Disabilitas dan Ketersediaan Fasilitas Ibadah

 Disabilitas dan Ketersediaan Fasilitas Ibadah

Hakikat dalam kehidupan sehari-hari (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Ada banyak problem yang belum rampung ketika membicarakan tentang penyandang disabilitas. Problem itu tidak semata-mata hanya berkisar pada tataran sosial seperti bulliying dan dilabeli negatif oleh masyarakat setempat.

Pun, persoalan ekonomi yang kurang memungkinkan bagi mereka untuk bekerja dan peroleh kesejahteraan seperti masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, berkaca pada latar agama penyandang disabilitas sebagai muslim misalnya. Maka ada sekian persoalan yang perlu segera dipecahkan, terutama dalam konteks peribadatan.

Misalnya sah dan tidaknya ijab qabul dengan bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas rungu-wicara dalam prosesi pernikahan atau bagaimana hukum membuka Alquran. Misalnya menggunakan kaki bagi mereka yang tidak memiliki tangan, dan seabrek pertanyaan serupa lainnya.

Problem itu belum diakumulasikan dengan misalnya akses mereka ke masjid atau musala. Padahal jika merujuk pada Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, di situ tertera sekian aturan yang mewajibkan pemangku kebijakan publik.

Dalam UU ini dijelaskan supaya memberi pelayanan yang ramah dan memudahkan kepada penyandang disabilitas untuk beribadah. Pemangku kebijakan dalam undang-undang tersebut tidak hanya ditujukan pada mereka yang duduk di kursi pemerintahan.

Akan tetapi juga tokoh agama, pengurus atau takmir masjid dan mushala setempat. Sebab mereka yang menjadi penanggung jawab atas kenyamanan dan ketersediaan fasilitas jamaah untuk beribadah.

Fasilitas Salat Jumat

Bagaimanapun, penyandang disabilitas tetap diwajibkan untuk menunaikan segala macam ibadah seperti halnya manusia pada umumnya. Beberapa kasus misal seperti kewajiban untuk menunaikan salat Jumat secara berjemaah di masjid.

Maka ketersediaan fasilitas untuk penyandang disabilitas juga perlu diadakan agar mereka bisa menunaikan salat Jumat dengan nyaman seperti halnya jamaah-jamaah lainnya. Toh, jika berangkat pada kaidah fikih misalnya: hukum sesuatu yang menjadi perantara sama dengan hukum tujuan akhir.

Sementara itu di kaidah fikih lain: apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain itu hukumnya juga wajib.

Dalam buku berjudul Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas (2019). Buku yang diterbitkan hasil kerjasama dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI.

Sekian fasilitas yang belum atau malah jarang terpenuhi di tempat ibadah bagi penyandang disabilitas dijelaskan di sana. Di antaranya sebagai berikut;

  • Tangga masjid dibangun terlalu tinggi dan tanpa jalan khusus bagi pengguna kursi roda sehingga menyulitkan mereka untuk masuk ke area masjid atau mushala.
  • Kolam penyucen dari toilet dan tempat wudu menuju masjid bagian dalam yang desainnya tidak ramah bagi penyandang disabilitas.
  • Toilet yang terlalu sempit sehingga menyulitkan akses masuk bagi pengguna kursi roda.
  • Ketidaktersediaan pegangan di tembok atau handrail.
  • Ketidaktersediaan pelayanan yang memungkinkan mereka mengerti materi pendidikan atau nasihat agama yang diberikan dalam bentuk kajian atau khotbah di masjid, khususnya bagi penyandang disabilitas rungu.

Memudahkan Disabilitas Beribadah

Fasilitas-fasilitas peribadatan yang belum atau tidak terpenuhi itu, secara tidak langsung membuat penyandang disabilitas enggan untuk datang ke masjid atau musala. Akhirnya mereka berangsur-angsur terpinggirkan.

Berangkat dari data statistik tahun 2020, ada 22,5 juta penduduk Indonesia yang tercatat sebagai penyandang disabilitas. Kendati sekian juta itu tidak seluruhnya beragama Islam, tapi saya rasa penyediaan akses sebagai bentuk kemudahan dan pemenuhan hak beribadah mesti tetap ditunaikan.

Ya, bukankah setiap agama, terlebih Islam, melulu memberi penafsiran yang berorientasi penyayang dan pengasih pada sesama. Di sisi lain, beribadah juga menjadi hak setiap warga yang berada di Indonesia dengan dasar sila pertama di Pancasila.

Lantas, alasan apalagi yang membuat ketidakmungkinan menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas untuk kemudahan beribadah di masjid dan mushala? Saya rasa tidak ada.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *