Demokrasi dalam Sudut Pandang Hassan Hanafi

 Demokrasi dalam Sudut Pandang Hassan Hanafi

Demokrasi dalam Sudut Pandang Hassan Hanafi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Berbicara tentang demokrasi di negeri kita yang saat ini sedang kurang baik-baik saja, pastinya memantik kita semua untuk mengkaji dan mengupas tuntas mengenai makna demokrasi yang sejati.

Di samping masih ada sebagian kecil pihak yang menganggap bahwa persoalan politik bukan merupakan urusan mereka.

Padahal, persoalan politik yang diterapkan di semua negara dapat mempengaruhi stabilitas kehidupan rakyatnya sehari-hari.

Dan harus ditekankan pula bahwa berpartisipasi dalam politik tidak harus terjun langsung mengarungi politik praktis.

Menjadi warga negara yang kritis dan peduli terhadap kondisi negaranya adalah cara lain berpartisipasi dalam politik.

Untuk itu, marilah kita mengkaji bagaimana salah satu pakar politik Islam, Hassan Hanafi memandang demokrasi.

Bagaimana pula Hanafi menghubungkan konsep ini dengan Islam, serta bagaimana pandangannya memberikan wawasan baru tentang perdebatan mengenai demokrasi dalam dunia Islam.

Hassan Hanafi, seorang filsuf muslim dan pemikir kontemporer dari Mesir, telah lama mengkritisi tentang penerapan demokrasi di beberapa negara modern.

Dengan pemikiran yang kritis dan mendalam, ia tidak hanya mengeksplorasi konsep-konsep keislaman, tetapi juga mengkaji berbagai ideologi politik, termasuk demokrasi.

Hassan Hanafi memandang demokrasi sebagai salah satu bentuk tertinggi dari ekspresi kebebasan dan kesetaraan dalam sebuah masyarakat.

Bagi Hanafi, demokrasi adalah sistem politik yang memungkinkan setiap individu dalam masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.

Dalam konteks ini, demokrasi bukan sekadar sistem pemilihan umum, tetapi juga mencakup penghormatan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap minoritas, dan jaminan terhadap kebebasan berekspresi.

Hanafi berargumen bahwa kebebasan dan kesetaraan adalah prinsip-prinsip fundamental yang juga ditemukan dalam ajaran Islam.

Ia menekankan bahwa dalam sejarah Islam, ada banyak contoh di mana prinsip-prinsip ini diterapkan dalam praktik pemerintahan.

Misalnya, ia merujuk pada masa Khulafaur Rasyidin, di mana para khalifah dipilih melalui musyawarah dan di mana kritik terhadap penguasa adalah hal yang diterima dan bahkan dianjurkan.

Hanafi melihat ini sebagai bukti bahwa konsep-konsep demokrasi tidak asing bagi tradisi Islam dan dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam.

Salah satu aspek penting dari pemikiran Hanafi tentang demokrasi adalah pemahamannya tentang konteks sosial-politik di mana demokrasi berkembang.

Hanafi menyadari bahwa demokrasi Barat lahir dalam konteks sejarah yang sangat berbeda dari dunia Islam.

Demokrasi Barat tumbuh dari pengalaman sejarah Eropa, termasuk revolusi-revolusi yang mengakhiri feodalisme dan memperjuangkan hak-hak individu.

Namun, Hanafi tidak melihat perbedaan sejarah ini sebagai hambatan untuk mengadopsi demokrasi dalam dunia Islam.

Sebaliknya, ia berpendapat bahwa setiap masyarakat memiliki hak untuk mengembangkan model demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai dan tradisi lokal mereka.

Dalam hal ini, Hanafi mengusulkan konsep “demokrasi Islam” yang menggabungkan prinsip-prinsip demokrasi dengan ajaran-ajaran Islam.

Meskipun Hanafi mendukung prinsip-prinsip demokrasi, ia juga sangat kritis terhadap praktik demokrasi di Barat.

Ia melihat bahwa demokrasi Barat sering kali hanya menjadi alat untuk melayani kepentingan elit dan tidak selalu mencerminkan aspirasi rakyat secara keseluruhan.

