Definisi Sesuatu (Syai’un)

 Definisi Sesuatu (Syai’un)

Istinbat Hukum Maulid Nabi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Saya membagi “Sesuatu” menjadi dua, Ada sesuatu yang wujud dan ada pula yang tidak wujud. Hal ini saya ungkapkan dalam presentasi saya bersama Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman saat membahas kerancuan akidah mujassimah, Ahad (25/7/2021).

Kata sya’iun (sesuatu) secara etimologi bermakna segala yang dapat diketahui atau diceritakan, baik ada atau pun tidak ada. Syarif al-Jurjani (abad ke-8) dalam at-Ta’rifat mengatakan:

«الشيء: في اللغة هو ‌ما ‌يصلح ‌أن ‌يعلم ‌ويخبر ‌عنه، عند سيبويه، وقيل الشيء عبارة عن الوجود، وهو اسم لجميع المكونات، عرضًا كان أو جوهرًا، ويصح أن يعلم ويخبر عنه. وفي الاصطلاح: هو الموجود الثابت المتحقق في الخارج»

“Syai’un secara etimologi adalah apa yang layak diketahui dan diceritakan, menurut Sibawaih. Konon, Syai’un adalah istilah lain bagi wujud yang berupa segala sesuatu yang ada. Baik berupa ‘aradl atau jauhar dan bisa diketahui dan diceritakan. Secara terminologi adalah, Syai’un adalah wujud yang riil di dunia nyata.”

Lebih jelas lagi, tiga abad sebelumnya ar-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi Gharib Alquran mendefinisikan syai’un sebagai berikut:

«الشَّيْءُ قيل: هو الذي ‌يصحّ ‌أن ‌يعلم ‌ويخبر ‌عنه، وعند كثير من المتكلّمين هو اسم مشترك المعنى إذ استعمل في الله وفي غيره، ويقع على الموجود والمعدوم. وعند بعضهم: الشَّيْءُ عبارة عن الموجود»

“Syai’un konon bermakna apa yang sah diketahui atau diceritakan. Menurut sebagian mutakallimin, ia adalah kata yang homonim ketika digunakan untuk Allah dan untuk selain Allah. Dan, kata ini merujuk pada apa yang ada dan apa yang tidak ada. Menurut sebagian mutakallimin, syai’un bermakna wujud.”

***

Bila kita melihat keterangan di atas, dapat diketahui bahwa asal kata syai’un (sesuatu), seperti dikatakan oleh imamnya ahli bahasa Arab, Sibawaih. Syai’un adalah istilah umum bagi apa pun yang bisa menjadi topik pembahasan, baik itu ada di alam nyata maupun tidak ada.

Namun dalam terminologi sebagian mutakallimin, memang kata ini hanya merujuk pada apa yang ada saja (maujud) dan tidak merujuk pada apa yang tidak ada (ma’dum). Pembatasan definisi syai’un pada apa yang wujud saja ini misalnya dapat kita lihat dalam Syarh al-Aqidah an-Nasafiyah karya at-Taftazani dan lain-lain.

Istilah لا شيء yang secara literal berarti tidak ada sya’i alias tidak ada apa pun merujuk pada definisi terakhir yang membatasi cakupan sya’iun pada apa yang ada saja.

Dalam Alquran, kata syai’un sendiri dipakai untuk sesuatu yang ada dan sesuatu yang tidak ada. Dalam ayat Maryam: 9, Allah berfirman:

وَقَدۡ خَلَقۡتُكَ مِن قَبۡلُ ‌وَلَمۡ ‌تَكُ ‌شَيۡـٔٗا

“Aku menciptakanmu sebelumnya padahal engkau belum berwujud sama sekali”

Dalam ayat di atas, syai’un digunakan sebagai istilah bagi wujud. Namun dalam ayat al-Kahfi: 23 Allah berfirman:

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَاْيۡءٍ إِنِّي فَاعِلٞ ذَٰلِكَ ‌غَدً إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ

“Janganlah kamu berkata tentang sesuatu “aku akan mengerjakan itu besok” kecuali mengucap insyaAllah”

Dalam ayat di atas, syai’un yang dimaksud belum ada atau belum terjadi karena masih akan dilakukan besok, namun demikian ia disebut syai’un.

Dengan demikian, klasifikasi yang saya lakukan yang membagi syai’un menjadi wujud dan tidak wujud bukan hal yang aneh sebab secara bahasa memang dibenarkan. Hanya saja kalau kita hanya terpaku pada definisi sebagian mutakallimin, memang hal itu tidak tepat.

***

Jadi tergantung definisi mana yang hendak digunakan. Saya sendiri sering memilih penjelasan yang mudah dimengerti pendengar; yang penting mereka paham pada maksud yang hendak disampaikan maka beres,. Meskipun dalam detailnya ada perdebatan yang penting tidak penting semacam ini.

Bagi yang keberatan dengan penggunaan kata itu, kata syai’un dalam presentasi saya bisa diganti dengan kata al-ma’lum. Hasil akhirnya akan tetap sama menjelaskan perbedaan logika mujassim dan aswaja.

Perbedaan ini barangkali hanya terjadi dalam kata bahasa Arab syai’un. Namun bila kita menggunakan kebiasaan bahasa Indonesia, pembahasan semacam ini tidak diperlukan sebab dalam istilah sehari-hari. Hal yang mustahil pun kerap diistilahkan sebagai “sesuatu”, misalnya dalam ungkapan:

“Beranak merupakan sesuatu yang mustahil bagi Allah” dan sebagainya yang jelas-jelas tidak ada dan tidak terjadi.

Meskipun pembahasan yang kurang penting, tapi semoga ada manfaatnya

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *