Dr Zainuddin Syarif: Hati-Hati dengan Wajah Baru Komunikasi Politik Santri
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menggelar ajang internasional yang bertajuk “Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2019” di Jakarta, Selasa hingga Jum’at (1-4/10/2019). Acara itu mengundang direktur Pascasarjana IAIN dari Pamekasan, Madura, Dr Zainuddin Syarif sebagai pembicara.
Pada kesempatan itu, ia menjelaskan secara gamblang bahwa kehadiran media sosial (medsos) sebagai dampak dari gelombang revolusi industri 4.0 menjadikan komunikasi sekaligus sebagai wajah baru dalam komunikasi politik yang dibangun masyarakat, termasuk juga di kalangan kaum santri, dan dalam transmisi keilmuan atau tranformasi sosial budaya lebih dominan menggunakan jasa teknologi.
“Teknologi komunikasi digital, seperti yang dikatakan Jefrry Ghannan, sudah memperluas alat yang tersedia untuk menjalankan kebebasan berekspresi individu. Kemudahan layanan akses informasi tersebut sebanding lurus dengan tingkat keingintahuan (croucity) masyarakat saat ini sehingga mendapatkan informasi secara mudah. Lebih-lebih dalam persoalan hiruk pikuk dan mobilisasi politik,” papar Dr Zainuddin Syarif, di Jakarta, Jumat (04/10/2019) malam.
Dukungan dan komunikasi politik yang dibangun masyarakat, termasuk juga kelompok santri dalam kontestasi politik Pilkada Kabupaten, Provinsi hingga Pilpres. Dilakukan melalui berbagai jenis jejaring medsos, seperti facebook, whatsapp, istagram dan beberapa akun lainnya. Di samping itu, jejaring akun tersebut sudah terbentuk dalam komunitas atau group seperti sejawat, kelompok kerja, kelompok ustadz (guru), angkatan alumni pada sekolah, pondok pesantren maupun perguruan tinggi, dan kelompok group kesamaan dukungan dan pilihan politik.
“Tentu saja yang namanya komunikasi politik dalam medsos tidak dapat dihindari adanya pro dan kontra yang melahirkan konflik sebagai sebuah tindakan permusuhan, perang, persaingan, ketegangan, perbedaan, perselisihan, ketidaksetujuan, ketidakkonsistenan, kontroversi, kekerasan, perlawanan, revolusi, dan percekcokan baik secara individual maupun kolektif. Pada akhirnya terjadi truth claim (pembenaran), ujaran kebencian, yang pada kakhirnya saling menjatuhkan antara kelompok tertentu dengan kelompok lainnya,” ungkapnya.
Adanya konflik dalam medsos kelompok santri serta kontestasi politik merupakan fenomena baru. Karena hal itu akan meruntuhkan tradisi mapan pondok pesantren yang selama ini dikenal dengan tradisi kesantunan dan kepatuhan sebagai cerminan dari akhlaq al-karimah.
“Kajian ini pada dasarnya tidak hanya melihat pada persoalan kepatuhan politik santri terhadap dukungan pilihan politik Kiai dalam internal dan komunitas pesantren, tetapi lebih kepada persoalan fenomena penggunaan media sosial santri dalam wacana kontestasi politik baik berupa ungkapan dukungan, persaingan, dan ujaran kebencian yang ditujukan kepada kelompak kawan mupun lawan politiknya,” paparnya.
Sumber data penelitian tersebut berupa keterlibatan santri dalam wacana mobilisasi politik yang diposting pada daring (dalam jaringan) online melalui berbagai jejaring medsos. Analisis data dalam meneropong perang wacana medsos kelompok santri memberikan dukungan politik menggunakan analisis semiotic meliputi tiga unsur, yakni medan wacana (field discourse), pelibat wacana (tenor discourse), dan sarana wacana (mode of discourse).
“Sebagai salah satu perbandingan, kami mencoba menelaah karya Mohammad Khoirul Fata tentang ‘Membaca Polarisasi Santri dalam Kontestasi Pilpres 2019′. Penelitian ini menyebutkan bahwa mobiliasasi politik santri terpolarisasi pada dua kubu pasangan Jokowi-Ma’ruf yang didukung oleh PPP dan PKB dan pasangan Prabowo-Sandi yang diperkuat oleh PKS, PAN dan PBB,” jelasnya.
Berdasar kajian tersebut, popularisasi dukungan santri pada dua kubu yang tengah bersaing bermuara pada ideologi populis Islam kanan dan Islam nasionalis. Tetapi Fata tidak secara tegas menyatakan bahwa sebetulnya pengusung dan pendukung dua kubu tersebut ada gerakan intelektual organik, yakni NU dan beberapa pesantren berbasis salaf yang berafiliasi terhadap NU merupakan backing pasangan Jokowi-Ma’ruf.
Sementara gerakan 212, FPI, GNPF dan pesantren bercorak salafi serta minoritas santri berbasis salaf dan NU yang sudah mempunyai ideology politik tradisionalis atau fundamentalisme. Sementara tipologi pemikiran politik tradisionalis mempunyai pandangan bahwa Islam dan agama merupakan integritas totalitas, al-addin, wa al-daulah wa al-shari’ah, bahwa Islam tidak sekedar agama, tetapi juga kekuasaan politik dan pemerintahan untuk menegakkan syariat Islam.
“Berbeda dengan pandangan Fata dalam melihat santri sebagai sumber data dalam penelitian, kami membatasi terminologi santri pada santri salaf dan santri yang terkomtaminasi gerakan Islam trans-nasional yang dalam pandangan Fata tipologi ini lebih dekat pada HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Salafi, Jihadi, dan Jama’ah Tabligh,” tegasnya.
Alasan mendasar digunakan sebagai upaya membatasi santri pada santri berbasis salaf dan santri yang terkomtaminasi gerakan Islam trans-nasional, karena sesungguhnya hak paten santri hanya dimiliki oleh kelompok NU dan kelompok salaf (Islam tradisionalis) dan kelompok Islam modernis yang diwakili Muhammadiyah.
“Kami kurang sependapat pada pemetaan santri global menurut fatah yang diwakili oleh kelompok tans-nasional tersebut, karena sesungguhnya dalam pandangan penulis kelompok ini mencaplok santri dari wilayah kekuasaan NU dan Muhammadiyah dengan melakukan propaganda pemikiran dan gerakan melalui politik,” ujarnya.
Lebih jauh lagi, ia menggambarkan kekuatan besar Islam di Indonesia bertumpu pada organisasi keagamaan NU dan Muhammadiyah, tetapi tanpa disadari ada kekuatan baru yang telah memasuki wilayah kekuatan besar tersebut yaitu kelompok politik identitas. Dalam pandangan penulis, politik identitas ini tidak hanya menguasai kekuatan NU dan Muhammadiyah, tetapi telah merambah dan menggrogoti pondok pesatren sebagai pusat yang melahirkan kader-kader Islam NU dan Muhammadiyah. Ibarat Negara NU dan Muhammadiyah adalah Negara, dan pondok pesantren sebagai camp militer.
“Dengan demikian, politik identitas telah memasuki zona benteng terakhir yang menentukan bertahan tidaknya dua kekuatan besar Islam di Indonesia. Kami melihat bahwa wajah baru politik santri yang penulis gambarkan dalam penelitian ini merupakan santri yang terkomtaminasi dan terbajak dalam politik identitas,” pungkasnya.