Dirut Bank Syariah Nikahi Adik Ipar, Bagaimana Hukumnya ?

Dirut Bank Syariah Nikahi Adik Ipar, Bagaimana Hukumnya
HIDAYATUNA.COM – Netizen dihebohkan dengan beredarnya video seorang dirut salah satu bank syariah yang diduga menikahi adik iparnya sendiri. Lantas bagaimana hukum pernikahannya ?
Al-Quran sebagai salah satu pedoman sumber hukum islam telah menjelaskan tentang aturan dalam pernikahan, termasuk diantaranya mereka yang haram dinikahi.
Para ulama telah bersepakat bahwa haram menikahi dua orang wanita yang bersaudara. Hal ini terdapat dalam surah an-Nisa ayat 23 :
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ
“…dan menggabungkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara.” (QS an–Nisa’: 23)
Dalam Fatwa Lajnah Daimah pernah membahas hal ini : “Menyatukan dua wanita yang bersaudara dalam satu akad hukumnya adalah haram, hal tersebut berdasarkan Al-Quran dan Hadis, apakah itu saudara sekandung atau saudara satu ayah atau satu ibu”
Larangan menikahi adik ipar ini bertujuan agar pernikahan tersebut tidak memutus silaturrahmi dintara kedua saudara tersebut. Kecuali jika sang suami telah pisah dengan kakak-nya.
Syarat Boleh Menikahi Adik Ipar
Karenanya dapat menikahi adik ipar diperbolehkan dengan syarat laki-laki tersebut menceraikan istri pertamanya terlebih dahulu. Terkait hal ini laki-laki tersebut boleh langsung menikahi adik mantan istrinya namun juga bisa harus menunggu masa idah.
Hal ini tergantung jenis talak apa yang ia jatuhkan kepada istrinya tersebut, dalam hal ini adalah talak raj’i atau talak ba’in.
Talak Raj’i adalah talak yang masih memungkinkan untuk terjadinya rujuk (kembali). sedangkan Talak Ba’in adalah talak yang tidak mungkin untuk terjadi rujuk kembali (talak tiga).
Jika laki-laki tersebut menjatuhkan talak raj’i maka ia harus menunggu selesainya masa idah mantan istrinya tersebut baru dapat menikahi adiknya. Namun jika ia menjatuhkan talak bai’in maka ia dapat langsung menikahi adik mantan istrinya tersebut tanpa menunggu selesianya masa idah.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Al-Qurthubi :
وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا طَلَّقَ زَوْجَتَهُ طَلَاقًا يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ أُخْتَهَا أَوْ أَرْبَعًا سِوَاهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّةُ الْمُطَلَّقَةِ
“Ulama sepakat bahwa seorang lelaki yang menceraikan istrinya dengan talak raj’i, maka dia tidak boleh menikahi saudara istrinya, hingga selesai masa idah istri yang ditalak.”
Kemudian al-Qurthubi melanjutkan:
وَاخْتَلَفُوا إِذَا طَلَّقَهَا طَلَاقًا لَا يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا… وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: لَهُ أَنْ يَنْكِحَ أُخْتَهَا .. وَبِهِ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَالْحَسَنُ وَالْقَاسِمُ وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى وَالشَّافِعِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ وَأَبُو عُبَيْدٍ
“Ulama berbeda pendapat apabila suami menalak istrinya dengan talak ba’in, sebagian berpendapat, dia boleh menikahi saudaranya.Ini merupakan pendapat Said bin Musayib, Hasan al-Bashri, al-Qosim, Urwah bin Zubair, Ibnu Abi Laila, as-Syafii, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid.”