Fahruddin Faiz: Sombong adalah Pintu Masuk Orang Jadi Zalim

 Fahruddin Faiz: Sombong adalah Pintu Masuk Orang Jadi Zalim

Fahruddin Faiz (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Cendekiawan muslim Indonesia dan pakar filsafat Islam, Fahruddin Faiz menjelaskan tentang bahaya orang sombong.

Menurutnya, sikap sombong diibaratkan sebagai pintu masuk seseorang menjadi pribadi yang zalim.

Bagaimana proses kesombongan itu kemudian bisa berujung pada sikap zalim?

Faiz menjelaskan, umumnya sikap sombong biasanya akan berlanjut pada sikap ujub. Yakni sikap yang merasa hebat sendiri.

“Biasanya, kalau orang sudah sombong terus dilanjutkan ke ujub. Ujub itu bangga diri, merasa besar, (menganggap) yang lain kecil semua,” kata Fahruddin Faiz dalam potongan video yang diunggah akun TikTok @ngopiaesthetic dikutip Rabu (17/01/2024).

Berawal dari sikap ujub inilah, seseorang kemudian akan mengarah pada perilaku pribadi yang sum’ah.

Yaitu sebuah perilaku yang hanya ingin dipuji-puji atau dielu-elukan oleh orang lain.

Mereka ini hanya senang jika mendengar dan membicarakan perihal keunggulan serta kehebatan dirinya.

“(Setelah ujub) terus dilanjutkan ke sum’ah. Sum’ah itu senang kalau dipuji puji, memperdengarkan kehebatannya. Menunjukkan itu terus (kehebatannya),” jelasnya.

Setelah sifat sum’ahnya tumbuh, disitulah kemudian awal mula munculnya sikap zalim.

Dengan kata lain, menurut Faiz, sifat sum’ah apabila diaplikasikan dalam tindakan, ujungnya hanya akan melahirkan tindakan zalim.

“Nanti begitu diwujudkan dalam perilaku, biasanya melahirkan kezaliman. Kita menghegemoni yang lain, dan mendominasi yang lain,” ujarnya.

Lantas apa yang harus dilakukan seseorang agar terhindari dari perilaku tercela tersebut? Menurut Faiz yang perlu dilakukan adalah mengenali antara batas percaya diri dengan sombong.

Dengan mengutip teori filsafatnya Socrates, maka seseorang harus mengawalinya dengan membaca diri.

“Kita kenali kita. Itu bisa tidak. Kalau sudah, kita sadari bahwa kebiasaan itu hakikatnya anugerahnya Allah saja. Kemudian kita tetap, membumi dalam arti (menyadari bahwa) di atas langit, masih ada langit lagi,” tandasnya. []

Romandhon MK

Peminat Sejarah Pengelola @podcasttanyasejarah

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *