Fanatisme dalam Islam Menurut Quraish Shihab
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Setiap manusia pasti memiliki sebuah prinsip dan keyakinan dalam dirinya yang tidak bisa ditawar ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan hidup.
Mereka bersama apa yang diyakininya baik itu berupa agama, politik, ekonomi, kebangsaan dan seterusnya, memiliki ikatan emosional yang kuat.
Ikatan inilah yang kerap mendorong mereka untuk berbuat hal-hal kecil maupun besar.
Problemnya terkadang perbuatan yang dimunculkan berdampak buruk bagi diri dan orang-orang di sekitarnya.
Maka tidak heran, atas nama agama semisal, kadang seseorang yang pada mulanya berkehendak baik justru dalam prakteknya merugikan orang lain.
Bermaksud menegakkan amar ma’ruf (kebaikan) dan nahi munkar (mencegah keburukan), tetapi dengan cara-cara yang munkar (buruk).
Perbuatan-perbuatan berlebihan yang berdampak buruk tersebut kita kenal dengan istilah fanatisme.
Dalam kamus KBBI, fanatisme berarti keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya).
Benarkah keyakinan yang terlalu kuat tersebut sesuatu yang keliru? Bagaimana Islam memandang tersebut?
Dalam hal ini, menarik untuk mengutip pendapatnya ulama ahli tafsir, Quraish Shihab.
Dalam akun YouTube @Najwa Shihab (09/05/20) berjudul “Jangan Berlebihan dalam Hal Apapun, Termasuk Beragama,” Quraish Shihab menjelaskan batasan-batasan dalam berkeyakinan.
“Keterikatan terhadap agama, perilaku, dan sebagainya itu sebenarnya bagus. Yang menjadikan tidak bagus, kalau bersikap tidak adil terhadap orang lain.”
Ada kata adil di sana yang menyaratkan agar ekspresi keyakinan tidak keluar dari koridor utamanya. Kita boleh dan bahkan harus yakin dengan apa yang kita anut, namun tidak berarti boleh semana-mena terhadap apa yang diyakini orang lain. “Jadi fanatik itu buruknya bukan pada keterikatan seseorang kepada agama”, tambahnya.
Baginya, keyakinan itu lebih bersifat ke dalam, bukan keluar. Kita tidak diperbolehkan menghakimi keyakinan orang lain, karena itu domain Tuhan. “lakum diinukum wa liya diin”, tandasnya.
Lebih lanjut, dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa sampaikanlah wahai Nabi Muhammad kepada non-Muslim: kami (kaum Muslimin) atau kamu wahai non-Muslim, boleh jadi dalam kebenaran, boleh jadi juga dalam kesesatan.
Dalam bermasyarakat, kita perlu memiliki sikap tidak merasa paling benar, baik dalam konteks agama, politik, organisasi dan semacamnya. []