Doa Lintas Iman, Ciri Khas yang Dimiliki oleh GUSDURian
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Temu Nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian tahun 2022 yang dilaksanakan di Asrama Haji, Sukolilo, Surabaya pada 14-16 Oktober kemarin sudah selesai.
Ada banyak hal yang bisa kita ambil dari setiap momen yang terpotret dalam kegiatan tersebut.
Mulai dari peserta yang datang dari berbagai kalangan dengan modal pribadi dan aneka ragam transportasi hingga cerita-cerita menarik yang datang dari setiap gerakan yang dilakukan oleh komunitas di daerah masing-masing.
Kegiatan TUNAS tahun ini cukup beragam dengan banyaknya acara. Mulai dari pembukaan, kelas berbagi inspirasi, kelas isu strategis, kirab, paggung budaya, hingga penutupan.
Seluruh rangkaian acara ini dilaksanakan dengan banyak peserta yang hadir. Euforia mengikuti kegiatan ini sangat terlihat dengan hadirnya berbagai kelompok masyarakat, mulai dari kelompok agama berbeda, gender, hingga para kelompok minoritas.
Salah satu tradisi yang menarik untuk kita cermati dari setiap kegiatan GUSDURian adalah doa lintas iman.
Doa lintas iman yang menjadi ciri khas GUSDURian selalu dibawakan oleh 7 agama dan kepercayaan, di antaranya adalah Islam, Budha, Hindu, Konghucu, Protestan, Penghayat, dan Katolik.
Dalam kegiatan TUNAS kemarin, kegiatan lintas iman setidaknya dibawakan pada 3 rangkaian acara yang berbeda, di antaranyayakni pembukaan, panggung budaya dan penutupan.
Mereka semuanya adalah perwakilan dari anak muda dan tokoh yang merupakan bagian dari wajah agama yang ada di Indonesia.
Sebenarnya, kalau kita lihat sekilas, budaya doa lintas iman ini adalah hal yang biasa untuk dipahami sebagai umat beragama.
Akan tetapi, penulis sebagai bagian dari kepanitiaan TUNAS, mengaku bahwa cukup sulit untuk mencari tokoh dari berbagai agama tersebut.
Sebab keterwakilan mereka di acara Tunas terkadang tidak ingin untuk memimpin doa, ataupun memimpin puisi lintas iman.
Di satu sisi, budaya doa lintas iman ini sangat penting untuk membangun pengetahuan masyarakat muslim agar mengetahui agama-agama yang ada di Indonesia.
Penulis memahami bahwa, pentingnya doa lintas iman ini sebagai bagian dari pendidikan perdamaian yang harus ditempuh oleh setiap masyarakat Indonesia, utamanya oleh masyarakat muslim yang menjadi kelompok mayoritas sebagai bangsa Indonesia.
Pendidikan perdamaian dilakukan tidak lain sebagai bagian dari proses untuk mendapatkan pengetahuan, pengembangan sikap dan tingkah laku agar bisa hidup untuk saling menghormati, menerapkan toleransi dengan penuh samangat dan menciptakan perdamaian, serta saling membantu, dan anti kekerasan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah membangun komunikasi antar agama yang humanis-dialogis.
Komunikasi antar umat beragama ini merupakan media pembelajaran dan pendidikan dalam rangka menciptakan perdamaian (peace education), sikap egaliter, keterbukaan dan kejujuran.
Jika hal ini telah terbentuk maka secara otomatis deradikalisasi agama telah terbangun pertama damai yang “negatif”, yaitu tidak adanya perang atau konflik kekerasan.
Doa lintas iman yang menjadi budaya selama ini menjadi salah satu bagian dari rangkaian setiap kegiatan yang dijadikan kebiasaan.
Kegiatan ini juga sebagai upaya untuk memahami HAM dalam yang dimiliki oleh masing-masing orang.
Berkenaan dengan konteks ini, Hak Asasi Manusia (human rights) mengajarkan penghormatan terhadap kebebasan seseorang yang merupakan haknya yang diberikan Tuhan kepada manusia. HAM secara normatif dimengerti sebagai hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan.
Saya justru berpikir bahwa, setiap event yang kita laksanakan, pasti akan dihadirkan oleh berbagai tokoh lintas iman.
Sejauh ini, budaya yang kita lakukan adalah doa selalu dipimpin oleh umat Islam, tanpa melihat kelompok masyarakat agama yang lain.
Doa lintas iman yang dijadikan budaya dalam setiap GUSDURian kalau dipahami lebih jauh adalah upaya-upaya kecil untuk membuka mata, serta membangun kesadaran dalam diri bahwa, bangsa Indonesia tidak hanya terdiri dari umat muslim saja.
Akan tetapi, banyak sekali kelompok masyarakat lain seperti Hindu, Budha, Katolik, Protestan, Konghucu, Penghayat serta masih banyak kepercayaan lokal yang tidak diresmikan oleh pemerintah. []