Fanatik Buta Pada Agama adalah Akar Segala Kehancuran

 Fanatik Buta Pada Agama adalah Akar Segala Kehancuran

Fanatisme dalam Islam Menurut Quraish Shihab (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Jangan salahkan jika Marx telah melukiskan agama sebagai candu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama mendorong mereka untuk menganiaya satu sama lain, untuk memuji-muji perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain. Untuk mengklaim bagi dirinya mereka sendiri kepemilikan kebenaran. (Wilson: 1992).

Menurut Ahmad Nurcholish (2017) apa yang telah dikatakan Wilson sejak lebih dari 20-an tahun lalu ini bukan saja berdasarkan pada realitas empiris yang sudah terjadi sebelumnya. Namun hingga detik ini pun agama kerap kali menjelma menjadi alat untuk membenci, mencaci, bahkan mengenyahkan yang lain. Sungguh ironis, bukan.

Di negeri kita tercinta Indonesia ini, hal itu pun benar-benar nyata. Kasus penutupan atau penyegelan misalnya.

Lalu ada juga pembongkaran gereja dengan paksa bahkan masjid serta pembakaran rumah ibadah lainnya, telah menjadi pandangan yang begitu menyesakkan nurani. Terlebih bagi yang meyakini bahwa agama sejatinya tidak memiliki ajaran yang demikian keji itu.

Sementara itu, saya sendiri menduga bahwa penyebab hal-hal diluar ajaran universal agama yaitu toleransi adalah disebabkan oleh sikap fanatik yang buta pada agamanya. Dengan dalih atas dasar perintah Tuhan yaitu amal ma’ruf nahi mungkar.

Makin ironis lagi, bukan. Seolah-olah agamanya mendukung atas perilakunya.

Memandang Perbedaan sebagai Hal Asing

Masih ingat dengan aksi 441 atau 212? Aksi umat islam yang ditunjukkan untuk membela agamanya. Mereka tampak jelas memiliki sikap fanantik yang buta hingga tak jarang mereka melakukan hal-hal di luar ajaran agama yaitu kekerasan.

Padahal, seluruh agama mana pun, termasuk Islam, telah melarang keras umatnya untuk berlaku anarkis. Kapan pun, dimana pun serta dengan siapa pun.

Fanatik buta pada agama ialah jika ia melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ia fahami atau yakini, maka ia akan menganggap bahwa itu salah.

Menurutnya itu harus dibenarkan sesuai dengan pandangannya dengan paksa. Klaim-klaim kebenaran sepihak seperti inilah yang kemudian menjadi biang keributan, percekcokan bahkan sampai kepada peperangan.

Dengan demikian, perbedaan-perbedaan pemahaman seperti itu, harusnya kita sikapi dengan bijaksana. Sebab dimana perbedaan-perbedaan pemahaman itu lazim dan seringkali terjadi, di dalam ilmu-ilmu, ilmu fikih misalnya.

Misalnya lagi dari fakta sikap fanatik yang buta yakni “persekusi” yang kerap kali menimpa mereka yang dianggap menyimpang atau sesat dari keyakinan agama sebagaimana dianut oleh kalangan mainstrem. Tindakan persekusi bisa terjadi antar kelompok agama tertentu dengan agama lainya yang berbeda, tapi juga bisa terjadi di internal agama tertentu itu sendiri.

Contohnya yang sering disampaikan misalnya, terjadinya perusakan dan pembakaran gereja oleh sekelompok orang yang tidak menghendaki adanya gereja di satu tempat adalah contoh tindakan persekusi yang masih kerap terjadi, hingga kini. Ini dilakukan biasanya oleh umat Islam tertentu terhadap umat Kristen atau Katolik di satu tempat atau daerah.

Sikap Fanatisme Jauh dari Toleransi

Menyoal fanatik yang buta, misalnya lagi dalam (Pesantren.id/23/21) Mubaedi Sulaiman menjelaskan bahwa Gus Dur pernah berkata, “Islam memang perlu dikembangkan. Tetapi tidak untuk dihadapkan pada “serangan” orang karena kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan seseorang. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun Dia tidak akan menolak untuk dibela.”

Islam bagi Gus Dur bersifat kosmopolitan, kebenarannya akan mudah diterima di mana saja. Bukan terletak pada “formalitas-formalitas” tertentu, tetapi ia dapat mengekspresikan dirinya dalam wujud yang paling mudah dikenali oleh pemeluknya.

Mubaedi menambahkan dengan menjelaskan bahwa pembelaan kepada Tuhan yang “diformalitaskan” justru akan membuat batas Islam hanya dimiliki oleh satu golongan tertentu saja. Kemudian dari hal tersebut melahirkan sikap fanatik yang membabibuta, ingin menghabisi segala sesuatu yang “berbeda” dengan kebenaran yang ia yakini.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan fitrah Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Di mana Islam yang seharusnya merangkul yang berbeda dan menjadikan perbedaan sebagai “anugerah” untuk membangun kekuatan.

Nah, dari persoalan-persoalan di atas, inti dari kehidupan beragama sebaiknya kita selalu mengedepankan perdamaian, merasa sebagai orang yang fakir akan ilmu agama bisa mengikuti para ulama yang kita yakini lebih faham dan selalu mengedepankan perdamaian. Daripada harus mengkafirkan saudara seiman sendiri yang akhirnya mengakibatkan perpecahan dan kehancuran dalam berkehidupan.

Kita juga harus selalu sadar bahwa, tindakan-tindakan seperti di atas yang sudah tentu jauh dari ajaran Universal yakni toleransi. Juga jauh dari ajaran Agama Islam sendiri yaitu ajaran yang memberikat rahmat dan kasih sayang terhadap semua makhluk ciptaan-Nya sehingga nantinya terciptanya kedamaian dan keutuhan serta jauh kehancuran. Semoga.

Tabik.

Rojif Mualim

https://hidayatuna.com

Alumni Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pengajar dan Peneliti, Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *