Doa Pake Bahasa Jawa Ngga Ndeso, Kok
HIDAYATUNA.COM – Beberapa waktu yang lalu, saya menerima pesan WhatsApp dari salah satu teman saya, ya sebut saja Nur. Dalam sebuah percakapan yang tidak terlalu lama dan juga tidak terlalu sebentar itu, Nur menceritakan sebuah kejadian yang unik, menggelikan, dan sekaligus langka. Ia mengalaminya beberapa waktu yang lalu.
Kurang lebih begini ringkasan singkat mengenai kejadian yang dialami Nur yang diceritakan kepada saya:
Beberapa waktu yang lalu, Nur sempat diberi hadiah sebagai tanda ucapan selamat atas wisudanya. Ucapan itu dari salah satu temannya, sebut saja Hidayah.
Selayaknya seseorang yang telah diberi sesuatu, tentu Nur mengucapkan terima kasih banyak ke Hidayah. Tidak lupa, serangkaian doa, yang tentunya berisikan kebaikan, pun tercurahkan untuk Hidayah.
Kurang lebih begini redaksi doa yang diucapkan Nur kepada Hidayah:
“Semoga rezekinya lancar, di dekatkan jodohnya, dan yang paling penting semoga dimudahkan segala urusannya”.
Dan di sinilah letak kejadian unik nan menggelikan itu bermula. Sebab Nur merupakan keturunan Jawa Tulen dan masih memegang erat budaya Jawa. Nur mengakhiri serangkaian doa tersebut dengan mengucapkan: lemah teles Gusti Allah sing mbales’o (segala sesuatu yang baik ataupun buruk Tuhan lah yang membalas).
Mendengar jawaban Nur, lantas Hidayah menjawab, “doa mu kok kaya orang ndeso (desa) gitu sih Nur? Bukannya kamu sudah bertahun-tahun hidup di pesantren ya? Apa di pesantren kamu tidak diajari doa-doa yang indah dengan menggunakan bahasa Arab, Nur?”
Pengaruh Latar Belakang Lingkungan
Sontak, Nur pun merasa sedih bercampur sedikit agak ngakak dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam batin Nur berkata “duh gusti, kok ora terimo banget sih di doain pake bahasa Jawa”.
Menanggapi fenomena di atas, ada hal yang perlu dipahami terlebih dahulu. Baik Nur maupun Hidayah mendapatkan konstruksi pengetahuan keagamaan, khususnya mengenai doa, melalui konstruksi panjang arus wacana keagamaan di Indonesia.
Nur, di satu sisi, sedari kecil terbiasa bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat tradisional Jawa. Baik dari segi tutur kata keseharian maupun norma-norma dalam agamanya. Tidak mengherankan kalau dalam ngobrol biasa dengan teman maupun sedang melantunkan doa-doanya seringkali menggunakan Bahasa Jawa.
Sementara itu di sisi lain, Hidayah, sebagaimana penuturan Nur, merupakan sosok yang stylis-nya agak ke-ughtea-ughtea-an gitu. Hidayah mendapatkan konstruksi pemahaman keagamaan dari beragam majelis keagamaan yang seringkali ia ikuti. Baik yang diselenggarakan secara langsung di kampusnya maupun yang diselenggarakan di media sosial.
Kehidupannya di Kota juga tidak kalah penting mendidik Hidayah dengan pola-pola yang cenderung agak menjauhi tradisionalitas.
Lalu doa mana yang paling baik?
Jika kita melihat dari makna dari doa itu sendiri, baik doa yang dilakukan dalam perspektif Nur maupun Hidayah. Keduanya sama baiknya dan pada akhirnya akan sama-sama dikabulkan. Hal ini pun secara jelas disampaikan Allah SWT dalam firman-Nya:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (Al-Baqarah [2]:186).
Makna doa itu adalah sebuah permohonan. Setiap individu memiliki caranya masing-masing dalam melakukan permohonan tersebut kepada Allah. Sebab, melalui doa, apapun bahasanya itu, adalah cara untuk menunjukkan eksistensi kita sebagai hamba yang lemah. Kita harus bergantung kepada Allah dengan sifat Maha Kuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang.
Menjadi Islam tidak melulu tentang menjadi ke-Arab-Arab-an. Paling penting subtansi akan hal-hal yang kita kerjakan dapat bermanfaat bagi orang lain dan dapat lebih mendekatkan kita kepada Allah Swt.
Jadi, doa pake Bahasa Jawa itu ngga ndeso, kok ukhti Hidayah, hehe. Justru itu sebentuk kemesraan seorang hamba kepada Tuhannya.