Empati, Meneladani Ajaran Nabi

 Empati, Meneladani Ajaran Nabi

Titik Temu dan Titik Pisah Antara Asy’ariyah dan Wahabi-Taymiy (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dalam keterikatan aturan-aturan sosial. Segala perbuatannya tidak terlepas dari gerak situasi sosial kemasyarakatan. Tak heran bila empati begitu berperan di sini.

Umumnya empati diterapkan saat seseorang melihat orang lain tertimpa musibah, maka akan merasa iba, berempati dan kemudian berusaha membantu. Empati merupakan pantulan jiwa seorang manusia yang dermawan dan pemurah.

Bagi seorang muslim, memiliki sikap empati menjadi keharusan karena merupakan salah satu pokok dan alasan kenapa Nabi begitu gigih berjuang melakukan dakwah. Islam mengajarkan manusia untuk berempati dan tolong-menolong.

Sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa setiap orang mukmin itu saudara dengan mukmin lain. Bahkan diibaratkan seperti satu bangunan yang tiap individu adalah bagian-bagian yang saling menguatkan.

Tolong-menolong, peduli dan berempati menjadi dasar yang harus dijalani oleh orang beriman. Tidak boleh diantara mukmin saling bertikai dan saling menjatuhkan.

Rasulullah bersabda, ”Seorang Muslim bersaudara dengan sesama Muslim lainnya, tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dibiarkan dianiaya oleh orang lain. Dan barang siapa yang menyampaikan hajat saudaranya, niscaya Allah akan menyampaikan hajatnya. Dan barang siapa membebaskan kesukaran seorang Muslim di dunia, niscaya Allah akan membebaskan kesukarannya di hari kiamat. Dan barang siapa yang menutupi kejelekan seorang Muslim, niscaya Allah akan menutup kejelekannya pada hari kiamat.” (HR Bukhari Muslim).

Teladan Nabi Muhammad yang Pengasih

Sangat jelas dalam hadis ini bagaimana anjuran Rasulullah dalam menjalankan pergaulan sosial sesama muslim. Empati menjadi bagian pokok yang tidak terpisahkan sebagai seorang manusia bersama dengan sisi kemanusiaannya.

Tidak berhenti distu Rasulullah bahkan memberi contoh bagaimana sikap empati itu diterapkan. Sebagaimana termaktub dalam firman Allah Surat At-Taubah Ayat 128 berikut:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

Pakar tafsir Indonesia, Muhammad Quraish Shihab menjabarkan bahwa Nabi Muhammad dalam sisi kemanusiaannya merasa sedih melihat penderitaan manusia. Rasa empatinya begitu besar sehingga berusaha keras untuk memberi petunjuk berupa keimanan.

Nabi begitu mengasihi dan menyayangi orang-orang mukmin. Terhadap umat beliau begitu peka perasaannya sehingga jika ada diantara sahabat yang mebutuhkan sesuatu dan Nabi memiliki langsung diberikan begitu saja. Sampai-sampai tidak memedulikan kebutuhannya sendiri. Ini karena begitu sayang dan pekanya perasaan Nabi sehingga rasa empatinya besar.

Agar dapat menerapakn kita harus memenuhi empat aspek, Pertama, peka terhadap perasaan orang lain. Kedua, membayangkan seandainya aku adalah dia, Ketiga, berlatih mengorbankan milik sendiri, Keempat, membahagiakan orang lain.

Empati harus senantiasa dilatih dan dibiasakan karena menyangkut persoalan hati. Jika hatinya hidup seseorang akan mudah tersentuh, berbeda jika hatinya gelap tentu akan acuh terhadap kesulitan orang lain.

Sebagai seorang muslim mari terus belajar menghidupkan hati dan memelihara empati dengan sling tolong menolong. Wallahua’lam

Dawamun Niam Alfatawi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *