Dilema Rumah Warisan, Sebuah Tinjauan Fikih

Hukum Waris Jahiliyah
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Orang tua wafat meninggalkan rumah buat ahli waris, secara teori fiqih mawaris mudah sekali pembagiannya.
Pokoknya 1/8 dari rumah itu untuk istri, lalu sisanya yang 7/8 milik anak-anak. Selesai.
Tapi prakteknya di kehidupan nyata tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak tetek bengek dan printilan yang kudu dikaji mendalam.
Yang sering jadi persoalan adalah terkait status rumah. Apakah dipastikan 100 % milik ayah atau suami?
Kalau iya, berarti aman. Tapi sering-seringnya muncul tuntutan dari istri almarhum, dimana dirinya merasa ikut jadi pemilik rumah itu.
Dan alasannya bisa logis atau tidak logis. Alasan yang logis misalnya memang rumah itu mereka beli secara cicilan dan saling berpatungan berdua.
Wajar bila istri merasa ikut punya hak atas sebagian dari aset rumah itu.
Tapi kadang ada yang kurang logis. Misalnya rumah itu 100% dibeli pakai uang suami. Lalu tiba-tiba istri otomatis merasa jadi pemilik juga.
Secara hukum fiqih tidak bisa dibenarkan, karena prinsipnya istri tidak otomatis jadi pemilik harta suami.
Yang jadi hak istri sudah jelas, yaitu mahar, nafkah atau hadiah dan hibah.
Tapi bahwa suami punya harta lalu dia beli rumah, tidak secara otomatis istri ikut jadi pemilik rumah itu juga.
Di sini lucunya, ternyata secara hukum positif di negeri kita, justru hal itu dibenarkan. Khususnya bila kepemilikan rumah itu dilakukan setelah pernikahan.
Maka muncul lah istilah harta gono-gini. Semua harta suami bisa dianggap harta istri juga.
Alasannya istri selalu mendampingi suami, maka istri harus kebagian harta suami. Khususnya bila suami wafat.
Seringnya dibagi dua terlebih dahulu, istilahnya fifty-fifty. Inilah hukum positif di negeri kita.
Bagaimana dalam syariat Islam, Al-Quran dan Hadits?
Kita tidak menemukan ada ayat, hadits ataupun kajian kitab fiqih klasik tentang hal itu.
Pada titik inilah muncul perbedaan konsep antara fiqih waris Islam dengan hukum waris positif. Dan perbedaan itu sangat sering melahirkan perpecahan keluarga.
Rumah almarhum kemudian jadi objek sengketa keluarga. Sebab ada dua pilihan hukum, antara hukum syariat dan hukum negara.
Sekelompok keluarganya maunya begini, kelompok yang lain maunya begitu. Kadang lahir kelompok ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.
Lantas apa solusinya?
Sederhana, ajarkan seluruh anggota keluarga anda ilmu fiqih mawaris yang sejalan dengan syariat Islam.
Jangan biarkan otak mereka digerogoti oleh pemahaman sekuler anti syariah.
Jangan mati dulu sebelum anda yakin seluruh anggota keluarga sudah paham dan mengerti betul hukum waris Islam. []