Ia juga mengkritik apa yang ia sebut sebagai “imperialisme demokratis,” yaitu upaya negara-negara Barat untuk memaksakan model demokrasi mereka pada negara-negara lain tanpa memperhatikan konteks sosial dan budaya lokal.

Hanafi berpendapat bahwa demokrasi yang dipaksakan dari luar cenderung tidak berkelanjutan dan bahkan dapat menimbulkan konflik.

Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya demokrasi yang “organik” atau “indigenis,” yaitu demokrasi yang tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri dan sesuai dengan tradisi serta nilai-nilai lokal.

Dalam upaya mengintegrasikan demokrasi dengan Islam, Hanafi mengusulkan konsep “demokrasi Islam.”

Bagi Hanafi, demokrasi Islam bukanlah sekadar penerapan sistem demokrasi Barat dalam konteks Islam, tetapi merupakan sintesis antara prinsip-prinsip demokrasi dengan ajaran-ajaran Islam.

Demokrasi Islam, menurut Hanafi, harus didasarkan pada prinsip-prinsip seperti syura (musyawarah), keadilan sosial, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Hanafi berargumen bahwa dalam Islam, konsep syura sudah mengandung unsur-unsur demokrasi.

Syura adalah proses konsultasi dan musyawarah yang melibatkan semua anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Ia menekankan bahwa syura tidak hanya berlaku dalam ranah politik, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Dalam konteks demokrasi Islam, syura dapat dilihat sebagai bentuk partisipasi politik yang memungkinkan setiap individu untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan.

Selain itu, Hanafi juga menekankan pentingnya keadilan sosial dalam demokrasi Islam.

Ia percaya bahwa demokrasi yang sejati harus mampu menciptakan kondisi di mana setiap individu memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan kesempatan.

Dalam hal ini, Hanafi melihat bahwa Islam memiliki konsep-konsep yang mendukung keadilan sosial, seperti zakat dan distribusi kekayaan yang adil.

Salah satu kontribusi paling penting dari pemikiran Hanafi tentang demokrasi adalah pandangannya bahwa demokrasi harus dilihat sebagai proyek emansipasi.

Bagi Hanafi, demokrasi bukan sekadar sistem politik, tetapi merupakan alat untuk membebaskan masyarakat dari penindasan, baik itu penindasan politik, ekonomi, maupun budaya.

Hanafi menekankan bahwa demokrasi harus mampu mengatasi ketidakadilan yang ada dalam masyarakat dan menciptakan kondisi di mana semua individu dapat berkembang secara maksimal.

Ia melihat demokrasi sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang terpinggirkan dan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Hassan Hanafi menyadari bahwa mengintegrasikan demokrasi dengan Islam bukanlah tugas yang mudah.

Ada banyak tantangan yang dihadapi, termasuk resistensi dari kalangan konservatif yang melihat demokrasi sebagai produk Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Namun, Hanafi tetap optimis bahwa demokrasi Islam dapat menjadi realitas jika didukung oleh kesadaran dan kemauan politik yang kuat.

Hanafi juga menekankan pentingnya pendidikan dalam mengembangkan demokrasi Islam.

Ia percaya bahwa demokrasi tidak akan bisa berkembang tanpa adanya masyarakat yang terdidik dan sadar akan hak-hak mereka.

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pendidikan demokrasi menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan di negara-negara Islam.

Pemikiran Hassan Hanafi tentang demokrasi memberikan kontribusi yang penting dalam perdebatan mengenai hubungan antara Islam dan demokrasi.

Dengan pendekatan yang kritis dan kreatif, Hanafi berhasil menunjukkan bahwa demokrasi tidak harus bertentangan dengan ajaran Islam.

Demokrasi dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam untuk menciptakan sistem politik yang lebih adil dan manusiawi.

Demokrasi menurut Hassan Hanafi menjadi proyek emansipasi yang tidak hanya melibatkan perubahan dalam struktur politik, tetapi juga perubahan dalam kesadaran sosial dan budaya.

Melalui konsep “demokrasi Islam,” Hassan Hanafi menawarkan visi tentang demokrasi yang lebih inklusif dan sesuai dengan nilai-nilai Islam, sebuah visi yang sangat relevan dalam konteks dunia Islam kontemporer. []

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *