Deradikalisme : Belajar dari Mantan Teroris
Artikel berikut merupakan kiriman dari peserta Lomba Menulis Artikel Hidayatuna.com yang lolos ke tahap penjurian, sebelum penetapan pemenang. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
HIDAYATUNA.COM – Hal yang kita ketahui bersama bahwa kehidupan di dunia merupakan kehidupan sementara. Hanya diibaratkan mampir minum seteguk air lalu melanjutkan perjalanan menuju kehidupan akhirat.
Dunia hanya kelas persiapan untuk menjalani kehidupan yang abadi. Berbondong melakukan kebaikan di dunia agar mendapatkan kebaikan di akhirat, yakni surga.
Umat muslim berlomba-lomba melakukan kebaikan, memburu pahala sebanyak-banyaknya dengan melakukan amalan yang sudah disebutkan Alquran dan Hadis. Terutama amalan yang memiliki benefit terbaik dan merupakan puncak kenikmatan balasan Tuhan, yakni surga.
Salah satunya adalah Jihad. Namun kebaikan ini sering disalahpahami dan berujung adanya aksi terorisme. Terpidana seumur hidup kasus bom Bali, Ali Imron mengatakan bahwa dasar paham radikalisme adalah adanya pemahaman tentang jihad fi sabilillah yang salah.
Jihad yang dipahami adalah perang. Padahal jihad yang sebenarnya adalah menjaga nyawa seseorang agar tidak dimatikan oleh suatu kekuasaan atau kezaliman.
Ia juga mengatakan bahwa para radikalis ataupun teroris secara dhohir sulit untuk diidentifikasi karena tampilannya bisa diganti kapanpun mereka mau.
Salah satu ciri yang signifikan adalah ketidaksukaaan mereka yang tidak memberlakukan syariat islam secara menyeluruh. Paham universal inilah yang dapat mengidentifikasi mana orang yang berpotensi terkena radikalisme ataupun terorisme.
***
Layaknya virus, paham radikalisme dan aksi terorisme merambah ke segala lini masyarakat. Sofyan Saori, mantan teroris yang notabene polisi mengatakan, “12 tahun saya di kepolisian.
Itu artinya pesan penting bagi kita semua bahwa ancaman terorisme tidak hanya menyerang orang sipil saja. Orang yang terbina NKRI juga bisa terkena. Ini berbicara fakta, bukan konspirasi saja.”
Mereka – radikalis dan teroris – selalu melakukan doktrin melalui berbagai media. Cuci otak yang mereka lakukan sangat massif. Buku bacaan yang ia edarkan berisi kaidah-kaidah jihad saat Afghanistan bergejolak yang dapat mendoktrin bagi pembacanya. Sedangkan media massa di zaman sekarang sangat mudah dan cepat diakses.
Badawi Rahman, salah satu mantan narapidana terorisme menyebutkan beberapa kaidah sederhana yang sangat mendoktrin antara lain : jihad adalah bagian dari akidah kita (); perang di zaman sekarang adalah fardu ain () ; dan barangsiapa yang tidak menganggap orang tersebut kafir, makai ia kafir. Kaidah ketiga ini merespon penggalan ayat Al-Qur’an yang berbunyi :
… وَمَن لَّمۡ یَحۡكُم بِمَاۤ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡكَـٰفِرُونَ۞
“… Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” Q.S Al-Maidah : 44
Dengan adanya doktrin ini, orang akan terdorong untuk mudah menyalahkan bahkan mengafirkan orang lain. Jika Indonesia dengan segala keberagamannya menjunjung tinggi toleransi tidak memberlakukan syariat islam secara menyeluruh, maka Indonesia ini kafir. Para pelaksana dan penegak hukum di Indonesia jelas salah total.
Doktrin-doktrin inilah yang harus diwaspadai dan dicegah agar tidak masuk dalam otak kita dan orang sekitar kita. Peran deradikalisasi ini dipegang oleh semua lini masyarakat Indonesia, khususnya kaum muslim. Beberapa tips mencegah masuknya paham ini antara lain :
Semangat toleransi
Badawi Rahman menjelaskan bahwa pemicu radikalisme adalah intoleransi. Saling menghormati orang lain yang berbeda agama, keyakinan, maupun pendapat bisa menangkal paham radikalisme.
Belajar dengan Guru yang Jelas Sanadnya
Guru merupakan sopir yang mengarahkan kemana murid tersebut akan melangkah. Menelurusi sanad guru termasuk hal yang penting di zaman sekarang. Adanya media sosial yang bebas akses bisa menjadikan semua orang bisa menjadi guru.
Klarifikasi Bacaan
Di era milenial, semua orang bebas menyebarkan gagasannya, termasuk paham radikalisme yang juga bisa diakses dengan mudah. Harus ada upaya melacak darimana asal bacaan yang akan dikonsumsi.
Kita juga bisa menanyakan kepada guru maupun teman. Semakin banyak ditanyakan semakin banyak pula data yang kita dapat tentang tulisan dan penulisnya.
Belajar dengan Runtut dan Tuntas
Pemahaman yang salah dan suka menyalahkan adalah dampak dari dangkalnya pemahaman terhadap agama. Ketidakruntutan dan tidak tuntasnya belajar agama bisa mengacaukan pemahaman. Kita harus tetap sabar dan sungguh-sungguh untuk mempelajari agama secara runtut, tuntas dan menyeluruh.