Eyang Hasan Maolani dan Kesadaran Nasionalisme Awal di Tanah Sunda
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Bagi warga Kabupaten Kuningan, pasti tidak asing dengan sosok Eyang Hasan Maolani.
Sosok yang namanya pernah menghiasi sejarah perlawanan masyarakat Kuningan terhadap kolonialisme itu kini diabadikan menjadi nama sebuah jalan yang terbentang dari pasar Ancaran sebelah utara hingga jalan Garawangi sebelah selatan.
Menurut makalah umum yang dibagikan panitia Haul Eyang Hasan Maolani, beliau lahir di Desa Lengkong tanggal 22 Mei 1782 M atau 8 Jumadil Akhir 1196 H.
Beliau merupakan putra dari Kiai Bagus Lukman bin Kiai Syatar. Dikutip dari tesisnya Nida’ Fadlan berjudul “Surat-Surat Eyang Hasan Maolani, Lengkong: Suntingan Teks dan Analisis Isi” (2015: 16) bahwa silsislah Eyang Hasan bersambung hingga Sunan Gunung Djati dan karenanya juga berarti tersambung ke Prabu Siliwangi.
Pada masa mudanya, Eyang Hasan menimba ilmu di berbagai pesantren. Dikutip dari bukunya Idik Saeful Bahri berjudul “Lebih Dekat dengan Eyang Hasan Maolani Lengkong”, beliau belajar di Pesantren Mbah Padang Garawangi, Pesantren Pangkalan asuhan Mbah Alimudin, Pesantren Kadugede asuhan Kiai Sholehudin, Pesantren Pasawahan Kanci (Cirebon), Pesantren Kedung Rajagaluh (Majalengka) dan Pesantren Ciwaringin (Cirebon).
Pada masanya, Eyang Menado, begitu masyarakat Kuningan mengenangnya, dikenal sebagai ulama yang ajaran keislamannya paling ditakuti pemerintah Hidnia Belanda.
Ini mengingat setidaknya ada tiga faktor utama yang mempengaruhi. Pertama ajarannya yang menekankan pada interpretasi jihad.
Dikutip dari unggahan panjang dalam akun pribadi facebook-nya Ahmad Baso pada tanggal 27 April 2014 lalu bahwa “ajaran jihad ini oleh ulama pituin Kuningan sempat dituliskan dalam fathul qorib 40 jilid karyanya.”
Lebih jelas Ahmad Baso mengutip kata-kata Eyang Hasan sebagai berikut:
“Jika sekiranya para orang kafir memasuki negeri muslimin atau mereka bertempat yang dekat dengan letaknya negeri orang Islam, maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah fardhu ain bagi kaum muslimin. Wajib bagi ahli negeri untuk menolak (menghalau) para orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum muslimin untuk menolak.”
Bagi pemerintah kolonial, ajaran jihad dan doktrin politik Islam memang bagian yang paling ditakuti dibanding dari sisi mana pun ajaran Islam.
Tidak heran jika di kemudian hari, tepatnya di akhir abad 19 dan awal abad 20, pemerintah kolonial berupaya menekan dan membatasi sisi ajaran yang berbau jihad dan politik Islam.
Di saat yang sama, sisi ajaran yang berupa amaliyah dibiarkan dan bahkan difasilitasi. Ini tidak lepas dari peranan Snouck Hurgronje selaku penasihat resmi Hindia Belanda pada masa itu mengenai urusan umat Islam.
Kedua disamping ajaran jihadnya, Eyang Hasan Maolani dikenal mengikuti Tarekat. Setelah dewasa, Hasan Maolani belajar tarekat di antaranya Satariyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah dan lainnya.
Namun akhirnya beliau menganut tarekat Satariyah. Di beberapa peristiwa dalam periode sejarah, tarekat tidak bisa hanya dipersepsi sebagai sikap fatalistik dalam beragama. Justru sebaliknya, tarekat kerap menjadi ilham bagi gerakan sosial dan gerakan protes atas krisis sosial yang melatarinya.
Sebut saja semisal tarekat Sanusiyah di Afrika Utara dan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah pada pemberontakan Petani di Banten 1888. Keduanya dalam rangka menentang penjajahan.
Ketiga dekatnya jarak peristiwa ‘perlawanan’ Eyang Hasan Maolani dari sisi waktu dengan Perang Diponegoro atau Perang Jawa.
Penangkapan Eyang Hasan Maolani berlangsung pada tahun 1837 sedangkan Perang Diponegoro berakhir tahun 1830. Dalam rentang hanya tujuh tahun bagi Pemerintah Kolonial tentu belum cukup untuk melupakan peritiwa yang cukup merepotkan dan merugikan kondisi pemerintahan mereka.
Karena tiga faktor di ataslah dan atas saran Residen Priangan pula pemerintah kolonial akhirnya memilih untuk mengasingkan Eyang Hasan Maolani.
Sebelumnya hanya ditempatkan di Cirebon (1837), lalu pindah ke Batavia dan akhirnya ke luar pulau Jawa (1841) mengingat pengaruhnya yang begitu besar bagi pengikutnya.
Hingga wafatnya pada tanggal 29 April tahun 1874, Eyang Hasan Maolani tidak diperkenankan kembali ke kampung halamannya.
Jasadnya dikuburkan di Tondano (waktu itu masih masuk Manado), Sulawesi Utara.
Adapun makam yang berada di Lengkong tanah kelahirannya merupakan potongan rambut beliau yang dikirimkan beberapa hari sebelum wafatnya.
Tragedi penangkapan Eyang Hasan Maolani sebetulnya tidak jauh berbeda dengan strategi pengasingan Pangeran Diponegoro oleh pemerintah kolonial yang mencoba ‘memutus’ pengaruh tokoh terhadap pengikutnya.
Barangkali ini pula prototipe sikap dan gerakan anti penjajah di tanah air yang kerap dilupakan. []