Dja’far: Berantas Radikalisme dari Kekerasan Verbal (Simbolik) Ustad Youtuber

 Dja’far: Berantas Radikalisme dari Kekerasan Verbal (Simbolik) Ustad Youtuber

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Pemerintah yang berkeinginan untuk memberantas radikalisme harus dimulai dengan membatasi kekerasan verbal (simbolik) yang mengundang kesalah pahaman sekaligus memicu pertikaian, termasuk dukungan terhadap kekerasan.

Hal yang menarik akhir-akhir ini adalah persoalan cadar. Cadar, selain menjadi fesyen (gaya hidup), juga tidak selamanya berkaitan dengan perkara radikalisme. Tergantung tujuan yang memakainya.

Alamsyah M Dja’far, peneliti dari Wahid Foundation, menyatakan sebenarnya yang harus diatasi adalah ketika seseorang atau sekelompok orang pemerintah mendukung kekerasan. Tidak peduli alasan agama atau ideologi lain. Dan dibenarkan membatasi orang.

“Pemerintah juga boleh menangani penceramah yang terbukti melakukan kekerasan verbal (simbolik) atau dukungan terhadap kekerasan. Jadi, orang tidak boleh bersembunyi di balik alasan agama,” jelasnya, diterima HIDAYATUNA.COM dari keterangannya, Minggu (03/11/2019).

“Dan cara menangani radikalisme yang masih tumbuh itu harus dengan partisipasi dari para pemilik kantor, pimpinan kantor tersebut, HRD, dan juga masyarakaat umum,” tambahnya.

Selain itu, misalnya, jika di masjid ada pengajian yang isinya dukungan terhadap kekerasan verbal (simbolik), itu bisa dilaporkan kepada polisi atau pemilik gedung tersebut.

“Bukan dalam rangka melarang hak orang untuk mengikuti pengajian atau melarang pengajiannya, karena yang dibatasi dalam hal ini adalah kekerasannya, bukan pengajiannya,” tegasnya.

Bagi penjaga rumah ibadah atau pun para pegawai juga harus dilakukan bersama. Bahkan, menurutnya, harus ada gerakan peningkatan kapasitas dan sosialiasi dan pelatihan dari pemerintah untuk meningkatkan gerakan rumah ibadah dan perkantoran.

“Termasuk pihak swasta juga punya kewajiban,” ungka mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat itu.

Mengingat faktor radikalisme yang terjadi di masyarakat menengah kota perkantoran, lebih lanjut, yaitu campuran dari berbagai macam faktor bisa jadi yang membuat mereka teredakalisasi mengingat setiap orang bisa saja berbeda jalan, seperti trauma, diskriminasi, dan sebagainya.

Tidak hanya itu, ia juga menggarisbawahi bahwa yang paling sering muncul dalam sejumlah riset kemunculan intensitas tersebut sering terpapar informasi narasi kebencian terhadap kelompok lain. “Jadi, menurut saya, untuk orang menjadi radikal ada prosesnya.”

Bahwa radikalisme dan intoleransi, lanjutnya, adalah dua hal yang berbeda. Intoleransi adalah sikap yang tidak menghargai atau tidak mendukung hak dasar orang lain yang belum tentu menggunakan kekerasan. Sementara radikalisme mendukung atau bahkan sudah menggunakan kekerasan.

“Ketika keduanya disamakan sehingga keliru diagnosisnya. Orang-orang yang melakukan ujaran kebencian, belum tentu radikal,” tuturnya.

Dalam studi radikalisme, pertama proses radikalisasi di mana dia memang terpapar setuju dengan gagasan radikal, tetapi belum melakukan persiapan. Berbeda jika sudah mempersiapkan mobilisasi yang sudah persiapan radikal. Hal terakhir itu, menurutnya, bisa dilakukan tindakan hukum.

“Misalnya kalau sudah melatih diri melakukan serangan. Ada bentuk-bentuknya radikalisasi misalnya hate speech (ujaran kebencian) bisa ditangani oleh pemerintah melalui aturan larangan hate speech,” pungkasnya.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *