: Generation Dialogue merupan kumpulan tulisan bersama anggota jaringan wartawan wanita.

Di akhir hidupnya Mernissi mengidap penyakit kanker, ia di rawat di sebuah rumah sakit di kota Rabat Maroko. Pada tanggal 30 November 2015, ia menhembuskan nafas terakhirnya karena penyakit yang di deritanya.

Berita telah berpulangnya ke pangkuan ilahi disiarkan oleh media-media lokal sampai internasional sampai-sampai New Yorks Times menyebutnya sebagai a Founder of Islamic Feminism.

 

Nafilah Sulfa

https://hidayatuna.com/

Penulis adalah santri aktif Pondok Pesantren Ziyadatut Taqwa Pamekasan Madura, dan Mahasiswi Ilmu Alquran dan Tafsir semester akhir di IAIN Madura. Pegiat kajian Feminisme.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *