Diskriminasi Ganda Perempuan Difabel
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Penempatan laki-laki sebagai posisi utama dalam berbagai bidang sosial politik, pendidikan, ekonomi, keluarga, maupun hukum seringkali menjadikan ketidak adilan terhadap perempuan.
Sistem patriarki ini menimbulkan akar terjadinya dominasi (penguasaan) yang membatasi peran dan melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan.
Stigma negatif seperti lemah, kurang akal, tidak rasional dan sebagainya menimbulkan diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan atau pelecehan seksual terhadap perempuan.
Diskriminasi semakin berlapis jika perempuan menyandang disabilitas. Perempuan difabel cenderung terstigma lemah secara skill dan kemampuan.
Apalagi labeling menjadi perempuan membuatnya lebih rentan diperlakukan dengan buruk.
Perempuan dan label difabel sering dianggap sebagai bagian masyarakat yang memiliki kerentanan tinggi pada ketidakmampuan fisik dan mentalnya.
Pertama, mereka rentan karena difabel, kedua mereka rentan karena seorang perempuan.
Akibatnya berdampak pada terbatasnya akses mereka terhadap hak-hak, seperti hak pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas pelayanan kesehatan, dan hak atas tempat tinggal yang layak.
Ada 80 persen perempuan difabel yang tinggal di pedesaan Asia tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan sangat tergantung dari keluarga atau teman sekitarnya.
Kondisi ini diperkuat dengan hambatan struktural, dimana kebijakan yang telah dilahirkan oleh pemerintah belum sepenuhnya berbasis gender dan disabilitas. Serta belum diiringi implementasi kebijakan yang baik.
Lebih Rentan Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Di sisi lain, difabel perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual. Dalam Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2020 Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas sebesar 42 persen.
Dalam laporan tersebut kelompok penyandang disabilitas intelektual yang paling rentan menjadi korban, entah di ranah publik, keluarga dekat, rekan kerja ataupun ranah komunitas.
Selain itu, data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menunjukkan, sepanjang tahun 2021 telah terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas yang dialami oleh 264 anak laki-laki dan 764 anak perempuan.
Jenis kekerasan yang paling tinggi jumlah korbannya adalah kekerasan seksual, yakni 591 korban.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam riset yang diterbitkan oleh Jurnal Medis The Lancet menyebutkan bahwa penyandang disabilitas lebih rentan mengalami kekerasan seksual akibat hambatan komunikasi dan intelektual.
Minimnya pendidikan seks turut menjadi faktor penyebab difabel yang secara umum tidak mengerti apa yang terjadi pada tubuh mereka.
Sistem peradilan untuk perempuan difabel yang masih diskriminatif juga menjadikannya mengalami diskriminasi ganda.
Kondisi disabilitas yang dianggap tidak cakap hukum membuat difabel tidak dianggap sah keterangannya.
Selain itu, tidak semua kepolisian memiliki bahasa isyarat untuk membantu merumuskan kesaksiannya.
Atau membantu memfasilitasi supaya korban dapat menuturkan apa yang terjadi pada dirinya.
Hasilnya perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan seksual kerap tidak bisa menyatakan kesaksiannya dan membuat perkaranya dihentikan dan tidak diteruskan.
Sementara itu, kesulitan dalam melapor yang tidak sesuai dengan sanksi yang didapat pada pelaku, membuat banyak kasus-kasus terkubur dan menjadi rahasia pribadi karena enggan melapor.
Juga ada banyak akses yang tidak diberikan misalnya pendidikan reproduksi, pelatihan-pelatihan atau sosialisasi ilmu bela diri untuk melindungi dirinya.
Akibat dari hal tersebut, perempuan penyandang disabilitas menjadi lebih rentan terkena sasaran kekerasan seksual dikarenakan pelaku memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang dimiliki olehnya.
Resiko menjadi korban bisa empat sampai sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang tidak memiliki masalah disabilitas.
Rentan Mengalami Perceraian Atau Poligami
Dalam konsep masyarakat patriarki, perempuan yang baik dipersepsikan sebagai perempuan yang dapat menjalankan fungsi-fungsi domestik seperti melakukan pekerjaan rumah, melayani suami, memproduksi dan mengurus anak.
Sehingga seorang perempuan yang tidak dapat memenuhi persepsi tersebut lebih rentan terdiskriminasi dan diperlakukan secara tidak adil.
Mendapat pemberian yang lebih kecil, tidak diikutkan dalam berbagai kegiatan, tidak dimintai pendapat, bahkan lebih rentan mengalami perceraian atau poligami karena dianggap hanya sebagai beban suami.
Hal tersebut didukung oleh UU No.1 Tahun 1974 pasal 4(2) yang menyebutkan bahwa poligami diperbolehkan jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, serta tidak dapat melahirkan keturunan.
Sementara itu, potensi untuk menjadi difabel sangat mungkin dialami oleh setiap orang.
Seorang perempuan mungkin saja secara tidak terduga menjadi difabel karena berbagai hal, misalnya kecelakaan.
Karena kondisi difabel yang baru dialaminya tersebut, perempuan dapat dipoligami oleh suaminya.
Begitu juga dengan ketentuan pada UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur mengenai alasan perceraian.
Namun, bedanya dalam pengaturan ini bukan hanya perempuan difabel yang rentan dilanggar hak-haknya, tetapi juga laki-laki difabel.
Padahal sebuah rumah tangga dibentuk untuk memberikan kebahagiaan bagi orang-orang yang ada di dalamnya.
Keluarga bahagia dalam Islam atau disebut sebagai sakinah (tenteram) mawaddah (penuh cinta) dan rahmah (kasih sayang).
Terdapat beberapa syarat yang harus terpenuhi pada kedua pasangan antara lain, iman yang kuat, tanggung jawab, saling mengerti, bersikap dewasa, ikhlas terhadap segala sesuatu hal yang ada dalam pasangan, hati yang lapang dan saling memaafkan, serta saling menyesuaikan diri.
Perilaku-perilaku tersebut harus dimiliki setiap pasangan guna menciptakan sakinah, mawaddah, warahmah di dalamnya.
Sebagaimana tujuan fiqih yang dideklarasikan oleh para ulama fiqih klasik yakni untuk menghadirkan segala kebaikan dan menghindarkan segala keburukan.
Dalam konteks pernikahan, deklarasi kaidah ini harus terwujud dalam semua tahapan pernikahan yang mendorong semua pihak, terutama kedua mempelai, untuk memandang pasangannya secara bermartabat, saling menghormati, saling bekerja sama, menopang, dan menolong. Agar pernikahan itu sukses dan membahagiakan keduanya.
Islam Memperlakukan Manusia Secara Adil
Islam memperlakukan manusia secara adil sesuai kelebihan dan keterbatasannya. Maka dari itu, Islam melarang pembedaan dan penghinaan kepada manusia yang lemah dan mempunyai keterbatasan.
Karena dalam perspektif Islam, seseorang yang memiliki keterbatasan pasti tetap memiliki kemampuan dan kecakapan dalam melakukan suatu hal yang juga dilakukan oleh orang non disabilitas.
Untuk itu, menghina penyandang disabilitas sebagai manusia yang lemah, kurang akal, tidak mampu secara fisik maupun psikis dan lain sebagainya atau bahkan memandang rendah mereka, bukanlah bentuk ajaran islam.
Sebagaimana disebutkan dalam Alquran Q.S. al-H{ujurat ayat 11 berikut ini:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik) setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim”
Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa Islam melarang untuk meremehkan orang lain tanpa terkecuali.
Sebab bisa jadi yang diremehkan merupakan orang yang memiliki kemuliaan yang tinggi di sisi Allah dibandingkan dengan orang yang meremehkannya.
Apalagi orang tersebut seorang penyandang disabilitas yang secara lahiriyah Allah menampakkan kekurangan pada mereka. Namun terkadang kita tidak tahu bahwa Allah memberikan banyak kelebihan kepadanya.
Untuk itu, perempuan difabel juga memiliki hak yang sama sebagaimana manusia lainnya.
Memiliki kedudukan yang sama dan setara. Karena islam lebih menekankan amal saleh daripada kesempurnaan fisik, kekayaan, dan sebagainya.
Seseorang yang melakukan diskriminasi atau tidak adilan terhadap yang lain, merupakan salah satu bentuk cara pandang teologi yang keliru.
Mereka memahami kesempurnaan Allah dengan pengalamannya sendiri. Padahal kesempurnaan yang kita yakini tidak sesuai dengan definisi kesempurnaan Allah.
Untuk itu, stigma bahwa perempuan difabel sebagai manusia yang cacat, lemah, tidak memiliki kemampuan fisik maupun psikis, dipandang sebelah mata dan selalu menjadi beban keluarga, harus dihilangkan.
Sebagai manusia yang diberi kelebihan oleh Allah, seharusnya mensyukuri itu dengan menunjukkan sikap kepedulian, saling mendukung, menyemangati, dan memberdayakan.
Bukan mendiskriminasi atau memandang sebelah mata. Sebagaimana prinsip islam saling memberikan kemaslahatan untuk semua umat manusia. []