Faktor dan Kegagalan Kelompok Radikalisme dalam Islam
Oleh: Mj. Ja’far Shodiq
(Pimpinan Redaksi Hidayatuna.com)
HIDAYATUNA.COM – Adanya radikalisme dan terorisme keberadaannya bagai dua sisi keping uang yang saling bergandengan, sulit untuk dipisahkan. Istilah radikalisme dalam Bahasa Arab disebut tathaorruf, menjadi muthothorrifin yang memiliki artiteror atau menciptakan suatu bencana. Dalam Alquran istilah tersebut sering diartikan sebagai prilaku atau sikap yang melampaui batas. Terdapat tiga prilaku yang diasumsikan sebagai sikap yang melampaui batas.
Pertama, tatharruf“, prilaku yang berlebihan disebabkan oleh emosional dan menimbulkan sikap sinisme di kalangan masyarakat. Kedua, ghuluw, merupakan sikap ekspresi yang berlebihan dalam merespons persoalan hingga dapat mengimplementasikan dalam bentuk prilaku di luar batas kewajaran. Kedua,. Ketiga, irhab, adalah prilaku berlebihan yang disebabkan oleh dorongan agama atau ideologi. Ketiga kategori tersebutlah yang mengundang kekhawatiran karena dapat menjadi alasan pembenaran dalam melakukan kekerasan atas nama agama.
Paham radikalisme dalam Islam muncul disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : pertama, faktor pemahaman dan penyalahgunaan Islam untuk perorangan. Pemahaman ini disebabkan karena sikap ekslusivisme Islam. Meraka terkesan hanya mau membenarkan kelompoknya sendiri dan tidak dapat mentolerir pemahaman kelompok lain dalam Islam. Hal inilah yang menyebabkan merasa dirinya mewakili Islam dan Islam adalah dia. Selain kelompoknya, dianggap ‘tidak sempurna keislamannya.
Dominasi ini menciptakan beragam sikap fanatisme, mulai dari sikap yang lunak sampai sikap fanatisme yang paling berat. Paham yang paling berat yang oleh KH. Hasyim Muzadi disebut dengan Hizbul Takfiriyyah, yaitu kelompok yang memiliki faham fanatisme yang selalu mengatakan di luar kelompoknya adalah kafir dan selalu klaim kesempurnaan ajaran Islam hanya ada pada kelompoknya. Oleh karenanya jika sudah terstempel status kafir, maka semuanya menjadi halal, baik hartanya, kehormatannya maupun keluarganya, maka timbullah suatu langkah-langkah diluar kenormalan yang disebut dengan teror dan diklaim sebagai perbuatan jihad.
Semua ini, sebenarnya sudah berakar semenjak akhir era khulafaurrasyidin. Akar Hizbul Tafkiriyyah ini pada mulanya muncul saat terjadi perpecahan dalam umat Islam menjadi kelompok Sunni, Syiah, Khawarij, Mu’tazilah dan sebagainya. Misalnya, pembunuh Sayyidina Ali bin Abu Thalib merupakan seorang muslim yang sangat taat beragama. Tetapi karena pemahaman politik yang terlanjur diagamakan dan agama yang dipolitikkan akhirnya membuatnya memiliki sikap kebencian dan pada ujungnya menimbulkan sebuah peperangan.
Dalam perjalanan sejarahnya, menurut Syafi’i Ma’arif, jalan pintas yang digunakan kelompok Islam radikal itu sebagai harakiri. yakni suatu perbuatan yang hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang “sesak nafas” karena tidak beranai hidup secara bermakna. Menurut pandangan Syafi’i, dalam catatan sejarah peradaban manusia, bahwa radikalisme dalam bentuk terorisme pada ujungnya dapat dipastikan berakhir dengan kegagalan. Radikalisme dalam bentuk teror pada umumunya sering berakar dari kebencian dan fanatisme.
Para teroris tampaknya tidak berhasil dan tidak memiliki strategi untuk menawarkan perdamain dan kesejahteraan. Tersudut karena berbagai hantaman catatan sejarah yang menempatkan terorisme dalam posisi kejam dan bengis, menjadikannya tak berdaya. Oleh karena itu, terorisme selalu menempuh jalan instan berupa defeating (menghancurkan diri sendiri), yang selalu dilakukan dalam suasana tersudut, tertekan dan rentan.
Adapun berdasar teks atau nash, fakta sejarah mengenai radikalisme agama sejatinya telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, dikisahkan pada suatu waktu saat Nabi berada di daerah Thaif dan hendak membagi harta rampasan perang, tiba-tiba Nabi didatangi oleh seseorang yang bernama Dzul Khuwaishirah yang berasal dari Bani Tamim. Ia tanpa sebab melayangkan protes keras kepada Nabi, dengan tidak sopan mengatakan, “Bersikaplah adillah wahai Muhammad!” Nabi kemudian menjawab, “Celakalah kamu, tidak ada orang satupun yang lebih adil dari aku (Nabi Muhammad). Karena apa yang aku lakukan itu berdasarkan atas petunjuk Allah.” Mendengar jawaban Nabi, Dzul Khuwaishirah tiba-tiba langsung pergi, kemudian Nabi bersabda kepada para sehabit lainnya, “Suatu hari nanti, akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang rajin membaca Alquran, namun ia tidak memperoleh makna yang sejati. Mereka ini adalah sejelek-jeleknya makhluk.”
Faktor Kedua, adalah mereka atau kelompok yang melakukan terorisme itu tidak pernah mendalami atau mengkaji Islam sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan. Karena mereka tidak mengenal sama sekali tentang budaya atau kultur pembelajaran umat Islam (santri) yang selalu mengetahui deretan dan perkembangan penafsiran ber abad-abad untuk memahami Alquran dan Hadis Nabi Muhammad melalui perubahan-perubahan penafsirannya. Pemahaman ayat lakum dinukum waliyadin, misalnya, yang diasumsikan sebagai pembenaran Islam saja tanpa pengakuan kepada eksistensi agama lain. Padahal semestinya kita tidak mengikuti ajran mereka, akan tetapi kita juga tidak diperbolehkan ribut dengan mereka itu. Sebaliknya, mereka juga tidak boleh mengganggu apa yang kita punya. Dalam perkembangannya sampai saat ini, waliyadin ini justru lebih mendominasi dari pada lakum dinukum.