Demokrasi Indonesia Menjadi Hard Landing Ketika Radikalisme Tak Terkendali

 Demokrasi Indonesia Menjadi Hard Landing Ketika Radikalisme Tak Terkendali

Demokrasi Indonesia Diklaim Menjadi Hard Landing Ketika Radikalisme Tak Terkendali. Benarkah Seperti Demikian?

HIDAYATUNA.COM, Semarang – Kemunduran demokrasi di Indonesia bisa menjadi lebih parah atau bahkan hard landing (turun dengan keras) ketika intoleransi, radikalisme dan politisasi agama makin tidak terkendali. Apalagi masih ada kelompok masyarakat yang terus mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara dan sistem pemerintahannya mau diganti dengan system khilafah.

Hal tersebut disampaikan oleh Prof Dr H Abu Rokhmad MAg dalam pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisip) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, di auditorium kampus 3, Jalan Prof Dr Hamka, Ngalian, Semarang, kemarin.

‘’Keinginan ini merupakan ancaman, baik NKRI dan juga demokrasi,’’ tegas Prof Abu Rokhmad seperti dikutip hidatuna.com, Jumat (21/2/2020).

Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa, jika ada politikus jahat, otoriter dan antidemokrasi berhasil menjadi pemimpin publik melalui mekanisme demokrasi, itu adalah alarm penanda bahwa telah terjadi kemunduran demokrasi dan sebentar lagi demokrasi akan mati.

“Bila ada warga negara yang ingin mengganti Pancasila dengan khilafah, itu juga merupakan tanda bahwa bukan hanya demokrasinya yang akan mati tetapi NKRI juga ikut terkubur. Lalu, apa yang seharusnya dilakukan?,’’ katanya.

Dia bertanya, bagaimana caranya agar demokrasi tidak munduratau apalagi sampai mati, tetapi tetap utuh dan kalau bisa makin baik dan makin berkualitas sehingga betul-betul dapat mensejahterakan masyarakat? “Sulit menjawab pertanyaan ini karena ada banyak faktor yang mempengaruhinya,’’ jawab Abu Rokhmad.

Kekayaan negara, kelas menengah yang besar dan masyarakat madani yang hidup mempengaruhi demokrasi di suatu negara. Memang, lebih mudah mempertahankan pemerintahan yang otoriter dari pada menjaga pemerintahan yang demokratis.

Menurut Abu, untuk mempertahankan pemerintahan otoriter, cukup menggunakan militer dan birokrasi sebagai pelindungnya. Sementara untuk menjaga pemerintahan yang demokratis, banyak cara dan elemen yang harus dilibatkan. Di antara sekian banyak norma demokrasi, menurutnya ada dua norma yang menonjol sebagai norma fundamental demokrasi, yaitu saling toleransi dan sikap menahan diri secara kelembagaan (institutional forbearance).

‘’Kedua norma ini memiliki keterkaitan yang erat. Saling toleransi, merujuk pada gagasan bahwa selama pesaing kita bermain dalam koridor aturan, maka kita harus menerima bahwa mereka punya hak hidup, hak ikut berkompetisi merebut kekuasaan dan memerintah yang setara. Biarpun kita percaya bahwa gagasan-gagasan lawan kita sangat konyol atau keliru, tetapi kita tidak boleh memandang mereka sebagai ancaman keberadaan kita. Kita tidak semestinya menganggap mereka sebagai musuh (apalagi musuh bebuyutan), pengkhianat, subversif dan sebutan negatif lainnya,’’ tegas Abu. (AS/Hidatatuna.com)

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *