Di Tengah Corona, Ekstrimis Iran Tolak Penutupan Tempat Peribadatan
HIDAYATUNA.COM – Seperti halnya Negara-negara lain di dunia dampak dari mewabahnya Corona juga dirasakan oleh Iran. Dampak tersebut terlihat sangat signifikan di Iran dan menimbulkan kekacauan pada kesehatan masyarakat, ekonomi, pendidikan dan juga transportasi.
Namun hal lain yang terjadi adalah bahwa mewabahnya corona di iran justru menguak adanya keretakan sosial dan agama yang mendidih selama beberapa decade ini menyeruak kepermukaan. Dengan jumlah masyarakat Iran yang setidaknya tercatat 18.400 lebih orang terkena virus tersebut dan menyebabkan kematian pada 1.284 orang, ternyata tidak membuat otoritas Iran dapat mengambilkebijakan secara cepat terhadap bahaya penyebaran virus tersebut.
Dilansir dari Asia Times, pada 16 MaretOtoritas Iran mengumumkan penutupan terhadap beberapa tempat-tempat suci yang digunakan masyarakat untuk berziarah dan beribadah di antaranya makam Pemimpin Syiah ke delapan Iran, Imam Reza dan juga Fatimah bint Musa demi menghentikan penyebaran Corona. Meski akhirnya di sahkan namun kebijakan tersebut diketahui memakan waktu satu bulan dalam perselisihan otoritas agama Iran.
Iran kemudian mendapat sorotan dari berbagai belahan dunia atas upaya penanggulangan Covid-19 yang dinilai lambat tersebut hingga menimbulkan meledaknya kasus penularan hingga prosentasi korban meninggal akibat virus ini di Negara tersebut. Padahal, di Negara-negara Timur Tengah lainnya para elit agama telah menganjurkan untuk beribadah di rumah. Bahkan Arab Saudi menutup tempat-tempat peribadatan yang menjadi tujuan masyarakat Islam dunia (Ka’bah) tanpa batas waktu.
Polemik tersebut tidak begitu saja berlalu di Iran, sehari setelah pengumuman kebijakan tersebut berbagai sumber mengunggah video kerusuhan di mana massa memprotes kebijakan penutupan tempat-tempat beribadah dan menerobos dengan paksa ke situs ziarah Qom dan Mashhad. Video-video tersebut menjadi viral di media sosial di mana kelompok garis keras menuntut komplek keagamaan dibuka kembali.
Salah satu video memperlihatkan bahwa seorang pria berdiri di depan komplek peribadatan meneriakan bahwa rekomendasi Kementerian Kesehatan Iran untuk menutup tempat tersebut adalah arahan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mana menurutnya, “mereka tidak percaya pada Tuhan dan metafisika.”
Azadeh Kian, professor dari Pusat Studi Jender dan Feminis dari Universitas Paris-Diderot mengatakan bahwa protes kaum ekstrimis atau garis keras Iran tersebut sebenarnya tidak mewakili suara dari masyarakat Iran lainnya. Mereka adalah kelompok yang menentang pemerintahan Presiden Hassan Rouhani. Kelompok tersebut juga menggunakan kekerasan sebagai cara penegasan sikap politik mereka.
“Jumlah mereka cukup rendah, kadang-kadang hanya dalam jumlah ratusan, tetapi mereka terorganisir dengan baik. Mereka tidak mematuhi aturan pemerintah karena mereka menganggap Presiden Rouhani dan pemerintahannya pro-barat dan liberal, dan perintahnya tidak seharusnya dihormati,” Jelas Azadeh Kian. (AS/Hidayatuna.com)