Dinamika Perkembangan Fikih Mazhab Indonesia dalam Lintasan Sejarah

 Dinamika Perkembangan Fikih Mazhab Indonesia dalam Lintasan Sejarah

Dinamika Perkembangan Fikih Mazhab Indonesia dalam Lintasan Sejarah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Fikih sebagai instrumen hukum Islam tentunya harus mengakomodir serta menjawab berbagai persoalan umat. Hadirnya sangat erat kaitannya dengan ruang dan waktu. Maka tak heran jika terdengar penyebutan fikih mazhab Indonesia.

Hukum Islam menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam, bahkan sejak awal hukum Islam telah dianggap sebagai pengetahuan par excellence.

Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur perilaku kehidupan umat Islam dalam keseluruhan hidupnya.

Baik yang bersifat individual maupun kolektif. Hukum Islam sebgaimana hukum-hukum lain, dapat dikaji dari tiga aspek yakni filsafat dan konsep dasar hukum, teks hukum (hukum yang sebenarnya) dan hukum sebagai fenomena empiris.

Tujuan utama hukum Islam (maqashid syari’ah) serta metode dan prosedur memahami teks-teks (ayat-ayat) hukum.

Persoalan seperti ini biasanya dikaji dalam ushul fiqh tentang teks hukum, kajian hukum Islam meliputi berbagai macam bentuk kepustakaan atau karya-karya hukum Islam, yaitu kutub al-fiqiyah, keputusan pengadilan Islam, fatwa-fatwa dari mufti atau ulama, perundang-undangan hukum yang ditetepkan di negara-negara muslim, yang di Indonesia disebut kompilasi hukum Islam.

Sejak Islam mulai tersebar luas di kawasan Indonesia, bahasa Melayu mempunyai peranan sebagai salah satu wahana pengantar agama Islam.

Sejak abad ke-16, bahasa Melayu mencapai kedudukan sebagai bahasa yang jamak digunakan umat Islam sebagaimana bahasa Persia dan Turki.

Bahkan bahasa Melayu merupakan salah satu unsur pemersatu Islam Nusantara yang terdiri dari berbagai etnis itu.

Banyak sekali pemikir dan cendekiawan Islam yang berkontibusi besar dalam perkembangan fikih di negeri ini.

Serta memiliki pemikiran yang khas. Sehingga tidak heran jika kemudian dikenal istilah ‘fikih mazhab Indonesia.’

Salah satu kitab fikih awal di Nusantara adalah Shirat al-Mustaqim, karya Nuruddin Ar-Raniri, wafat di India pada 21 Desember 1658.

Beliau merupakan ulama yang juga produktif dalam bidang kepenulisan. Beliau telah menulis lebih dari 29 karya.

Karya-karyanya kebanyakan membahas tentang tasawuf, kalam, hadis, sejarah dan fikih itu sendiri.

Karya utama Kiai Sholeh darat dalam bidang fikih adalah Kitab Majmu’at al-Syari’ah al-Kaifiyah li al-Awam.

Kitab ini merupakan kumpulan hukum Islam. Di mana pada bagian awal menerangkan tentang dasar-dasar agama Islam.

Sesuai judulnya, buku ini memang sengaja ditulis khusus untuk dikonsumsi kalangan masyarakat awam.

Karena menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.

Beberapa referensi yang dirujuk oleh Ar-Raniri dalam menyusun Shirat al-Mustaqim adalah Minhaj al-Tholibin karya al-Nawawi, Fath al-Wahhabi Syarh Minhaj ath-Thullab karya Zaariyya al-Anshori merupakan contoh kitab-kitab fikih standar yang mejadi rujukan Ar-Raniri.

Ulama lain yang juga prduktif menulis kitab fikih adalah Abdur Rouf As-Sinkili (1024-1105 H/ 1615-1693 M).

Beliau telah melahirkan sekitar 22 karya meliputi berbagai cabang keilmuan Islam, seperti fikih, tasawuf, tafsir, doktrin-doktrin Ibn al-Arobi dan kewajiban guru dan murid.

Fokus utamanya adalah mengenai rekonsiliasi antara ilmu dzahir dan ilmu bathin.

Karenanya, ajarannya termasuk ajaran neo-sufisme. Kitab fikih yang utama miliknya adalah Mir’ad al-Thullab fi Tasyri’ al-Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab.

Jika Shirot al-Mustaqim-nya Ar-Raniri hanya membahas seputar peribadahan, karya As-Sinkili ini menjelaskan lebih banyak aspek-aspek fikih baik politik, sosial, eonomi dan keagamaan umat Islam.

Bahkan dia adalah ulama pertama di wilayah Melayu di Indonsia yang menulis tentang topik fikih muamalah.

Dengan topik yang begitu luas, kitab ini merupakan satu karya penting yang membuktikan kepada umat muslim Melayu Indonesia bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada hukum Islam saja.

Mi’rad ath-Thullab tersebut merujuk terutama pada Fath al-Wahhab karya Zakaria al-Anshori.

Salah satu tokoh penting dalam perkembangan fikih di Indonesia abad XX adalah Ahmad Hassan (1887-1958 M) yang merupakan seorang fikih terkemuka pada pertengahan abad ke-20 ini.

Ahmad Hassan menulis puluhan atau bahkan ratusan artikel yang berkaitan dengan hukum Islam, Dia tak hanya menulis materi yang bersifat edukatif tetapi juga turut menganalisis dan merespons persoalan-persoalan hukum yang berkembang di masyarakat.

Topik-topik yang ia tulis tidak hanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam (fikih), tapi juga aspek-aspek Islam yang lain, seperti bahasa, teologi, politik, sejarah, moral, puisi, tafsir, sunah Nabi dan sebagainya.

Karya utamanya di bidang fikih ialah terdapat dalam soal-jawab tentang berbagai persoalan keagamaan.

Karyanya tentang pengajaran sholat sebanyak jilid I-III, merupakan buku pertama yang menjawab persoalan masyarakat yang diajukan di majalah-majalah, seperti Pembela Islam al-Lisan.

Atho Mudzar menemukan pengaruh kuat Hasbi as-Shiddiqi dalam perkembangan fikih di Indonesia.

Ini karena pengaruh karya-karya Hasbi yang gagasanya tentang fikih mazhab Indonesia.

Perlu diperhatikan bahwa Hasbi merupakan orang pertama di Indonesia sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, yang mengimbau perlunya membina fikih berkepribadian Indonesia.

Menurut pendapat Hasbi, bahwa fikih bersifat lokal dan bisa mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan ruang dan waktu.

Demikian watak fikih yang dinamis dan fleksibel. Baginya fikih yang benar adalah yang dapat menampung segala perubahan dan tasyri’ Islam perlu diatur sehingga dapat mengikuti perkembangan zaman.

Ulama lainnya yang turut berkontribusi dalam perkembangan fikih di Nusantara adalah Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) dan Dawud al-Fatani (w. 1259 H/ 1843).

Arsyad al-Banjari telah memainkan peran penting yang menentukan dalam menciptakan administrasi hukum Islam di Kesultanan Banjar.

Arsyad al-Banjari menata kembali pengadilan agama dan mungkin juga sebagian pengadilan umum.

Melalui karya-karyanya, Al-Banjari juga menyebarkan doktrin-doktrin hukum Islam.

Karya utamanya yang beredar luas di Nusantara dalam bidang fikih adalah Sabil al-Mukhtadin li al-Tafaqoh fil Amr Ad-din.

Kitab ini merupakan salah satu kitab induk di dunia Indonesia. Pendahulunya Siroth al-Mustaqqim oleh Ar-Ranniri dan Mir’at Al-Thullab-nya oleh As-Singkili.

Pada pendahuluannya, Arsyad Al-Banjari menyebutkan bahwa kitab Sabil al-Mukhtadin mulai ditulis pada 1193 H/1779 atas permintaan Sultan Tahmidullah, Sultan Banjar pada waktu itu.

Terbagi dalam dua jilid, Sabil al-Mukhtadin masing-masing terdapat sebesar lima ratusan halaman. Menurut Azyumardi Azra merupakan penjelasan atau sampai batas-batas tertentu dan sebuah revisi atas karya Ar-Raniri, Siroth al-Mustaqqim.

Karena karya Ar-Raniri tersebut dipandang kurang dapat dipahami oleh masyarakat Islam di wilayah-wilayah lain di Nusantara karena banyak menggunakan istilah bahasa Aceh.

‘Abdurrahman al-Saggaf, seorang ulama keturunan Arab yang tinggal di Surabaya, menulis empat jilid kecil yang berjudul al-Durus al-Fiqiyah.

Sementara itu Mahmud Yunus menulis al-Fiqh al-Wadhih juga dalam beberapa jilid.

Kedua kitab tersebut ditulis menggunakan bahasa Arab. Walaupun demikian dalam gaya dan susunan kedua kitab ini berbeda dengan kitab tradisional.

Hal ini juga mencerminkan perbedaan dalam soal pandangan pendidikan.

Dalam memberikan respons atau perkembangan mutakhir dalam kehidupan modern, para ahli fikih mengembangakan cabang-cabang baru fikih seperti al-fiqh al-dustury, al-fiqh al-dawli, al-fiqh al-mali, al-fiqih al-idari, al-fiqih al-jinay, al-fiqih al-akhwal al-syakhsiyah yang menata ketentuan-ketentuan hukum fiqhiyah dalam topik-topik konstitusi, kenegaraan, keuangan, adinistrasi negara,pidana dan perdata.

Bahkan Ali Yafie dan Sahal Mahfudz menggagas fikih sosial, dengan demikian diharapkan materi hukum Islam berkembang ke dalam yurisprudensi.

Hukum kebiasaan dan dalam pendapat umum, sehingga mempunyai akar yang kuat, baik dalam sumber formil maupun sumber-sumber materil dan hukum itu sendiri.

Lebih dari itu, ada sekelompok pemikir Islam yang memunculkan fikih lintas agama, menurut mereka, fikih yang ada sekarang ini cenderung menolak dan mendiskreditkan kelompok-kelompok non-muslim.

Hal ini bagi mereka bersebrangan dengan prinsip Islam sebagai kebaikan untuk semua (rahmatan lil alami).

Karenanya diperlukan fikih yang terbuka dan toleran terhadap saudara kita yang beragama selain Islam.

Untuk melihat peradaban yang humanis diperlukan kerja sama dari berbagai kelompok yang berbeda, temasuk sahabat lintas agama dan kepercayaan.

Demikian ulasan mengenai dinamika perkembangan sejarah fikih mazhab Indonesia. []

Ratna Sari

Ratna Sari biasa dipanggil Nana. Seorang santri di Ponpes Al-Muayyad, Surakarta, sangat menyukai bacaan kitab klasik dan khazanah turats. Mengamini hidup minimalis, saat ini sedang off semua sosial media dan fokus mengasah kemampuan menulis.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *