Dakwah Digital Sebagai Upaya Penguatan Peran Santri di Era Digitalisasi

 Dakwah Digital Sebagai Upaya Penguatan Peran Santri di Era Digitalisasi

Dakwah Digital Sebagai Upaya Penguatan Peran Santri di Era Digitalisasi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dunia kini sudah memasuki era digitalisasi, di mana semua tatanan kehidupan manusia berubah drastis. Kehidupan manusia saat ini bisa dibilang lebih mudah berkat perkembangan teknologi yang kian hari kian pesat, terlebih dalam bidang internet.

Informasi dan kajian-kajian Islam dengan mudahnya didapatkan, bahkan dakwah-dakwah Islam yang mengajarkan paham ekstrem pun mudah sekali ditemui.

Dahulu masyarakat menjadikan kyai atau ulama sebagai rujukan ketika ia tidak mengetahui persoalan-persoalan agama.

Namun tidak dengan sekarang, masyarakat lebih cenderung menjadikan internet sebagai rujukan untuk mencari segala bentuk informasi dan belajar agama.

Meskipun informasi dan kajian tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya seperti berita hoax, adu domba, ujaran kebencian, dan kajian-kajian Islam yang bersifat intoleran, ternyata hal itu tidak menjadi masalah serius baginya.

Selain daripada itu, di era digitalisasi saat ini marak sekali ceramah-ceramah agama di media sosial baik, Facebook, YouTube, maupun media cetak yang jauh sekali dari konsep Islam yang rahmatan lil ‘alamin, ceramah-ceramah agama tersebut justru cenderung ke arah intoleran, caci maki, dan saling menyalahkan.

Jika masalah ini dibiarkan begitu saja, maka otoritas keilmuan agama yang harusnya bersanad kepada ulama-ulama yang kredibilitas keilmuannya mumpuni akan hilang diterpa tuntutan modernitas kehidupan.

Padahal jika kita menelaah lebih dalam lagi terkait sanad keilmuan, maka kita akan menemukan betapa pentingnya bersanad kepada ulama yang tepat.

Imam Bukhari berkata dalam kitab Shahih Bukhari:

تَعَلَّمُوْا قَبْلَ الظَّانِّيْنَ

Artinya:

”Belajarlah dengan bersungguh-sungguh sebelum masanya kamu bertemu dengan orang yang berbicara ilmu hanya bermodalkan prasangka.”

Perkataan Imam Bukhari tersebut kemudian disyarahi oleh Imam Nawawi yang berbunyi:

وَمَعْنَاهُ تَعَلَّمُوْا الْعِلْمَ مِنْ أَهْلِهِ الْمُحَقِّقِيْنَ الْوَرِعِيْنَ قَبْلَ ذَهَابِهِمْ وَمَجِئَ قَوْمٍ يَتَكَلَّمُوْنَ فِي الْعِلْمِ بِمِثْلِ نُفُسِهِمْ وَظُنُوْنِهِمْ التى لَيْسَ لَهَا مُسْتَنِدٌ شَرْعَي

Artinya:

”Belajarlah dengan sungguh-sungguh kepada orang yang benar-benar berilmu sebelum kamu masanya kamu bertemu dengan orang yang berbicara ilmu hanya bermodalkan prasangka tanpa sanad yang jelas.”

Maqolah diatas sangat jelas, bahwa betapa pentingnya berilmu dengan sanad yang jelas, namun lagi-lagi dampak dari digitalisasi.

Meskipun mudah mendapatkan segala bentuk informasi menjadikan masyarakat bingung bagaimana memilih guru di dunia yang sanad keilmuannya jelas.

Dalam hal ini entitas yang memiliki peranan sangat penting adalah para santri.

Para santri sejak dahulu sudah dikenal dengan cara dakwahnya yang ramah dan moderat yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Oleh karena itu para santri harus segera menjadikan media-media massa sebagai jalan dakwah di era digital, para santri harus segera menebar nilai-nilai dakwah yang penuh dengan rasa toleransi dan sejalan dengan konsep dakwah yang terdapat dalam Q.S. An-Nahl ayat 125 yang berbunyi:

اُدْعُ اِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ ۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ (۱٢۵ )

Artinya:

”Serulah manusia kejalan tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalannya dan dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (Q.S. An-Nahl: 125)

Berlandaskan ayat di atas, maka sudah jelas bahwa konsep dakwah yang diajarkan, adalah dakwah yang bersifat, ramah, toleransi, dan moderat serta bersifat rahmatan lil ‘alamin, dan satu-satunya entitas yang mampu untuk menyebarkan nilai-nilai dakwah diatas hanyalah santri.

Maka sudah sangat tepat jika para santri menjadikan dakwah digital sebagai upaya membangkitkan peranan yang sangat penting, yakni dakwah yang penuh kasih dan sayang di era digitalisasi, demi menyelamatkan masyarakat dari bahayanya oknum-oknum Islam garis keras.

Selain daripada itu, dakwah melalui media digital juga dapat menjadi ladang untuk menuai pundi-pundi pahala, bagaimana tidak?

Saat ini dakwah tidak harus dilakukan dalam forum khusus, melainkan bisa dilaksanakan di media-media besar, seperti Facebook, youtube, TikTok, dan media cetak.

Coba ambil satu contoh, sebuah dakwah baik berbentuk visual audio maupun tulisan, jika dilihat oleh orang banyak, maka kita akan mendapatkan transferan pahala dari kebaikan yang telah kita tebar di media social, serta kita akan dapat transferan pahala ganda dari orang melaksanakannya.

Seperti keterangan yang termaktub dalam hadis Nabi yang berbunyi:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Artinya:

”Barangsiapa menunjuki pada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim, No. 1893)

Meskipun era digital banyak memberi implikasi buruk yang sangat tinggi, namun di samping itu era digitalisasi juga banyak memberi implikasi positif, yakni menjadikan media sosial sebagai sarana dakwah digital sebagai upaya membangkitkan peran santri dalam menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin di era digitalisasi. []

Fuad Efandi

Pengajar di Pon-Pes Al-Ishlah Mataram Baru dan belajar di STAI Darussalam Lampung. Dapat disapa melalui Facebook Kang Efandi.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *