Di Balik Bencana Radikalisme di Indonesia

 Di Balik Bencana Radikalisme di Indonesia

Mengenal Garis Nasab Joko Tingkir Hingga ke Gus Dur (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Indonesia merupakan negara unik, di dalamnya banyak aneka ragam perbedaan tumbuh sumbur. Tidak heran bila bermacam aliran dan paham masuk melalui kran pendidikan, ekonomi, politik dan kebudayaan.

Kita perlu bersyukur, lahir dari bumi keberagaman yang sudah dibungkus rapi dalam Pancasila. Untuk itu, dalam tulisan ini saya akan memulai dari suatu keresahan yang ada di desa. Begini ceritanya.

Pagi itu, seorang laki-laki yang umurnya kira-kira sudah kepala enam, duduk di dekat pintu masuk. Dengan penuh khusuk ia me-nitene (Jw. menyimak atau mengamati) bacaan Alquran santrinya yang mengerumuninya.

Laki-laki itu, Kiai Kaddam, seorang kiai kampung yang sering dipanggil Ji Kaddam. Caranya mendidik anak-anak di desa cukup telaten.

Setelah membimbing belajar Alquran, biasanya dilanjut dengan bacaan-bacaan dalam salat secara bersama-sama. Di langgar itu, selain belajar ngaji, tata cara melaksanakan salat, santrinya juga diajak untuk memahami adanya suatu perbedaan dan menghormati siapa pun yang dianggap lebih tua.

Menanamkan Pendidikan Karakter Sejak Dini

“Setinggi apa pun ilmu kalian, jika tidak mempunyai akhlak dan tata krama kepada orang lain, lebih-lebih kedua orang tua dan gurunya. Kalian tidak akan menemukan ketenangan dalam hidup.”

Itulah kalimat yang sering didengar dari Ji Kaddam. Sebuah nasihat yang terus diingat dan dijadikan sebagai azimat dalam perjalanan hidup, lebih-lebih ketika kelak berada di tengah-tengah masyarakat.

Dari kisah di atas, kita perlu menarik benang merah, bahwa pendidikan di usia dini cukup berpengaruh pada pola pikir dan karakter seorang anak.

Untuk memutus aliran radikalisme, kekerasan, intoleransi dan mungkin berita hoax, sudah sepatutnya untuk dimulai sejak awal dalama artian dari pendidikan di keluarga, tempat ngaji, taman kanak-kanak dan lingkungan sekitar.

Radikalisme sebagai Jalan Pintas untuk Jihad?

Kemunculan suatu gerakan radikalisme di negara Indonesia tidak luput dari gejolak yang ada di dalam tubuh masyarakat sendiri. Yakni terjadinya suatu penyimpangan atas norma-norma agama.

Selain itu juga ada tekanan dari luar, baik melalui penguasa ataupun adanya pengaruh dari Barat. Lihat saja misalnya dalam tulisan Ahmad Asrori, Radikalisme di Indonesia antara Historisitas dan Antropisitas (2015).

Bahwa kasus gerakan Salaman Hafidz dan Imron yang dikenal sebagai komando jihad yang telah membangkitkan radikalisme di Indonesia. Kejadian tersebut menandakan adanya suatu pengaruh dari luar dan tidak ada pemahaman yang dinamis terhadap nilai-nilai ajaran agama.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Sebab kelompok radikal biasanya mendapat suntikan dan alat penyentak untuk berjihad, jalan seperti ini dianggap sebagai suatu pekerjaan mulia dan paling benar.

Ketika ada pihak-pihak tertentu yang cara pandangnya berbeda akan dianggap sebagai musuh. Harus dilawan dan kalau perlu dihabisi tanpa sisa.

Pekerjaan semacam ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Nilai-nilai yang justru mengkampanyekan cinta kasih dan sayang, bukan dengan pedang kekerasan.

Radikalisme Menyentuh Pedesaan

Abu Rokmad dalam jurnal yang ditulis dengan judul Pandangan Kiai tentang Deradikalisasi Paham Islam Radikal di Kota Semarang cukup mengagetkan kita. Dia menegaskan bahwa radikalisme tidak hanya berada di kota, tetapi justru masuk ke pedalaman, desa pinggiran.

Fenomena ini merupakan masalah yang penting karena isu tentang radikalisme dan teroris menjadikan agama Islam sebagai agama yang hanya mengajarkan kekarasan. Tidak toleransi dan penuh dengan sikap yang skeptis.

Meskipun asumsi itu dengan gampang dibantah, tetapi stereotip mengenai kekerasan dalam Islam masih tetap melekat dalam masyarakat. Jadi, ketika kita ingat kembali pada apa yang diajarkan oleh Ji Kaddam pada santrinya.

Bahwa kedalaman pengetahuan, penghayatan pada ajaran agama dan juga kemapanan ritual tidak akan memberikan suatu nilai lebih.

Pendidikan dari Keluarga dalam Semangat Deradikalisasi

Jika tidak ada sifat menghargai orang lain, menaburkan benih-benih sopan santun dan juga memberi penghargaan yang setinggi-tingginya pada keniscayaan suatu perbedaan.

Bukannya pelangi indah karena warnanya yang berbeda-beda, tidak seragam, apalagi memaksakan untuk satu warna? Dari sinilah, saya kira untuk memahami sebuah esensi dari makna ajaran agama sebagai upaya memberikan alternatif di tengah riuhnya isu radikalisme di Indonesia.

Pemahaman itu harus dimulai oleh keluarga dari ranah konseptual, dicoba untuk membumi dalam artian ditranformasikan dalam kehidupan nyata. Seperti yang sudah saya singgung di atas, tentu dalam semangat deradikalisasi sejak dini di pendidikan kita.

Entah, bagaimana kabar desa hari ini? Masih bertahankah dengan tradisi dan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai kesopanan atau malah berada di garda terdepan gerakan radikalisasi di Indonesia. Wallahu a’lam.

Muhammad Syaiful Bahri

Belajar menulis esai dan resensi di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY)

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *