Dugaan Kasus Intoleransi Sekolah, Mengapa Selalu Terjadi?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Beberapa waktu lalu, viral sebuah postingan di Twitter yang memberikan informasi adanya dugaan kasus intoleransi yang terjadi di SMAN 2 Depok.
Unggahan tersebut disertai foto dan video yang memperlihatkan sejumlah siswa duduk dan berdiri di tangga dan lorong sekolah dalam kegiatan Rohani Kristen.
Postingan yang ramai itu kemudian mendapat respon dari kepala sekolah dan mengaku bahwa, kejadian tersebut tidaklah benar.
“Tidak ada praktik diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu di SMAN 2 Depok. Seluruh aktivitas kegiatan keagamaan di SMAN 2 Depok sudah terfasilitasi dengan baik oleh sekolah,” kata Wawan.
Tidak hanya itu, narasi yang ramai terjadi kasus intoleransi di sekolah ini beredar bahwa ada pembubaran kegiatan yang dilaksanakan oleh Rohkris.
Narasi ini juga dibantah oleh kepala sekolah karena bukanlah pembubaran yang diumumkan oleh staff sekolah.
Akan tetapi, karena semua kegiatan ekstrakulikuler dihentikan sementara akibat adanya penilaian tengah semester (PTS).
Kasus intoleransi di sekolah sangat sensitif dan menjadi diskusi ciamik untuk dibahas.
Hal ini karena sekolah yang seharusnya menjadi pusat dimulainya perbedaan dan keragaman, sehingga tercipta saling menghargai satu sama lain, berubah menjadi institusi yang sangat tidak terbuka.
Kita pasti bisa menilai bagaimana kasus di SMK 2 Padang yang menyita perhatian publik ketika Jeni Cahyani, salah satu murid non-muslim menolak untuk menggunakan jilbab.
Dalam sebuah video yang beredar, terlihat bahwa pihak sekolah bersikeras kepada Jeni untuk mengenakan jilbab lantaran sudah peraturan sekolah.
Beberapa kasus lain yang juga turut menyita perhatian kita adalah ketika seorang guru di DKI Jakarta mengirim pesan Grup WhatsApp agar memiliki ketua Osis yang seakidah.
Praktik semacam ini mengajarkan siswa untuk menolak ajaran agama lain sehingga menimbulkan stigma negatif antar anggota kelompok agama.
Guru sebagai orang yang dihormati oleh siswa, menjadi orang tua di sekolah, memiliki peran besar untuk menanamkan praktik toleransi di sekolah kepada siswa.
Jika ditelisik lebih jauh, ada beberapa catatan pengalaman bangsa Indonesia mengenai masalah toleransi antar umat beragama.
Konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh tidak adanya penghayatan kepada agama sendiri serta tidak menghormati kehadiran agama lain.
Praktik intoleransi ini bisa terjadi dalam skala masyarakat seperti di Aceh, Sambas, Ambon, Papuan, dan konflik Poso yang cukup memberikan pengalaman buruk kepada masyarakat Indonesia.
Pendidikan Multikultural, Mampukah Sekolah?
Di sekolah, penanaman pendidikan multikultural ini sangat penting dalam keragaman agama.
Pendidikan ini sangat penting berdasarkan ide bahwa perlu memandag karakteristik budaya yang sama di sekolah.
Selain itu pendidikan multikultural berkaitan dengan gerakan pembaharuan dalam bidang studi yang direncanakan.
Pendidikan multikultural juga merupakan proses tujuannya tidak akan banyak terealisasikan, karena pendidikan multukultural adalah proses menjadi.
Berkaitan dengan hal itu maka sikap toleransi dalam keragaman budaya beragama, perlu berpijak kepada pendidikan multikultural.
Karena dalam pendidikan multikultural terdapat nilai-nilai yang akan menghasilkan persatuan dan kesatuan.
Sekolah harus menjadikan pendidikan multikultural sebagai bagian dari esensi penting pendidikan.
Hal ini karena berkenaan dengan urgensitas kondisi sekolah yang terdiri dari berbagai ragam suku, budaya, khususnya agama.
Kesadaran bahwa Indonesia tidak hanya milik agama Islam semata, menjadi penting untuk disadari oleh masing-masing elemen di sekolah agar siap melihat keberagaman di tempat yang lebih luas, yakni Indonesia. Indonesia ada karena perbedaan, bukan karena satu golongan. Wallahu a’lam. []